cerpen : Wayan Sunarta
Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih
mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing,
kembar laki-perempuan! Meski melahirkan di rumah sakit di kota kabupaten, tapi
berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.
Kelahiran bayi kembar buncing dianggap membawa aib yang akan
mencemari desa. Menurut awig-awig setempat, orang tua dan bayinya harus
diasingkan selama 42 hari di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarganya
juga diwajibkan menggelar upacara bersih desa di perempatan desa yang menelan
biaya tidak sedikit.
Tubuh Luh Sarni yang masih lemas
karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah
sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah ia menatap
kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi
ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan
muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana
yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka
tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa
pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar
buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhyul,” gumam Luh
Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa dimana tidak
satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab
dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur, meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang
memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa
bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai
beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya
sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ‘kan adik
perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di
desa menemani Ibu. Selain itu aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ‘kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal
di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma
berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana
menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke
desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa
jaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli
akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di
Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang dan
menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup
kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan
ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di
lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten hanya menghabiskan
waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus
memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi
adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan
tahun lalu. Tapi kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing
membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig?
Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa
pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orang
tuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan
harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan mereka juga
tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura. “Tidak
manusiawi sekali!” gerutu Darsa dalam hati.
Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya. “Tadi pagi tetua
adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang
bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak
benar. Tapi tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur.
Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me.
Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore
tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk
memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil
keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap
membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus
bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini.
Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa
menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa
sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat
biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing.
Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah
dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib
karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig
desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur
pulas.
***
Balai desa dipenuhi warga. Paruman
belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumuman kecil di pinggir jalan, di
warung tuak dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati,
melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu
kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa
kekeringan berkepanjangan.”
“Panen
akan gagal lagi.”
“Sebulan
lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba
pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh…Dewa Ratu, bencana apa
yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat
sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya. Aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir
desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar
suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa
diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di
pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang
mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam
ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumahnya sekitar jam delapan malam.
Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di
jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balai desa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman
berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih
dan nasehat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat
yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan
wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara.“Awig-awig harus
ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari.
Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku
desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian
kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman
menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada
pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!”
Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat.
Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki
tangga balai desa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian.
Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!”
Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman
ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian.
Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing
belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya
puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar
kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya
yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi, diam-diam
mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut
dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga
Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari
rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa
yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun
warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau
kolot tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih
parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian
menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa
berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa
jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati.
Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig
kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh.
Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik nafas
mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri
sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis dan
buku catatan, kemudian meninggalkan balai desa diiringi tetua adat yang lain.
Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balai desa
menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balai desa.
Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya
sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua
adat.
***
Bulan hampir penuh menyembul dari
rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak kembali berkelebat dalam
benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di
kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan
sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai
desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak.
Masih membekas dalam kenangannya
bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari
punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk
melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru,
meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus menerus mendorong Darsa agar
sekolah dan kuliah di kota.
Namun kesuksesan menyekolahkan anak
di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak
senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling
suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang seringkali mengatasnamakan
awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig
dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu
yang tidak ditentukan. Bahkan ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh
dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui
kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya,
Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda
sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya?
Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu
kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum
juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena
melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa
malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia
merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig
yang kolot dan seringkali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya
sendiri.
Hasil paruman telah
diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat
kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan
hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan
selama sebulan lebih.
Tiada cara lain kecuali harus
menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa
menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih
mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi
kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir.
Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti
ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau
berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme
masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini
akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi.
Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya
luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig
itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri:
mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas adat yang
diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa
yang sangat dicintainya itu.***
Denpasar,
2004
Keterangan:
Awig-awig =
aturan-aturan adat yang diwarisi turun-temurun.
Aben/ngaben = upacara pembakaran mayat.
Bli = abang,
kangmas, kakak.
Benang tridatu =
benang tiga warna (hitam, merah, putih) sebagai penolak bala.
Caru agung =
upacara besar/bersih desa, untuk mengusir roh jahat, wabah dan menetralisir desa dari pengaruh aib.
Jaba = luar.
Kembar Buncing =
Kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar
buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim
selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang
membawa Bali ke arah kemakmuran. Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing
telah dihapus oleh DPRD Bali dalam Paswara No.10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951,
yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun sampai kini
beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
Klian = ketua.
Leteh = cemar, aib.
Leak = orang yang
mempratekkan ilmu hitam.
Meme = mama, ibu.
Paruman = rapat/sidang adat.
Pasupati =
pemberkatan atau pengesahan senjata pusaka, awig-awig, melalui ritual khusus.
Pemangku = pemimpin upacara agama Hindu
di Bali.
Siat peteng =
perang malam bagi yang suka menguji
kesaktian, biasanya perang tanding antar leak berupa benturan-benturan bola api
di langit malam.
(Kompas, 14 Maret 2004)
No comments:
Post a Comment