Labels

Wednesday 9 November 2011

Wirawan, Garap Persoalan Sosial


Teks dan foto Wayan Sunarta


Wayan Wirawan termasuk salah satu pelukis muda yang memiliki kepedulian terhadap berbagai permasalahan ekologi, sosial dan politik. Visual dan konsep karyanya selalu berubah sesuai dengan isu-isu yang sedang berkembang. Dia tidak pernah terikat pada suatu kecenderungan tematis tertentu. “Tema favorit saya kebanyakan persoalan ekologi dan sosial,” ujarnya.

Tuesday 8 November 2011

Petarung dan Sebuah Nama


(Tulisan pengantar pameran tunggal Made ‘Romi’ Sukadana, bertajuk “Sebuah Nama”, di Ten Fine Art Gallery, Sanur, 27 Desember 2009 – 10 Januari 2010)


Oleh: Wayan Sunarta 


(Demi Sebuah Nama, karya Romi Sukadana)
Penyair dan dramawan legendaris Inggris, William Shakespeare, pernah melontarkan sekelumit kalimat terkenal dalam naskah dramanya, Romeo and Juliet. Kalimat beraroma eksistensialis itu mengandung setengah pernyataan, setengah pertanyaan: “Apalah artinya sebuah nama?”  
Namun, bagi I Made “Romi” Sukadana, sebuah nama sangatlah berarti. Hakikat nama mengandung pencarian jati diri, perjuangan, pertahanan, reputasi, doa, harapan dan kebanggaan. Dalam pengertian luas, nama seringkali berkaitan dengan identitas dan eksistensi diri. Ada pertarungan dan pertaruhan di sana. Tentu saja sebagai pelukis, selain nama, yang diadu dan dipertaruhkan adalah kepiawaian menciptakan karya-karya bernas, yang dikenang sepanjang masa. Dan, nama si pelukis akan tercatat dengan tinta emas dan memperoleh pengakuan luas dalam dunia kesenian. Sebagian besar pelukis tentu mengharapkan hal itu.

Transformation: Antara Harapan dan Kegamangan


(Tulisan pengantar pameran tunggal Anthok S. bertajuk “Transformation”, di HitamPutih Art Space, Sangeh, Bali, 28 Oktober – 28 November 2010)



Oleh: Wayan Sunarta*


(Anthok dan Wayan Sunarta, saat pembukaan pameran Transformation)
Lukisan-lukisan Anthok kebanyakan berkisah tentang perubahan (transformation), suatu kondisi alamiah yang sering dialami manusia. Ada banyak faktor yang memengaruhi perubahan. Seperti keinginan untuk maju atau menggapai masa depan yang lebih baik, bosan dengan suatu rutinitas, mencari atau mencoba pengalaman baru, tidak puas dengan yang telah dimiliki, atau keinginan menghancurkan diri sendiri karena suatu kekecewaan, dan sebagainya. Begitulah, setiap perubahan bisa merujuk pada dua hal, positif atau negatif, tergantung latar belakang atau niat yang melandasinya.

Setia di Jalur Abstrak


(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 023/Januari 2010)


Teks dan Foto Wayan Sunarta


Seni lukis abstrak belum mati. Bahkan tidak akan pernah mati. Abstrakisme masih tegak menantang dunia seni rupa mutakhir, di tengah gempuran seni lukis figuratif, realisme, hiper realisme, realisme-fotografis, yang berlindung di bawah payung “kontemporer”.

Pengusung setia abstrakisme masih cukup banyak, baik pelukis muda maupun tua. Salah satunya adalah Made Mahendra Mangku, pelukis kelahiran Sukawati, Gianyar, Bali, 30 Desember 1972. Dia lulusan ISI Yogyakarta. Beberapa karya Mangku pernah menjadi finalis Philip Morris Indonesia Art Award (1996, 1997 dan 1998), The Best Painting of Dies Natalis ISI Yogyakarta 1997, Award from Ministry of Art and Culture Republic of Indonesia 1998. Sejak 1992 karya-karyanya ikut menyemarakkan sejumlah pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Dia pun telah lebih dari tiga kali menggelar pameran tunggal.

Setia Menjadi Penulis


(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 021/November 2009)

Teks dan Foto Wayan Sunarta
 

“Bagaimana kabar? Masih terus menulis?” sapa Jean Couteau ramah, saat saya berkunjung ke rumahnya yang bersahaja di tepi sungai Ayung di kawasan Denpasar Utara.

“Kabar baik, Pak Jean. Menulis jalan teruslah,” ujar saya. 

“Ehm, bagus ya. Meski kita tahu menjadi penulis harus siap tetap miskin,” seloroh Jean sembari ketawa. Saya juga ketawa, tentu dengan hati miris.

Meraih Kemurnian Dengan Pencil

(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 020/Oktober 2009)


Teks dan Foto: Wayan Sunarta


(Putu Wirantawan)
Bagi Putu Wirantawan, berkesenian harus terus bergerak, mencari dan menelusuri berbagai macam kemungkinan. Dan pada akhirnya harus bisa menentukan karakter atau ciri khas yang hendak dijadikan pijakan dalam berkarya. Tentu itulah tantangan yang terberat menjadi seorang pelukis.

Wirantawan pernah mengalami konflik batin berkepanjangan dalam mengambil sebuah keputusan untuk menentukan bahan, medium, karakter dan corak yang tepat dalam berkarya. “Kegelisahan dan konflik batin itu membuat saya hampir gila,” ujarnya.

Pendobrak dari Pengosekan



Oleh: Wayan Sunarta


(Dewa Putu Mokoh)
Dewa Putu Mokoh adalah seorang pendobrak seni lukis corak Pengosekan, Ubud. Ketika pelukis senior Pengosekan banyak menggarap karya-karya bertema Ramayana dan Mahabarata dan pelukis muda membuat lukisan bertema flora dan fauna, Mokoh malah asyik menggali objek-objek yang naif, lucu, sederhana, nyleneh dan cenderung nakal. Mokoh banyak melukis apa-apa yang dilihat di sekitarnya, atau yang sedang mengusik fantasinya. Tema-tema lukisannya sederhana dan remeh temeh.

Murni, Betapa Sunyi Jalan itu…





Oleh: Wayan Sunarta


Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba

(Chairil Anwar)


(I Gusti Ayu Kadek Murniasih, foto oleh Hardiman)
            Rabu malam, 11 Januari 2006, saya dikejutkan oleh SMS yang dikirim seorang teman: Berita duka-telah meninggal dunia teman tercinta kita, perupa Murniasih, petang tadi jam 6 wita. Semoga mendapat tempat yang mulia dari Sang Hyang Widhi Wasa.
            Saya masih belum percaya dengan rentetan kata-kata yang tertera di layar ponsel. Secepat itukah pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih meninggalkan kita? Bagai sebuah gulungan film, dalam benak saya kembali melintas senyum dan tawanya yang lebar dan lepas, seakan tanpa beban derita. Saya kembali terkenang sepasang alisnya yang lebat hitam dan tajam. Sepasang alis yang nyaris menyatu itu selalu mengingatkan saya pada alis Frida Kahlo yang digambarkan begitu dramatis oleh Goenawan Mohamad dalam sebuah puisinya untuk pelukis Meksiko itu: di alismu langit berkabung dengan jerit hitam  dua burung.

Sukari, Selamat Jalan...

(Tulisan ini dimuat di Majalah Arti, 2010)

 
Teks Wayan Sunarta, Foto Dokumentasi Made Budhiana


(Made Budhiana dan Nyoman Sukari)
Suatu malam, di bulan Agustus 2007, usai acara pembacaan puisi di Festival Kesenian Yogyakarta XIX, seorang lelaki menyapa saya, “Yan, bawa arak?” Lelaki itu bertubuh pendek, namun gempal. Rambut gondrong sebahu, kumis dan jenggotnya sangat lebat, terkesan sangar. Namun, dia memamerkan senyum penuh persahabatan. Dia adalah Nyoman Sukari, pelukis yang cukup diperhitungkan dalam jagad seni rupa Indonesia.

Belajar pada Lebah



(Tulisan kuratorial “Suasana Lebah”, pameran tunggal Ketut ‘Kabul’ Suasana di Sudana Gallery, Ubud, 7 – 17 Oktober 2009)


Oleh: Wayan Sunarta



(karya Ketut 'Kabul' Suasana)
Dunia seni rupa tidak hanya unjuk keterampilan teknis, melainkan juga pergulatan ide, pemikiran atau wacana, untuk mencoba melahirkan berbagai terobosan baru. Namun  pada kenyataannya, dunia seni rupa dipersempit dengan maraknya trend atau selera pasar dimana banyak pelukis muda terjebak menjadi bebek, tanpa memiliki pendirian jelas.
Misalnya, ketika trend lukisan tertentu banyak diminati pasar, para pelukis “bebek” ramai-ramai meniru trend tersebut. Bila perlu dengan menggunakan teknik-teknik canggih dan bantuan komputer beserta perangkat lunak lainnya. Pelukis-pelukis itu kemudian berlindung dibalik kata “kontemporer” tanpa memahami betul makna kata itu sendiri. Galeri dan para cukong seni rupa sering pula mendikte pelukis untuk mengikuti selera pasar. Parahnya lagi, demi terserap pasar, banyak pelukis muda kehilangan jati dirinya karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Kondisi ini menyebabkan dunia seni rupa lebih mirip pasar kerajinan seperti biasa dilihat di pasar Sukawati atau Ubud.

Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak


(Pengantar kuratorial pameran “Polusi Rasa” Atmi Kristiadewi di Ten Fine Art Gallery, Sanur, 4 - 14 Juni 2011)


Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak

Oleh: Wayan Sunarta *


Anak-anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang rindu pada dirinya sendiri...

(Kahlil Gibran)


(salah satu karya Atmi)
Dunia anak-anak adalah suatu dunia yang polos, riang, senang bermain, selalu ingin tahu, namun terkadang menjengkelkan para orang tua. Anak-anak ibarat kertas putih yang siap menerima goresan warna apa saja. Kalau salah memberi warna, maka anak-anak akan tumbuh dewasa dengan warna yang salah itu.

Kesalahan terbesar para orang tua adalah mereka seringkali menganggap anak-anak sebagai miliknya yang absolut. Mereka mencekoki otak anak-anak dengan berbagai keinginan yang seringkali bertabrakan dengan keinginan anak-anak itu sendiri. Misalnya, anak-anak disuruh les ini-itu, dijejali pelajaran-pelajaran yang belum perlu, diarahkan menjadi ini-itu, sehingga anak-anak depresi dan mencari pelampiasan dengan hal-hal yang membahayakan.

Monday 7 November 2011

Pertemuan dengan Umbu


Oleh: Wayan Sunarta




(Umbu Landu Paranggi)
Pertemuan pertama saya dengan Umbu Landu Paranggi merupakan sebuah pertemuan yang sangat menjengkelkan sekaligus menggelikan, yang terus membekas dalam kenangan. Namun pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan anugerah tak ternilai yang ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya, terutama ketika bergesekan dengan dunia puisi.
Pada sebuah petang yang cerah di bulan Agustus 1993, ketika saya masih kelas tiga sekolah menengah atas, saya diajak oleh seorang kawan menonton pertunjukan teater di sebuah sanggar di Sanur, Denpasar. Kata kawan saya, Umbu pasti datang dalam acara itu. Kata dia lagi, kesempatan bertemu Umbu sangat langka, maka sangat rugi kalau saya tidak datang.

Sunday 6 November 2011

ARSIP ULASAN/KRITIK SENI RUPA 2001-2005 Karya Wayan Sunarta

ARSIP ULASAN/KRITIK SENI RUPA 2001-2005 Karya Wayan Sunarta



Pameran Koniherawati di Seniwati Gallery Ubud: Protes Dominasi Kodrat. Majalah Gatra, 25 Agustus 2001.

Pameran IB Lolec di Paros Gallery, Sukawati-Gianyar: Musim Semi dalam Duka. Majalah Gamma, 7-13 November 2001.

Pameran I Wayan Pastika: Mencintai Tubuh Perempuan tanpa Rasa Birahi. Koran Bali, 8-11 November 2001.

Pameran Seni Instalasi Yoshie Mizuno di Sika Gallery, Ubud: Si Perindu Kebebasan. Majalah Gamma, 21-27 November 2001.

Pameran “Refleksi Tiga Pelukis” di Darga Gallery, Sanur: Tiga Menguak Bali. Koran Bali, 3-5 Desember 2001.

Walter van Oel: Menemukan Tuhan dalam Warna. Koran Bali, 24-26 Desember 2001.

SK Hanny: Meditasi dalam Putaran Lingkaran. Koran Bali, 24-26 Desember 2001.

Pameran Made Romi Sukadana: Tanpa Gala, Tiada Dali. Majalah Gamma, 12-18 Desember 2001.