Labels

Saturday 2 February 2013

Gejolak Jiwa Seinia




Oleh: Wayan ‘Jengki’ Sunarta


( I Kadek Seinia Dwi Pratama)
Di dalam dunia seni, seringkali usia tak berbanding lurus dengan kematangan dan kualitas karya yang diciptakan seorang seniman. Misalnya, banyak seniman yang matang secara usia, namun masih mentah secara karya. Begitu pula sebaliknya. Dalam seni menulis puisi, misalnya, dunia mengenal Arthur Rimbaud (1854-1891), penyair cemerlang Perancis yang menulis puisi sejak usia 15 tahun. Di usia belianya, puisi-puisinya yang surealistik menggemparkan perpuisian Perancis saat itu. Pada usia 21, dia berhenti menulis puisi. Namun, hingga kini puisi-puisinya tetap dikagumi dan menjadi kajian kesusastraan dunia.

Dalam seni rupa, kita tahu banyak perupa belia bermunculan dengan karya-karya yang menggetarkan. Namun, tak sedikit dari mereka yang seperti meteor, menakjubkan sekejab lalu sirna begitu saja. Sebagian besar dari mereka hanya mengandalkan bakat alam. Padahal menurut Albert Einstein, peranan bakat cuma satu persen, selebihnya adalah proses belajar yang tak pernah berhenti dan bekerja keras untuk menggapai cita-cita atau keinginan.

Menurut saya, selain mengasah kemampuan teknis, perupa (terutama yang muda usia) juga harus mengasah kemampuan intelektual dan intuisinya. Banyak belajar dari karya para pendahulunya. Peka atau kritis terhadap isu atau fenomena yang terjadi. Menggali dan mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin. Dunia seni rupa seperti hutan rimba, siapa yang kuat dia yang akan tetap eksis. Kuat dalam hal ini adalah kuat secara karya, konsep, dan kuat dalam membangun jaringan.    

(Seinia demo melukis saat pembukaan pamerannya)
Salah satu perupa belia yang saya kenal adalah I Kadek Seinia Dwi Pratama. Dia lahir di Denpasar, 2 Agustus 1996. Remaja pendiam dan pemalu ini adalah siswa SMK 1 Sukawati (SMSR Batubulan). Menyimak karya-karyanya, saya menilai Seinia memiliki bakat luar biasa. Kematangan karya-karyanya jauh melampaui usianya. Namun, yang saya kagumi adalah produktivitas dan kegigihannya dalam berkarya. Dia ingin eksis dalam dunia seni rupa. Dia ingin karya-karyanya diapresiasi dalam suatu pameran tunggal.

Sejak 2008 hingga kini, Seinia telah berhasil menyelesaikan 200-an lukisan. Karya-karya awalnya cenderung figuratif dengan objek manusia, barong, rangda. Namun, dia tak puas dengan karya-karya figuratif yang kebanyakan untuk memenuhi tugas sekolah. Sejak 2011, Seinia tertarik menekuni abstrakisme dan ekspresionisme.

Dalam melukis, Seinia memakai tapak dan jari-jari tangannya sebagai kuas. Ketika berhadapan dengan sebidang kanvas dan pada saat kondisi mood, dia mengerahkan seluruh energinya untuk melukis. Dia mencakar-cakar, menggerakkan dan meliukkan jemari tangannya yang berlumuran warna di bidang kanvas. Pada saat demikian dia seperti berada dalam kondisi trance. Dia seakan ingin menumpahkan seluruh emosi dan gejolak jiwanya, tanpa memikirkan hasil akhir. Dengan perangkat warna dan kanvas, dia menggerakkan jiwanya untuk selaras dengan tarian semesta. Dia seperti dituntun oleh naluri purba, intuisi jiwa yang masih murni.

(karya Seinia)
Lukisan-lukisan Seinia terkesan liar, magis, mistis, seakan lahir dari campur tangan alam ruh. Warna-warna bernuansa kelam saling berkelindan dengan liukan warna bernuansa cerah. Kalau dicermati, seringkali liukan-liukan warna dalam lukisannya berkerumun atau menggumpal membentuk berbagai wujud, seperti manusia, monster, rangda, atau binatang dari dunia antah berantah. Semuanya tak terjelaskan, namun bisa dilihat secara samar-samar di kebanyakan lukisannya. Seinia mengaku sering bermimpi tentang barong dan rangda. Wujud-wujud tersebut banyak muncul dalam lukisan-lukisannya.

Seinia adalah pengagum berat pelukis Affandi. Itulah sebabnya, teknik dan gaya melukisnya masih terpengaruh Affandi. Namun, bagi saya, dalam dunia seni pengaruh mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa, sebagai suatu proses menemukan jati diri. Saya harap, ke depan, seiring kematangan usia dan pengalaman, Seinia semakin intens menunjukkan kekuatannya sebagai pelukis, lepas dari bayang-bayang para pendahulunya.

Lukisan-lukisan Seinia kebanyakan berukuran besar. Dia merasa kurang puas melukis di kanvas ukuran kecil. Bahkan lukisan-lukisan buatan tahun 2012 kebanyakan berukuran di atas satu meter. Lukisan-lukisan ini bukanlah untuk tugas sekolahnya. Namun muncul dari keinginannya, perenungan dan dorongan jiwanya. Seinia memang bercita-cita menjadi pelukis. Semangatnya tak pernah padam untuk terus melukis. Orang tuanya mendukung penuh cita-cita dan obsesinya. Orang tuanya selalu menyediakan kanvas ukuran besar, warna, dan frame. Di rumahnya, di kawasan Sanur Kauh, Seinia biasanya melukis pada malam hari, ketika suasana hatinya lagi bagus. Jika sedang jenuh, dia main game online di internet sepuas-puasnya.

(Ilmu Tahapan Pertama, karya Seinia)
Meski usia belia dan belum punya jam terbang yang banyak dalam berpameran, Seinia berkeinginan kuat untuk memamerkan karya-karyanya secara tunggal. Dia telah menyiapkan mental dalam menghadapi pujian dan kritik atas karya-karyanya. Dalam hal ini, saya salut dengan keberaniannya, suatu keberanian yang jarang dimiliki oleh perupa belia lainnya. Tentu semua itu, tujuannya hanya satu, dia sangat ingin karya-karyanya diapresiasi secara luas oleh publik seni rupa di Bali.

Bagi saya, karya-karya Seinia sangat layak ditampilkan dalam pameran tunggal. Karya-karyanya, terutama buatan 2011-2012, telah menunjukkan kekuatan Seinia sebagai pelukis abstrakisme dan ekspresionisme. Dalam hal ini, Seinia mengandalkan kekuatan letupan emosi dan intuisi yang dicurahkannya dalam bidang-bidang kanvas. Secara artistik dan teknik, karya-karya Seinia tak kalah dengan karya para perupa yang telah mengantongi banyak jam terbang dalam berpameran. Akhir kata, selamat menikmati gejolak jiwa Seinia.***


(sumber: katalog pameran tunggal "Gejolak Jiwa Seinia", 20 Januari - 2 Februari 2013, di Warung Yayaa Artspace, Jl. Sekar Waru, Blanjong, Sanur Kauh, Denpasar)


No comments:

Post a Comment