Labels

Tuesday 25 October 2011

Kelompok Hitam Putih : Memandang Tradisi, Alam dan Diri


Catatan : tulisan ini adalah pengantar pameran "In The Name of Identity" di Tanah Tho Gallery, Ubud, 8 Oktober - 7 November 2011 


Oleh: Wayan Sunarta *


Prolog

(karya Anthok S.)
Hitam Putih adalah sebuah kelompok seni rupa yang didirikan pada tanggal 18 Agustus 1999 oleh sejumlah mahasiswa STSI (kini ISI) Denpasar Angkatan 1996. Anggota Hitam Putih terdiri dari sebelas perupa, yakni: Anthok Sudarwanto, Ketut Lekung Sugantika, Ni Nyoman Sani, I Gusti Ngurah Putu Buda, I Nyoman Bangbang Ariana, Anak Agung Gede Darmayuda, Rachmat Saleh, I Made Alit Suaja, I Made Sudiarta, I Wayan Susana, I Gede Pande Paramartha.

Nama “Hitam Putih” digali dari konsep Bali, Rwa Bhineda, yang makna harfiahnya adalah dua hal berbeda yang tercipta untuk menjaga keseimbangan (harmonisasi). Simbol Hitam Putih berbentuk segi tiga di tengah lingkaran opal. Segi tiga melambangkan tiga proses purba yang mesti dialami manusia, yakni lahir, hidup dan mati. Sedangkan, lingkaran melambangkan siklus yang tak pernah putus, berkelanjutan, dan ikatan kebersamaan.

Para anggota Hitam Putih  mengusung aliran seni rupa yang berbeda-beda, yang digali dan disesuaikan dengan karakter, talenta dan kecenderungan masing-masing anggotanya. Bagi mereka, perbedaan bukanlah suatu masalah, melainkan berkah yang mesti disyukuri. Perbedaan itu diikat dalam suatu lingkaran kebersamaan di dalam memaknai dan menjalani proses berkesenian. Mereka menyadari dilahirkan dengan anugerah bakat seni, maka sudah sewajarnya menjalani dan mengisi kehidupan dengan berkesenian hingga akhir hayat, sesuai swadharma (tugas dan kewajiban) sebagai seniman.

Semboyan Hitam Putih adalah “Art for Happiness”, seni untuk kebahagiaan. Mereka berharap dengan berkesenian mampu memberi kebahagiaan bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Tataran ideal ini diharapkan mencapai suatu titik dimana kesenian mengemban tugas mulia: mewujudkan kedamaian. Sebab, pada hakikatnya seni menyasar hati, tidak melulu urusan “jual-beli”.

Sebagai sebuah kelompok, Hitam Putih memiliki visi dan misi yang jelas. Hal itu dengan gamblang tercantum di katalog pameran mereka yang bertajuk “MERAH, Art for Happiness”  yang berlangsung di sebuah galeri di Ubud pada tanggal 10 Desember 2004 hingga 3 Januari 2005. Bagi mereka, hidup itu persembahan, hidup itu persaudaraan, hidup itu berkarya,  hidup itu karya seni, dan seni itu sebuah kejujuran dan kemurnian jiwa.

Hidup itu Persembahan, penjabarannya adalah mereka berupaya memosisikan diri, membangun image dari masa transisi dunia, khususnya dunia seni rupa dengan cara membingkai diri dalam suatu ideologi kelompok seni rupa, yaitu berkarya, berkesenian untuk kebahagiaan, atau mempersembahkan kebahagiaan melalui seni. Hidup itu Persaudaraan, mereka berupaya menjalin, memberi, menerima, dan memahami kehadiran orang lain, peristiwa mahkluk hidup dan benda-benda lainnya di alam semesta untuk hidup secara damai, selaras dan harmonis. Hidup itu Berkarya,  mereka berupaya menjadi diri sendiri, baik dalam kualitas personal, maupun karya dan berkarya, yang juga berarti melanjutkan hidup. Hidup itu Karya Seni, mereka menyadari setiap menjalani kehidupan melalui perannya masing-masing merupakan saat-saat penciptaan dan setiap penciptaan melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang tiada batas. Betapa indahnya misteri hidup dan alangkah indahnya bentuk seni. Seni adalah sebuah kejujuran dan kemurnian jiwa, artinya mereka terus menerus mencari dan menggali sesuatu yang lebih esensial dan abadi di dalam seni.

Hitam Putih Memandang Tradisi

Secara visual, karya-karya anggota Hitam Putih cenderung beragam. Ada yang mengusung aliran realis, figuratif-deformasi, abstrak, bahkan ada juga yang merambah ke seni tiga dimensi, instalasi dan fotografi. Namun, secara tematik, dalam pameran kali ini, mereka mendedahkan kegelisahan dan kegamangan menghadapi tradisi, baik berupa pergeseran tata nilai, norma, perilaku, komodifikasi, adat istiadat, etnisitas atau etnosentrisme. Perenungan tentang alam, tata ruang, dan hakikat eksistensi diri juga menyeruak di beberapa karya mereka.

Persoalan tradisi dan kegamangan selalu akan terjadi di berbagai masa, sesuai pergeseran atau perubahan jaman. Kegamangan menghadapi tradisi seringkali memunculkan konflik batin, bahkan konflik terbuka. Dalam kehidupan nyata, ada banyak persoalan yang tidak mampu lagi diakomodasi oleh wadah tradisi, sehingga terjadi pemberontakan atau pembangkangan demi mencari dan mendapatkan wadah lain yang lebih tepat atau yang sesuai selera pribadi masing-masing.

Namun, di sisi lain, pada saat tertentu, manusia terkadang merindukan gua-gua tradisi yang membuat mereka merasa nyaman dari berbagai gempuran budaya global. Hal-hal seperti ini sering membuat manusia berada di persimpangan jalan, dan mungkin tak akan pernah sampai pada tujuan yang ingin dicapainya, terutama bagi para pemberontak “nanggung”. Begitulah, di satu sisi tradisi menawarkan kenyamanan dan keamanan, di sisi lain memberikan ketegangan-ketegangan.

Contoh yang sangat menarik bisa dilihat pada lukisan Ketut Lekung Sugantika yang berjudul Life is Pink Between Love and Hate”. Dalam lukisan itu dia menampilkan grafiti yang dibentuk dari susunan gambar babi, berbunyi “Love” dan “Hate”. Bagi Lekung, babi adalah simbol kemakmuran, sekaligus kemalasan dan kerakusan. Dalam tatanan masyarakat Bali, babi memiliki banyak fungsi di dalam ranah tradisi, baik fungsi agama (bagian dari sesajen besar), fungsi adat, fungsi ekonomi, dan sebagainya. Artinya, babi identik dengan Bali dan tradisinya. Lekung memakai babi sebagai simbol dari tradisi Bali. Kata “Love” dan “Hate” dalam lukisannya menunjukkan kegamangan menghadapi tradisi Bali, terutama adat istiadat yang berbau kolot. Di satu sisi tradisi dicintai, di sisi lain dibenci. Melalui lukisan ini, Lekung menyampaikan bahwa kegamangan seperti ini banyak melanda jiwa generasi muda Bali.

Generasi muda Bali terkini adalah contoh generasi yang gamang menghadapi tradisinya. Apakah tradisi harus terus dipertahankan dan diwarisi secara turun temurun, atau diadaptasi sesuai kemajuan jaman? Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Alit Suaja melalui lukisannya yang berjudul “Target # 2”. Lukisan ini menampilkan seorang bocah lelaki berkostum pakain adat Bali, berkamben kain geringsing, bersepatu model terbaru, sedang dalam posisi membidik dengan senapan. Posisi bocah lelaki berkulit biru itu berada di antara gadis Bali yang sumringah dengan rambutnya dihiasi mahkota bunga-bunga emas dan selembar kain geringsing berkibaran. Bocah lelaki berkulit biru adalah simbol pewaris tradisi Bali di masa depan. Kain geringsing adalah lambang keteguhan memelihara tradisi.

Melalui lukisan ini, Alit Suaja ingin menyampaikan salah satu ironi yang melanda Bali, berkaitan dengan kegamangan menghadapi tradisi yang dianggap terlalu menjadi beban dan terkesan kolot. Bahkan, wacana-wacana pelestarian tradisi akhirnya jatuh menjadi jargon, slogan dan retorika yang sering digembar-gemborkan para pejabat pemerintah. Ujung-ujungnya adalah demi kepentingan pariwisata, yang konon telah mampu memakmurkan rakyat Bali. Contoh yang nyata misalnya, kain tenun geringsing yang dianggap sebagai kekayaan dan warisan tradisi di masyarakat Tenganan, namun di sisi lain menjadi barang konsumsi turistik.

Di sisi lain, Wayan Susana, melalui lukisan berjudul “Kata Hati”, menampilkan setangkai teratai terselip di celah dada seorang gadis yang dibalut kain Bali (motif kain mirip batik). Susana melihat tradisi sebagai suatu yang adiluhung yang perlu terus dilestarikan. Dia mengibaratkan tradisi Bali seperti bunga teratai. Meski tumbuh di kolam berlumpur, namun tetaplah indah. Suatu pandangan yang sangat idealis tentang tradisi Bali.

Wacana pewarisan tradisi sekaligus kegamangan menghadapi tradisi sendiri ditampilkan dengan cukup memikat dalam dua foto hasil jepretan Made Sudiarta, yakni “Salam dari Orang Tua” dan “Melihat Budaya Luar”. Foto pertama menampilkan seorang penari topeng tua yang menyalami balita yang digendong ibunya. Secara simbolis, foto ini menceritakan tuntunan generasi tua kepada generasi muda dalam pewarisan tradisi. Sebab, bagaimana pun juga, tradisi dan budaya Bali harus tetap eksis, sehingga pewarisan tradisi menjadi suatu yang penting. Sedangkan pada foto kedua bisa dilihat bagaimana kecenderungan generasi muda sekarang yang lebih banyak menyerap dan terpengaruh budaya luar, ketimbang menekuni dan mendalami budayanya sendiri.

Sementara itu, Pande Paramartha melihat pewarisan nilai-nilai tradisi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya, banyak anak jaman sekarang yang tidak mengenal permainan tradisional warisan leluhurnya. Mereka lebih tertarik dengan permainan modern. Lebih akrab dengan Spiderman ketimbang Gatotkaca. Ini menunjukkan bahwa anak-anak pun telah tidak peduli dengan hal-hal yang berbau tradisional. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Pande melalui karyanya yang provokatif.
Setiap lini kehidupan penuh dengan berbagai macam pergulatan. Manusia berada di antara banyak pilihan. Perenungan inilah yang ingin disampaikan Anthok Sudarwanto melalui lukisannya yang berjudul “Fokus”. Lukisan ini menampilkan dua gadis bergaya gaul, kelinci, dan hamparan plastik.  Bagi Anthok, kelinci adalah simbol pilihan, si gadis sebagai pemilih, hamparan plastik adalah ikon modernitas. Sambil bersantai di atas hamparan plastik merah dan biru, dua gadis itu berusaha fokus pada kelinci pilihannya. Melalui lukisannya ini, Anthok ingin menyampaikan bahwa seseorang harus fokus pada pilihannya. Entah itu memilih menetap di ranah tradisi atau mengembara di dunia modern yang penuh tantangan. Tentu setiap pilihan mengandung resikonya masing-masing yang secara sadar harus dihadapi dan dijalani.

Hitam Putih Memandang Alam

Pergeseran tata nilai, norma dan perilaku tidak hanya melanda tatanan tradisi, melainkan juga berimbas pada tatanan ekologi. Dalam hal ini Bali bisa menjadi contoh menarik.  Banyak tradisi Bali yang positif telah ditinggalkan, misalnya konsep dan pelaksanaan Tri Hita Karana. Akibatnya, alam dan tata ruang Bali menjadi disharmoni, kacau balau, chaos. Kalau direnungi, sesungguhnya Bali telah dirusak oleh orang-orang Bali sendiri, dengan segala ketamakan, kerakusan, kekuasaan, individualisme, dan sejenisnya.

Perihal kerusakan alam Bali akibat ulah manusia Bali sendiri, direpresentasikan oleh Gusti Buda dalam seri lukisan abstrak berjudul “Pesta Beton”. Susunan dan sapuan aneka warna dalam lukisannya yang dijiwai kegundahan akan kerusakan alam menjadi renungan ketegangan antara tradisi dengan modernitas. Kekuatan alam, budaya, materi, ego manusia, gaya hidup, pencarian jati diri, menjadi tarik ulur yang tak habis-habis, terutama antara kekuatan tradisi dan modern.

Hal senada juga bisa disaksikan pada lukisan Bangbang Ariana yang berjudul  “Care My Self”, menampilkan kemaluan laki-laki yang dibalut. Secara simbolis lukisan ini mengilustrasikan kerusakan alam akibat kemajuan teknologi. Manusia yang berbuat, maka manusia pula yang merasakan akibatnya. Bumi makin panas, bangunan beton tumbuh di lahan-lahan subur, alam tidak dipedulikan. Menurut Bangbang, manusia mesti kembali merawat dan melindungi alam, seperti merawat dan melindungi kemaluan sendiri.

Hitam Putih Memandang Diri

Momen manis atau momen indah adalah suatu peristiwa yang selalu diharapkan manusia, baik dalam ranah tradisi maupun ranah jaman kontemporer ini. Ketika manusia mengalami kegamangan dalam menapaki jalan kehidupannya, kenangan pada momen indah seringkali kembali dihadirkan, meski hanya di angan-angan.  Hal itulah yang ingin disampaikan Agung Darmayuda melalui seni instalasi bertajuk “Sweet Moment”.

Seni instalasi ini terdiri dari rangkaian lukisan dan seni trimatra. Lukisan dengan latar warna hijau segar menampilkan penyatuan dua jari telunjuk dan ibu jari sehingga menyerupai bentuk kemaluan perempuan. Di tengahnya terlihat benda bulat merah menggoda. Di bawah lukisan ini terdapat patung abstrak berbentuk spiral yang ditusuk permen lolipop raksasa. Di sekujur patung spiral itu berisi tulisan tangan yang berbunyi “defusion, integritas, intuisi, fortune, relationship”, dan sebagainya. Patung berwujud permen lolipop raksasa itu ditempeli puluhan permen lolipop asli, sehingga kawanan semut berdatangan dan mengerubungi permen itu. Secara keseluruhan, seni instalasi ini merepresentasikan penyatuan lingga-yoni. Dalam tataran lebih luas bisa disimbolkan sebagai dualisme yang saling berkaitan: nature (alam)-culture (budaya), suka-duka, pahit-manis, dst-nya.

Renungan tentang hakikat perjalanan kehidupan dan pencarian jati diri direpresentasikan oleh Rachnat Saleh melalui lukisan berjudul  “Take It Off  from Me”. Lukisan figuratif ini menampilkan kegamangan manusia dalam memaknai hidupnya. Kegamangan serupa juga terjadi pada manusia-manusia yang berada di perbatasan antara kehidupan tradisi dan modern. Kegamangan tersebut memunculkan sebuah pertanyaan besar, apa sebenarnya yang dicari dalam hidup ini? Tentu jawabannya ada pada setiap individu yang menjalani kehidupannya.

Perenungan makna eksistensi diri juga bisa dilihat pada seri foto “Long Way to be Now” karya Ni Nyoman Sani. Dengan menggunakan timer yang telah diatur, dia menjepret dirinya sendiri dalam berbagai pose. Menurut Sani, seri foto ini mengisahkan perjalanan perempuan yang meniti karier sebagai seniwati. Dalam menapaki jalan kesenimanan itu, tentu muncul berbagai suka duka, yang mesti dihadapi sebagai upaya menjadi yang terbaik. Semua itu mengandung hikmah dan merupakan proses pematangan diri.

Epilog

Pembacaan terhadap kecenderungan visual dan tematik karya-karya Kelompok Hitam Putih memberi suatu kesimpulan, bahwa para anggota kelompok ini secara sadar selalu membubuhkan isi (contents) dalam setiap karya-karyanya, yang dituangkannya secara simbolis maupun metaforis. Ada sejumlah narasi besar maupun kecil yang diangkat ke permukaan dan menjadi bahan renungan bersama, berkaitan kegamangan menghadapi tradisi, kehancuran alam, maupun pemaknaan kembali eksistensi diri. Begitulah kira-kira…





*Penulis adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar. Karya-karya sastra, esai/artikel seni budaya, feature, ulasan/kritik seni rupa dipublikasikannya di media massa lokal dan nasional.


No comments:

Post a Comment