(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 023/Januari 2010)
Seni lukis abstrak
belum mati. Bahkan tidak akan pernah mati. Abstrakisme masih tegak menantang
dunia seni rupa mutakhir, di tengah gempuran seni lukis figuratif, realisme,
hiper realisme, realisme-fotografis, yang berlindung di bawah payung
“kontemporer”.
Pengusung setia abstrakisme masih cukup
banyak, baik pelukis muda maupun tua. Salah satunya adalah Made Mahendra
Mangku, pelukis kelahiran Sukawati, Gianyar, Bali, 30 Desember 1972. Dia
lulusan ISI Yogyakarta. Beberapa karya Mangku pernah menjadi finalis Philip
Morris Indonesia Art Award (1996, 1997 dan 1998), The Best Painting of Dies Natalis
ISI Yogyakarta 1997, Award from Ministry of Art and Culture Republic of
Indonesia 1998. Sejak 1992 karya-karyanya ikut
menyemarakkan sejumlah pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Dia
pun telah lebih dari tiga kali menggelar pameran tunggal.
Mangku mulai serius
menekuni abstrakisme sejak 1994. Namun, dia juga sempat menjelajahi gaya
figuratif-kubistik. Pada permulaan melukis abstrak (1994-1998), dia secara
sadar banyak menyerap teknik pelukis abstrak Amerika yang dikaguminya, Robert
Rosonberg. Kemudian periode 1998-2000 dia banyak belajar pada karya-karya Antoni
Tapies, pelukis abstrak Spanyol, terutama dalam hal kekuatan simbol dan
kedalaman warna.
Karya-karya Mangku
cenderung mengarah ke abstrak-formalis. Lebih menekankan kekuatan goresan garis,
pilihan warna, pembagian ruang untuk membangun komposisi dalam keteraturan
irama emosi. Nuansa puitis dan kedalaman ungkapan spiritualitas sangat terasa
pada karya-karyanya. Hal itu, misalnya, tercermin pada sapuan-sapuan warna yang
mampu menggugah rasa spiritualitas dan mengembangkan imajinasi.
“Hal terpenting
dalam seni lukis abstrak adalah pengenalan diri, baru kemudian penggalian diri,
pengolahan jiwa dalam mencari jati diri,” kata Mangku.
Mangku menuturkan, dalam
menggarap seni lukis abstrak banyak kemungkinan bisa digali. Setiap tarikan garis,
sapuan warna, selalu menghadirkan ketakterdugaan. Seni lukis abstrak sangat
menantang untuk terus digumuli. Melalui aliran ini, dia banyak mengeksplorasi
kegelisahan batinnya, terutama ketika berinteraksi dengan alam dan lingkungan
sekitarnya.
Bagi Mangku,
kesulitan terbesar menggarap abstrak adalah pada saat memberi sentuhan akhir. Ketika
sebuah karya hampir selesai dikerjakan selalu muncul pertanyaan dalam hatinya,
apakah harus diakhiri atau diteruskan. Hal ini semakin menjadi tantangan
tersendiri ketika energi melukisnya terus meluap dan harus mendapatkan
pelampiasan yang sesuai.
Dalam melukis
abstrak ide adalah nomor dua. Yang terpenting adalah pengolahan batin. Mangku
lebih senang berhadapan dengan kanvas kosong dan menyesatkan diri dalam labirin
imajinasinya. Dia mengatakan kanvas kosong dan ketiadaan ide lebih menggetarkan
dan bikin greget ketimbang ide sudah ada dalam angan-angan.
“Menciptakan
lukisan abstrak tanpa ide dasar, seperti memasuki sebuah labirin dan kita terus
menerus berusaha mencari jalan keluarnya dan merasa puas setelah terbebas dari
ketersesatan yang indah. Namun, ketika ide lebih dulu muncul, misteri dan
kejutannya sudah tidak ada lagi,” tutur Mangku.
Dalam melukis,
Mangku masih berpedoman pada suasana hati (mood). Kalau moodnya lagi bagus,
dalam sebulan dia mampu menyelesaikan 20 lukisan. Namun kalau tidak mood, dalam
sebulan belum tentu menghasilkan sebuah karya.
Ketika banyak pelukis
abstrak kebanjiran order, Mangku tetap dengan tenang menolak pesanan/order.
Mangku bukanlah pelukis yang mudah didikte selera pasar. Pernah ada galeri dari
luar negeri yang memintanya membuat lukisan abstrak dengan ukuran tertentu,
menggunakan gaya dan teknik yang sama. Rencananya akan dipakai untuk keperluan dekorasi
ruang hotel. Jelas saja Mangku menolak tawaran itu mentah-mentah, meski sebuah
karyanya diganjar dengan harga yang cukup menggiurkan.
“Jangankan mengenai
teknik dan gaya, disuruh membuat lukisan dengan ukuran tertentu saja saya tidak
mau meladeni. Hal itu selalu bertentangan dengan nurani saya,” ujarnya.
Ketika seni lukis
kontemporer dengan kecenderungan figuratif menyesaki pasar seni rupa, Mangku tetap
gigih pada keyakinannya di jalur abstrak. Meskipun karya-karyanya jarang laku,
baginya abstrak tidak akan pernah mati. Suatu ketika seni lukis abstrak akan
kembali dilirik. Abstrak masih punya tempat dalam dunia seni rupa.
Mangku menilai
konsep seni kontemporer di Indonesia sudah salah kaprah. Betapa sedikit pelukis
yang mau serius mengeksplorasi dunianya sendiri dan bersikap terhadap
pilihannya. Pelukis semestinya mampu mengolah berbagai gagasan sesuai dengan
kepribadiannya sendiri. Tidak hanya ikut-ikutan pasar. Bagi Mangku, kontemporer
lebih kepada sikap hidup, pola pikir dan sikap terhadap karya.
No comments:
Post a Comment