Labels

Tuesday 8 November 2011

Belajar pada Lebah



(Tulisan kuratorial “Suasana Lebah”, pameran tunggal Ketut ‘Kabul’ Suasana di Sudana Gallery, Ubud, 7 – 17 Oktober 2009)


Oleh: Wayan Sunarta



(karya Ketut 'Kabul' Suasana)
Dunia seni rupa tidak hanya unjuk keterampilan teknis, melainkan juga pergulatan ide, pemikiran atau wacana, untuk mencoba melahirkan berbagai terobosan baru. Namun  pada kenyataannya, dunia seni rupa dipersempit dengan maraknya trend atau selera pasar dimana banyak pelukis muda terjebak menjadi bebek, tanpa memiliki pendirian jelas.
Misalnya, ketika trend lukisan tertentu banyak diminati pasar, para pelukis “bebek” ramai-ramai meniru trend tersebut. Bila perlu dengan menggunakan teknik-teknik canggih dan bantuan komputer beserta perangkat lunak lainnya. Pelukis-pelukis itu kemudian berlindung dibalik kata “kontemporer” tanpa memahami betul makna kata itu sendiri. Galeri dan para cukong seni rupa sering pula mendikte pelukis untuk mengikuti selera pasar. Parahnya lagi, demi terserap pasar, banyak pelukis muda kehilangan jati dirinya karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Kondisi ini menyebabkan dunia seni rupa lebih mirip pasar kerajinan seperti biasa dilihat di pasar Sukawati atau Ubud.
            Sejatinya apa yang dicari pelukis dengan karya-karyanya? Ketenaran instan? Kekayaan instan? Atau, pergulatan yang gigih demi proses kreatif berkesenian? Semua itu, memang, kembali kepada pilihan sadar masing-masing pelukisnya. Bara api kreativitas semestinya terus dijaga agar dunia seni rupa tidak merosot ke dalam kubangan “omong kosong” belaka.

Upaya Merebut Posisi
            Di Bali, ratusan pelukis muda bermunculan, berebut posisi dengan berbagai cara. Ada yang datang, ada yang menghilang. Seperti kata pepatah: mati satu, tumbuh seribu. Tentu hukum seleksi alam sangat ketat dalam rimba belantara seni rupa mutakhir. Yang kuat dari segi gagasan, keterampilan teknis, “dan lain-lain”, kemungkinan akan terus bertahan. Yang lemah dan plintat-plintut dipastikan akan tergerus dan menjadi lumpur kesenian. Mengerikan, memang!        
            Ketut Suasana alias Kabul termasuk salah satu pelukis muda yang gigih berebut posisi. Dia menolak menjadi pelukis sekedar atau pelukis “bebek”. Ada keinginan kuat dan berbagai percikan impian dalam dirinya, untuk terus melangkah dengan mantap menjadi pelukis yang kelak akan diperhitungkan. Energi kreatifnya terus meletup-letup. Dalam upaya merebut posisi, tentu saja dia tidak mau ikut-ikutan trend pasar seni rupa terkini. Dia bukan tipe pelukis muda yang mudah didikte oleh selera pasar. Dan semoga saja akan terus begitu. Sebab hal itu merupakan salah satu modal awal menjadi pelukis yang tidak sekedar.
            Kabul mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Ia lahir di Apuan, Tabanan, 30 Desember 1978. Sejak 1995, ia aktif mengikuti berbagai pameran bersama, baik di Bali maupun luar Bali. Dan pada tanggal 7-17 Oktober 2009, Kabul menggelar pameran tunggal perdana bertajuk “Suasana Lebah”, bertempat di Sudana Gallery, Sanggingan, Ubud, Bali.
(Jean Couteau dan Kabul saat pembukaan pameran "Suasana Lebah")
Di jaman mutakhir ini, Kabul merupakan salah satu contoh seniman yang masih hidup dalam dua kutub besar yang tarik menarik, antara tradisi dan modern. Namun hal itu tidaklah menjadi persoalan baginya. Misalnya, dia ikut ngayah (kerja sukarela) membuat barong di Pura Natar Sari, Apuan, Tabanan, untuk memenuhi panggilan tradisi dan relegi. Atau pada waktu lain dia menyibukkan diri menjelajahi berbagai kemungkinan yang ditawarkan seni rupa modern, melalui pergulatan dalam penguasaan keterampilan teknis, pemikiran dan perenungan mendalam dari letupan-letupan gagasan. Bias-bias seni tradisi dan modern seringkali muncul saling melengkapi dalam lukisan-lukisan awalnya. Bagaimana pun juga manusia tidak bisa sepenuhnya lari dari “ibu tradisi”.
Dalam melukis, Kabul cenderung mengikuti selera dan naluri jiwanya. Letupan-letupan gagasan seringkali menari-nari di kepalanya yang kemudian muncul melalui karya-karyanya. Selain berbekal ketrampilan teknis yang memadai, Kabul berupaya menggali gagasan dari banyak membaca dan menggerakkan seluruh inderanya. Hal itu bisa dilihat pada lukisan-lukisan terkininya yang menampilkan lebah sebagai simbol dan metafora untuk melihat kondisi jaman.
Kabul telah lama tertarik pada keindahan lebah, terlebih lagi kehidupan lebah yang sarat semangat kebersamaan. Secara serius Kabul mempelajari filosofi kehidupan lebah, serangga yang mengalami metamorfosis sempurna, yakni dari telur, larva, kepompong (pupa) dan lebah. Menurut Kabul, lebah termasuk serangga yang sangat unik. Umumnya lebah hidup berkelompok, meski ada juga jenis lebah yang suka hidup menyendiri (soliter). Lebah tidak akan menyerang jika tidak diganggu. Masyarakat lebah mengenal pembagian kerja. Lebah ratu yang hanya satu ekor dalam setiap koloni bertugas mengatur semua kegiatan lebah betina dan pejantan. Lebah ratu mampu hidup hingga tiga tahun, tugas utamanya kawin dan bertelur.
Lebah betina atau lebah pekerja bertugas mengumpulkan serbuk sari dan nektar untuk diolah menjadi madu yang disimpan dalam sarangnya. Lebah betina yang lain bertugas membersihkan sarang dan menjaga anak-anak lebah. Masa hidup lebah pekerja sekitar tiga bulan. Lebah betina terbentuk tanpa melalui perkawinan dan mandul. Lebah jantan bertugas mengawini lebah ratu dan mati setelah kawin.
Dunia lebah memang sangat mengagumkan. Misalnya, lebah mampu membuat sarang yang sangat rumit dan artistik. Itulah salah satu keahlian yang diberkati semesta kepada lebah. Meski bertubuh kecil, lebah mampu bekerjasama dan menyelesaikan tugas-tugas besar untuk suatu tujuan bersama. Manusia belum tentu mampu menyaingi koloni lebah dalam urusan kerjasama atau kehidupan sosial. Karena manusia masih diselimuti ego individu. Bagi lebah, hidup adalah bekerja, tanpa kenal istirahat, demi kepentingan dan kebaikan bersama. Mungkin, begitu juga bagi Kabul.

Kabul dan Lebah
(karya Ketut 'Kabul' Suasana)
Melalui lukisan-lukisan dengan subjek matter lebah, Kabul ingin mengajak apresian untuk kembali merenungi kehidupan lebah. Terlebih di jaman yang serba individualis ini. Seluruh lukisan terbaru Kabul berkisah tentang dunia dan suasana lebah. Secara umum kecenderungan visual lukisan Kabul bisa dipilah menjadi bentuk-bentuk abstraksi dan deformatif.
Kecenderungan abstraksi terlihat pada upaya-upaya Kabul menciptakan efek-efek stilisasi atau pengayaan formasi-formasi kerumunan lebah. Irama yang cenderung repetitif berpadu dengan komposisi warna, garis, bidang sehingga melahirkan kedinamisan. Terkadang sapuan-sapuan warna yang membentuk latar dibuat secara acak sesuai naluri arus bawah sadarnya. Pilihan warna-warna tertentu  mewakili perasaan Kabul pada setiap sesion lukisannya.
Hal itu misalnya terlihat pada lukisan “Lebah-lebah Putih” yang cenderung abstraktif. Dominan warna merah muda berpautan dengan biru kehijauan dan hitam. Lebah-lebah putih nampak berkerumun pada bidang sapuan warna merah muda. Bidang-bidang lain dipenuhi formasi kerumunan lebah warna biru, kuning, coklat muda, abu-abu. Semua tersusun dalam suatu komposisi yang abstraktif.
Beberapa lukisan lain juga menunjukkan kecenderungan abstraksi yang hampir sama. Seperti pada lukisan “Sisa Kebakaran” yang penuh sapuan warna hitam dan kelabu dengan aksen warna merah. Kerumunan lebah nampak membentuk formasi tak beraturan menandakan kepanikan akibat musibah kebakaran. Lukisan ini sarat renungan ekologis dalam kaitan menjaga kelestarian hutan. Atau pada lukisan “Bunga” yang menampilkan kerumunan lebah warna kuning muda menyerbu sekuntum bunga berkelopak merah. Pada latar belakang terlihat sarang lebah berwarna ungu muda.
Pada lukisan “Keseimbangan” yang bernuansa spiritual, efek deformatif yang berbaur dengan abstraksi sangat terasa. Terlihat kerumunan lebah membentuk formasi simbol lingkaran “Ying-Yang”. Pada latar belakang nampak abstraksi dengan membaurkan warna ungu, putih, dan hitam yang mengesankan gejolak perasaan yang sedang berjuang menggapai keseimbangan dalam tatanan kosmis.
Kecenderungan abstraksi juga sangat terasa pada lukisan “Menuju Puncak” dimana nampak kerumunan lebah warna-warni berupaya meraih puncak gunung. Komposisi warna gunung dibuat dengan membaurkan warna biru, putih, dengan aksen merah di pinggirannya. Langit di seputaran gunung itu dipenuhi kerumunan lebah warna-warni membentuk komposisi terstruktur.
Pada lukisan “Suasana Lebah” terlihat ribuan lebah berhamburan di udara. Lebah-lebah dengan berbagai warna itu membentuk formasi. Seakan hendak memamerkan kepada dunia, meski tubuh mungil namun menyimpan kekuatan dalam kebersamaannya. Warna-warni dari kerumunan dan formasi lebah itu tertata dalam komposisi yang memikat dengan kecenderungan abstraksi.
Keanggunan abstraksi dari kerumunan lebah tampak pada lukisan “Populasi Lebah” dimana hampir seluruh bidang kanvas ukuran 250 x 289 cm ditutupi dengan kerumunan lebah. Pengaturan komposisi warna juga ditata sedemikian rupa untuk memunculkan kesan keindahan dari abstraksi itu. Sekelumit pembauran warna biru dan ungu di sudut kiri atas kanvas memberi kesan rekahan pada sarang lebah. Di sini bisa dilihat bagaimana ketekunan dan kesabaran pelukisnya menggurat gambar-gambar lebah yang jumlahnya ribuan itu.
Pada lukisan “Terbang Keluar” terlihat permainan estetik Kabul menggabungkan komposisi kerumunan lebah di antara kelindan rambut atau serabut warna-warni. Lukisan ini mengesankan ribuan lebah mengrubungi rambut yang menjuntai dan berombak-ombak, menampilkan permainan komposisi yang menarik. Rekahan bidang kosong di bagian atas mengesankan ruang terbuka yang memungkinkan berbagai tafsir berkembang.
Kecenderungan deformatif dalam lukisan-lukisan Kabul terlihat dari bagaimana dia membangun dan mengatur komposisi kerumunan lebah sedemikian rupa yang dikaitkan dengan tema-tema mutakhir. Misalnya, dalam lukisan “Gedung-gedung Lebah” terlihat bagaimana kerumunan lebah membentuk gedung-gedung mencakar langit. Seakan dunia manusia telah dikuasai lebah. Kalau dikaitkan dengan persoalan ekologi, lukisan ini menyuratkan semacam kritik dan permenungan atas berbagai bentuk perubahan drastis yang menimpa alam. Hutan-hutan telah banyak dibabat untuk pemukiman sehingga lebah tidak bisa lagi membangun sarang. Akhirnya, masyarakat lebah menyerbu perkotaan dan membangun gedung-gedung lebah dan menguasai kota.
            Atau pada lukisan “Level” dengan latar warna kuning nampak kerumunan lebah membentuk roda sepeda gayung, sepeda motor dan mobil. Kabul memang memusatkan perhatiannya pada roda sebagai simbolisasi dari kehidupan. Bagi Kabul, wadah atau wujud yang dikaitkan sebagai level atau label fisik bisa berbeda-beda, namun yang menggerakkan tetaplah roda. Menurut Kabul, umumnya manusia memandang keberhasilan manusia lain seringkali dari segi fisik dan materi saja. Lebih khusus lagi keberhasilan dipandang dari kendaraan yang dipakai seseorang, apakah bersepeda gayung, bermotor atau bermobil. Padahal salah satu elemen yang membuat ketiga kendaraan itu bisa berjalan adalah roda. Secara filosofi, nasib manusia memang seperti perputaran roda, kadang di bawah kadang di atas.
            Pada lukisan-lukisan yang mencitrakan suasana alam (pepohonan) terlihat efek deformatif dimana kerumunan lebah dibuat menyerupai rimbun dedaunan dan buah-buah pepohonan. Lukisan-lukisan ini nampak surealistik. Hal itu misalnya terlihat pada lukisan “Pohon” yang menggambarkan suasana hutan berkabut dengan pohon-pohon besar yang rimbun dedaunnya terbentuk dari gerombolan lebah. Rerimbun “daun lebah” yang lebih spesifik tampak dalam lukisan ”Bayangan Pohon Lain”, “Cabang Baru”, “Nuansa Alam” dan “Buah Karma”.
Secara umum, isi dan bentuk dalam lukisan-lukisan Kabul telah mengalami sublimasi. Lebah sebagai simbol dan metafora seakan menemukan tempat yang tepat. Hal itu tentu didukung oleh pengolahan elemen-elemen rupa yang telah tertata. Kabul berupaya menawarkan kesegaran baru dalam dunia seni rupa dengan pilihan dan penggarapan subjek matter yang khas. Setidaknya, melalui lukisan-lukisan Kabul, manusia bisa kembali belajar pada dunia lebah, terutama perihal semangat kebersamaan.***


.

No comments:

Post a Comment