Labels

Sunday 3 January 2021

“Pandora Paradise” di Tengah Pandemi

 

Oleh Wayan Jengki Sunarta

 

 


Di penghujung tahun 2020 yang murung karena dirubung pandemi Covid-19, seniman patung Ketut Putrayasa menampilkan seni instalasi bertajuk “Pandora Paradise” di titik Nol Kilometer Kota Denpasar yang berlokasi di alun-alun Puputan Badung. “Pandora Paradise” merupakan sebuah metafora yang menggambarkan kekacauan dunia.

Seni instalasi berukuran 660 x 270 x 180 cm itu dipajang sejak 15 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021. Sebagai sebuah seni publik (public art), karya tersebut dirancang interaktif di mana orang bisa mengamati secara dekat, menyentuh. atau mendengar gaung suara dari buluh-buluh bambu sintetis warna-warni yang menembus kotak transparan.

Bambu-bambu runcing warna-warni yang menembus kotak transparan itu merupakan simbol berbagai kekacauan yang menyeruak dari kotak Pandora. Namun ada tiga bambu yang tidak menembus kotak yang disimbolkan sebagai harapan. Formasi bambu-bambu sintetis itu tampak melayang di dalam kotak. Di bawah terpaan cahaya lampu, warna-warni yang memukau dari bambu tampak saling bersaing dan mengarah pada suasana chaostik.

Kurator pameran, Tatang Bsp, menjelaskan bahwa Ketut Putrayasa hendak menyodorkan satire: yang tampak warna-warni itu jadi palsu. “Pandora Paradise” seakan medan tarung antara keindahan dan kengerian yang menghujam. Warna psychedelic pada bambu-bambu itu menenggelamkan rasa ngeri ujung runcing bambu. Warna psychedelic adalah warna-warna ramai, mencolok, menyala-nyala di mata, dan saling bertabrakan. Ini mengingatkan kita pada psychedelic art yang berkembang di tahun 1970-an. Sebuah aliran seni yang mengusung efek ketidaksadaran dan halusinasi pengalaman psychedelic.

“Pandora Paradise” adalah sebuah metafora yang memaparkan kegelisahan Ketut Putrayasa tentang berbagai persoalan yang terjadi selama masa pandemi. Perekonomian yang hancur, orang-orang kehilangan pekerjaan, utang menumpuk di sana-sini, kesulitan membayar aneka jenis cicilan, kesulitan membeli sembako, kengerian, ketakutan, kematian, stress dan depresi berkepanjangan. Semua persoalan tersebut berkelindan dan menumpuk dalam sebuah kotak raksasa yang dipegang oleh “Pandora”. Siapakah “Pandora” yang sebenarnya di dunia ini? Siapakah pencipta “kotak kegelapan” itu?

Dalam mitologi Yunani, kisah Pandora terkait erat dengan kegelapan dan kengerian. Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan Dewa Zeus. Dikisahkan Prometheus mencuri api milik para dewa dan diberikan kepada umat manusia. Zeus murka dan menghukum Prometheus dengan mengikatnya di tebing karang dan seekor elang mematuki jantungnya; namun dia tidak pernah mati. Zeus juga menghukum umat manusia dengan menciptakan Pandora.

Pandora kemudian dinikahkan dengan Epimetheus, saudara Prometheus. Pada hari pernikahan mereka, Zeus memberi hadiah berupa sebuah kotak yang indah. Prometheus memperingatkan Pandora agar tidak membuka kotak tersebut. Namun, karena penasaran, Pandora melanggar peringatan Prometheus. Ketika Pandora membuka kotak, maka bermunculan berbagai macam keburukan, kejahatan, penyakit, penderitaan. Semua malapetaka itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Hanya satu hal yang tersisa dalam kotak, yakni: harapan.

“Pandora Paradise” menjadi semacam renungan di ujung tahun betapa manusia senantiasa tergoda segala bentuk keindahan duniawi, namun luput mengantisipasi berbagai bentuk kegelapan yang menyertainya. Seperti kerumunan laron yang jumawa dengan sayap-sayap rapuh dan merasa mampu meraih cahaya kemilau. Metafora Pandora dalam konteks seni instalasi yang diciptakan Putrayasa terasa sangat tepat untuk melukiskan situasi dan kondisi tahun 2020 yang penuh kerunyaman, kengerian, dan ketakutan. Namun, dari kegelepan itu, selalu tersisa secercah cahaya harapan untuk memulai kehidupan yang lebih baik saat mengisi lembaran tahun 2021.

Tidak hanya berhenti di titik Nol Kilometer Kota Denpasar, Putrayasa juga akan menampilkan seni instalasinya di seluruh kabupaten di Bali. Pada masing-masing kabupaten dia menampilkan seni instalasi yang berbeda sesuai dengan konteks wilayah setempat. Namun, Putrayasa tetap menerapkan konsep seni publik yang bersifat interaktif untuk seni instalasinya tersebut. Pemajangan seni instalasi ini adalah pemanasan menuju ajang akbar “Kuta Sunrise Project Art 2021” yang akan dirancang Putrayasa di Pantai Kuta.


    “Pandora Paradise” yang dipajang di alun-alun Puputan Badung itu pada Sabtu sore, 26 Desember 2020, direspon oleh koreografer dan penari Jasmine Okubo dengan tari memukau yang menguarkan kepedihan dari setiap gerakan-gerakan lembut. Selain itu, penyair Wayan Jengki Sunarta, Gm Sukawidana, dan Hartanto juga merespon “Pandora Paradise” dengan pembacaan puisi. Orang-orang yang kebetulan berolah raga di alun-alun tampak membentuk kerumunan kecil menyaksikan pertunjukan tersebut.

Putrayasa termasuk seniman yang gelisah menciptakan karya-karya fenomenal. Dia didukung oleh tim yang solid untuk mewujudkan konsep-konsep seninya. Di tengah sepinya penggarapan karya-karya patung/kriya/instalasi kontemporer di Bali, kehadiran seniman muda yang sangat berbakat ini memberi warna tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan seni rupa di Bali.

Ketut Putrayasa adalah seniman kelahiran Kerobokan, Badung, Bali, 15 Mei 1981. Pada tahun 2019, dalam rangka “Berawa Beach Arts Festival”, dia menghebohkan Pantai Berawa dengan karya instalasinya berupa gurita raksasa yang dibuat dari bambu. Dalam acara bertajuk “Deep Blue Spirit” itu, puluhan seniman dari lintas seni merespon gurita raksasa itu dengan pertunjukan musik, tari, puisi, video art. Masih pada tahun 2019, Putrayasa diundang oleh Company Arsitektur and Interior Design menggarap Project Comision Artwork di Paris, Perancis.

Ketut Putrayasa menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar hingga Program Pascasarjana Penciptaan Seni. Dia meraih karya Tugas Akhir (TA) Terbaik dari ISI Denpasar tahun 2014. Dia sering mengikuti pameran bersama, antara lain pameran patung kelompok “BIASA” di Museum Pendet, Ubud (2004), “Sign of Art” di Belgia (2008), “Kuta Art Chromatic” di Kuta (2003), “Articulation” di Kuta (2014), “Chronotope” di Rich Stone Bali (2015), trienale patung “Skala” di Galeri Nasional Jakarta (2017), “Art Unlimited” di gedung Gas Negara Bandung (2018), “Bali Megarupa” di Bentara Budaya Bali (2019), dan sebagainya. Selain aktif berkarya, Putrayasa juga bergabung dengan “MilitanArt”, salah satu komunitas seni yang menggerakkan kehidupan seni rupa di Bali.

 

 


 

Tuesday 22 May 2018

Galang Kangin: Merenungi Masa Silam, Menatap Masa Depan






Teks dan Foto Oleh Wayan Jengki Sunarta



(Menembus Badai karya Made Supena)
Sebuah jukung (sampan) terpajang di tengah ruangan. Beberapa bagian dinding jukung yang tampak rapuh itu berhias lukisan wayang gaya Kamasan. Di bagian tepi dan tengah jukung berderet figur-figur yang duduk bersila dan beberapa di antaranya berdiri seolah menantang angin dan ombak. Jukung tua itu masih terlihat gagah mengarungi lautan waktu.

Jukung yang menyedot banyak perhatian pengunjung itu adalah sebuah seni instalasi berjudul “Menembus Badai” (500 x 50 x 120 cm, mix media, 2011) karya Made Supena. Jukung itu adalah salah satu karya pilihan yang dipamerkan di Bentara Budaya Bali, 13-21 Mei 2018, berkaitan dengan pameran retrospektif Galang Kangin yang dikurasi oleh Hardiman.

Pameran retrospektif ini menampilkan karya-karya terpilih dari masing-masing anggota yang diambil dari sejumlah pameran yang pernah digelar Galang Kangin. Selain karya Supena, seni instalasi karya Made Galung Wiratmaja yang berjudul “Naga Air” (2014) juga menjadi pencapaian tersendiri bagi senimannya. Atau, seni instalasi karya Dewa Gede Soma Wijaya berjudul “Yang Tersisa” yang berupa gugusan dan tumpukan batu berbagai ukuran,  mungkin menjadi sesuatu yang tak terpikirkan bagi perupa di Bali.

Selain seni instalasi, pameran ini juga menampilkan lukisan, karya trimatra, foto-foto masa lalu, kliping berita dan ulasan pameran di berbagai media cetak. Pameran ini membuat pengunjung bersentuhan langsung dengan kiprah Galang Kangin dalam keguyuban yang selalu terjaga. Pameran ini juga membuka permenungan terhadap masa silam Galang Kangin, sekaligus titik pijak untuk mengukur masa depan Galang Kangin.

Galang Kangin adalah sebuah kelompok seni rupa yang berdiri pada tanggal 9 April 1996. Kelompok ini dibentuk oleh mahasiswa seni rupa yang saat itu menempuh studi di PSSRD Universitas Udayana dan STSI Denpasar; kedua lembaga itu kemudian bergabung menjadi ISI Denpasar. Secara harfiah Galang Kangin berarti “cahaya dari timur”, “terang dari timur”, atau “fajar merekah”. Menilik dari namanya, Galang Kangin berupaya memberikan kesegaran baru bagi kehidupan seni rupa di Bali.

(Naga Air karya Galung Wiratmaja)
Sejak awal berdirinya, Galang Kangin telah mengeksplorasi estetika seni rupa dunia, mulai dari abstrakisme hingga seni instalasi yang sangat kontemporer. Bahkan pada 2002 Galang Kangin dengan gagah berani memproklamasikan manifesto berkeseniannya. Salah satu isinya adalah: “Bagi kami, seni merupakan suatu petualangan ke dalam dunia yang tidak dikenal, yang dapat diselidiki hanya oleh orang-orang yang mau mengambil risiko.”

Seperti halnya jukung yang mengarungi lautan, Galang Kangin telah lebih dari 20 tahun berproses dan turut memaknai serta mewarnai kehidupan seni rupa di Bali. Di dalam proses yang panjang itu tentu saja berbagai suka dan duka berkelindan bersama idealisme para anggotanya dalam menghayati kesenian. Terkadang di tengah jalan ada anggota yang keluar meninggalkan kelompok karena alasan tertentu. Namun ada juga anggota yang baru bergabung dan menjadi spirit tersendiri bagi keberlangsungan kelompok.

Para perupa yang tergabung dalam Galang Kangin adalah Made Supena, I Made Gunawan, I Nyoman Diwarupa, Dewa Gede Soma Wijaya, Wayan Setem, Sudarwanto, I Made Galung Wiratmaja, Nyoman Ari Winata, Wayan Naya Swantha, Made Sudana, I Putu Edy Asmara, AA Eka Putra Dela, Ni Komang Atmi Kristyadewi, I Ketut Agus Murdika, I Made Ardika. Selain tampil dalam pameran kelompok, para perupa ini telah kenyang dengan pengalaman pameran bersama maupun tunggal di  sejumlah tempat di dalam dan luar negeri.

Di tengah banyaknya kelompok seni rupa yang berguguran, Galang Kangin bisa menjadi contoh bagaimana sebuah kelompok mampu bertahan begitu lama. Selain manajemen, tentu saja mereka diikat oleh kekuatan “asah-asih-asuh” yang telah terpupuk dan terpelihara sejak para anggotanya masih mahasiswa.

Sebagai kelompok, Galang Kangin tidak melulu menampilkan karya-karya yang tampak indah dan manut pada selera pasar. Namun, para anggotanya juga menampilkan karya-karya yang berusaha kritis terhadap berbagai persoalan di luar estetika kesenian. Misalnya, kepedulian Galang Kangin pada lingkungan tampak pada pameran bertajuk “Kesadaran Makro-Ekologi: Transformasi Air dalam Karya Visual Atraktif” yang digelar pada bulan September 2014 di Bentara Budaya Bali.

(Wayan Sukra)
Galang Kangin menjadi seperti sekarang ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari peranan Thomas Freitag (1954-2013) alias Wayan Sukra, kurator dari Jerman. Wayan Sukra ikut menemani, memberikan semangat, sumbangan pemikiran, dan pencerahan kepada Galang Kangin saat awal-awal menempuh kehidupan seni rupa. Termasuk dia juga sering menjadi kurator pameran Galang Kangin sehingga sempat memunculkan polemik kurator asing di Bali pada jelang akhir 1990-an.

Made Galung Wiratmaja, salah satu pendiri Galang Kangin, mengakui bahwa Wayan Sukra sangat berperanan penting dan telaten mengasuh Galang Kangin. Bahkan, Wayan Sukra menyimpan satu rak data-data dan dokumentasi Galang Kangin, sesuatu yang tak terpikirkan oleh para perupa. Menurut Galung, Wayan Sukra selalu menghadirkan perspektif pemikiran yang jauh ke depan, termasuk pentingnya data dan dokumentasi kegiatan dalam  suatu kelompok.

Maka, untuk merayakan kehadirannya, Galang Kangin juga membuat buku tebal berjudul “Becoming: 20 Tahun Galang Kangin”. Buku itu berisikan tulisan kuratorial sejumlah pameran yang digelar Galang Kangin, kliping berita dan ulasan/kritik seni, testimoni beberapa tokoh, profil perupa, foto-foto kegiatan, dan karya-karya terpilih. Buku tersebut juga telah didiskusikan dalam program Pustaka Bentara yang digelar pada tanggal 8 April 2018 di Bentara Budaya Bali.

Kehadiran Galang Kangin patut dicatat dan mendapat tempat yang layak. Dan, tentu saja, yang lebih penting lagi, publik seni rupa masih tetap menunggu pencapaian Galang Kangin berikutnya. Menunggu karya-karya yang tidak melulu memamerkan estetika formalis, namun juga mengandung kepedulian pada permasalahan-permasalahan di tanah kelahiran. Semoga Galang Kangin tetap bersinar terang.***





Wednesday 2 May 2018

Perempuan Pasar dan Rambut Drupadi




Teks dan Foto: Wayan Jengki Sunarta



Dalam konteks budaya patriarki, pasar tradisional seringkali diidentikkan dengan perempuan. Segala sesuatu yang terjadi dalam pasar sebagian besar memang melibatkan kaum perempuan. Pasar adalah kerajaan bagi kaum perempuan. Pasar adalah ruang publik bagi perempuan untuk mengungkapkan berbagai ekspresi dan kekuasaannya.

Maka tak heran kaum lelaki sering merasa enggan, malas, atau bahkan ngeri memasuki kawasan pasar tradisional. Sebab di dalam pasar, kaum lelaki cenderung menjadi pecundang. Misalnya, lelaki cenderung lemah bahkan tak berdaya dalam urusan tawar menawar barang belanjaan. Untuk itulah urusan berbelanja ke pasar seringkali diserahkan sepenuhnya pada kaum perempuan.

Sebagai perupa yang intens mengangkat isu-isu perempuan, kali ini Citra Sasmita meriset perempuan yang bekerja di pasar untuk inspirasi karya-karya mutakhirnya. Riset ini berkaitan dengan program residensinya di Redbase Foundation Yogyakarta. Citra Sasmita merupakan perupa muda kelahiran Tabanan, Bali, 30 Maret 1990. Dia memulai karir seni rupa pada 2012 dengan menjadi ilustrator cerita pendek di sebuah koran besar di Bali. Dia juga aktif menampilkan karya-karyanya dalam sejumlah pameran bersama. Tahun 2015 dia menggelar pameran tunggal bertajuk “Maternal Skin” dan tahun 2017 bertajuk “Beauty Anatomy”. Citra adalah peraih Gold Award Winner dalam “UOB Painting of The Year 2017”.

Selama tiga bulan Citra blusukan di pasar-pasar tradisional yang berada di kawasan Yogyakarta, terutama Pasar Beringharjo. Dia mengamati, menyelami, dan menyerap suasana dan kehidupan pasar tersebut. Dia berinteraksi, melakukan observasi-partisipasi, dan mewawancarai sejumlah perempuan pasar untuk mendapatkan pengalaman dan pemahaman yang komprehensif tentang perempuan dalam kehidupan pasar tradisional.

Pengalaman Citra bersentuhan dengan kehidupan pasar tradisional di Yogyakarta dituangkannya menjadi karya-karya seni rupa yang dipamerkan di Redbase Foundation. Ada enam lukisan ukuran besar (tiga dilukis di atas kulit sapi), tiga seni instalasi, dan satu video art. Namun, Citra tidak menyuguhkan karya-karya yang realistik. Karya-karyanya cenderung simbolik dan sarat dengan muatan isu-isu perempuan. Pameran tunggal ketiganya yang bertajuk “Under The Skin” ini berlangsung dari tanggal 31 Maret hingga 28 April 2018.

Sesuai tajuk pameran, Citra ingin mengajak apresian melihat sosok perempuan secara lebih mendalam, bahkan hingga ke lapisan psikologis, budaya, dan spiritual. Sejak dulu, budaya Jawa dan Bali memang memiliki kesamaan dalam memandang dan memosisikan perempuan, baik dalam ranah domestik (keluarga) maupun publik (masyarakat). Ketimpangan dan ketidakadilan jender seringkali membuat perempuan berada dalam posisi lemah. Padahal sesungguhnya perempuan memiliki potensi, kekuatan dan kemampuan untuk mengembangkan diri secara maksimal di berbagai lini kehidupan.

Dalam pameran kali ini Citra menghadirkan sosok-sosok perempuan kurus bertelanjang dada dengan payudara kendur, namun rambut mereka tebal dan panjang. Mata perempuan-perempuan itu tampak kosong, mengesankan kelelahan dan kehampaan dalam menjalani rutinitas kehidupan. Sosok-sosok perempuan yang tampak menderita itu adalah simbolisasi perempuan tradisi atau perempuan jelata yang tidak berdaya dalam kungkungan budaya patriarki. Namun, di sisi lain, sikap pasrah/nrimo perempuan tradisi justru menjadi suatu kekuatan untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Perempuan tradisi cenderung melakukan perlawanan atau pertahanan diri dengan bersikap diam. Hal ini diwarisi dari budaya patriarki bahwa perempuan semestinya “swarga nunut, neroko katut”. Lukisan berjudul Genealogy of Silence (120 x 140 cm, 2018) secara simbolik menunjukkan bagaimana budaya diam itu diwarisi hingga tujuh turunan. Lukisan ini menampilkan sosok perempuan tua dengan wajah tak berdaya duduk di kursi coklat kusam. Rambutnya yang panjang dan lebat menjadi semacam sangkar atau perangkap bagi tujuh perempuan muda yang juga menampakkan ekspresi tak berdaya. Mereka saling bertatapan, seakan mempertanyakan takdirnya sebagai perempuan.

Lewat jalinan rambut yang berkelindan, si perempuan tua seperti sedang mewarisi ketakberdayaannya kepada perempuan-perempuan muda itu. Lewat lukisan ini, Citra ingin mengatakan bahwa masih banyak perempuan yang terikat dalam jalinan ketidakberdayaan. Pewarisan sikap pasrah/nrimo itu harus dikoreksi, sehingga perempuan tidak hanya sibuk dengan kewajibannya, namun juga bisa berbicara tentang haknya.

Ketika menghayati kehidupan Pasar Beringharjo, Citra tertarik dengan perempuan penjual daging. Aroma daging dan darah segar sangat membekas dalam ingatannya. Pergulatan perempuan dengan potongan daging menjadi simbol tersendiri dalam lukisan Citra yang berjudul The Last Embrace (120 x 140 cm, 2018). Daging dan darah adalah simbol pengorbanan kaum perempuan bagi keberlangsungan kehidupan. Secara alamiah setiap bulan perempuan mengeluarkan gumpalan darah bercampur serpihan daging dari dalam tubuhnya dan seringkali disertai rasa sakit tak tertahankan. Hal itu menjadi penderitaan rutin perempuan secara kodrati. Namun, penderitaan perempuan yang disebabkan oleh budaya patriarki sesungguhnya bisa diperbaiki bersama. 

Karya yang cukup menarik perhatian adalah sebuah instalasi berjudul “Fragmen Terakhir Drupadi” yang menampilkan jalinan rambut sepanjang 360 cm. Rambut berwarna merah yang diolah dari serat buah nanas tersebut dihiasi dengan peniti, rantai emas, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Inspirasi karya ini dikembangkan dari kisah Drupadi yang bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum keramas dengan darah Dursasana yang telah mempermalukannya. Lewat karya ini, Citra ingin menyampaikan simbol kemenangan perempuan dalam menghadapi pengalaman buruk yang pernah dideritanya. Selain itu, rambut Drupadi bisa menjadi representasi dan simbolisasi perlawanan dan perjuangan kaum perempuan menghadapi budaya patriarki.

Selain itu, dalam pameran ini, berbagai benda temuan di pasar, seperti kain serbet, irig (saringan bambu), cawan, kunyit, serat nanas, kulit sapi, bertransformasi menjadi karya seni yang sarat makna. Misalnya, video art yang menampilkan rangkaian serbet sebagai identitas perjuangan kaum perempuan. Atau irig yang berubah wujud menjadi sepasang payudara. Atau lembaran kulit sapi yang dilukisi sosok perempuan dalam tiga siklus kehidupan. Bahkan, kulit sapi memiliki makna tersendiri dalam karya tersebut. Pameran ini menarik diapresiasi, karena membuka ruang renung: sejauhmana perempuan mampu memperjuangkan kesetaraan jender dalam budaya patriarki?


















Wednesday 4 April 2018

Bayangkan Sebuah Kota Tanpa Senyummu


bayangkan sebuah kota tanpa senyummu
maka yang ada hanya rasa hampa
ketika cahaya senja
menyepuh bangunan-bangunan tua
ketika matamu menerawang jauh
pada rindu yang tak kunjung tiba

namun, di Pematangsiantar kau selalu
merenungi waktu yang mengubah wajah kota
riuh kendaraan seakan irama musik
yang setia menghibur sepi hari tuamu

mungkin kau ingin menempel secarik puisi
di tugu alun-alun atau di tembok balai kota
mungkin kau ingin cahaya
lelampu merkuri memberkatimu
ketika kau berjalan menyusuri
trotoar malam hari
mencari sisa jejak masa silam
yang hanya ada dalam kenanganmu

barangkali hanya puisi
yang mengasihimu
ketika riuh kota menelanmu


(Wayan Jengki Sunarta 2018)


Di Padang Panjang Kau Menungguku


aku berada jauh dari nagarimu
lebih jauh dari Gunung Singgalang
hanya kenangan membentang
serupa rel kereta api yang
melintasi sejuk kotamu

kau tafakur mengukur rindu
malam ini tentu kabut
mengintip tingkap rumah gadang
ketika hutan-hutan tampak muram
dan setiap pohon memeram
rahasianya sendiri

di Padang Panjang kau menungguku
hujan membasuh kota begitu mesra
sesungguhnya tidaklah jauh jarak kita
kau semayam dalam jiwaku
serupa hutan dalam pelukan halimun



(Wayan Jengki Sunarta, 2018)

Wednesday 28 February 2018

Dinamika Seni Lukis Gaya Batuan



Teks dan foto: Wayan Jengki Sunarta*


(Pria Bali di Bak Mandi karya Wayan Aris Sarmanta)
Kegiatan melukis atau menggambar di Desa Batuan, Gianyar, Bali, telah ada sejak zaman kerajaan Bali kuno dan menjadi bagian dari ritual keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan adanya kata “citrakara” (ahli gambar) dalam Prasasti Batuan, berangka tahun 944 Saka atau 1022 Masehi, ditulis pada masa Raja Marakata dari Dinasti Warmadewa.

Namun, seni lukis gaya Batuan menemukan eksistensinya dan makin dikenal secara luas ketika dikoleksi dan dipromosikan oleh antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson yang sempat melakukan penelitian di Batuan pada tahun 1930-an. Pada masa itu, tema-tema yang ditampilkan berupa aktivitas masyarakat Batuan, folklore, dan kisah-kisah pewayangan.

Sunday 26 November 2017

Candra Sangkala: Menafsir Relief Yeh Pulu



Teks dan Foto: Wayan Jengki Sunarta


Menafsir ulang dan menyajikan situs bersejarah yang bernilai arkeologis ke dalam seni rupa kontemporer tentu bukan perkara mudah. Sebab bila tidak cerdik dalam kreasi artistik, seni rupa yang disajikan cenderung hanya meniru objek yang telah ada. Tentu saja dalam hal ini diperlukan riset atau penelitian yang komprehensif tentang objek yang hendak diolah ke dalam seni rupa kontemporer. Hal itulah yang dilakukan perupa Wayan Kun Adnyana berkaitan dengan situs Relief Yeh Pulu yang berlokasi di Desa Bedulu, Gianyar, Bali.