Labels

Tuesday 8 November 2011

Setia di Jalur Abstrak


(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 023/Januari 2010)


Teks dan Foto Wayan Sunarta


Seni lukis abstrak belum mati. Bahkan tidak akan pernah mati. Abstrakisme masih tegak menantang dunia seni rupa mutakhir, di tengah gempuran seni lukis figuratif, realisme, hiper realisme, realisme-fotografis, yang berlindung di bawah payung “kontemporer”.

Pengusung setia abstrakisme masih cukup banyak, baik pelukis muda maupun tua. Salah satunya adalah Made Mahendra Mangku, pelukis kelahiran Sukawati, Gianyar, Bali, 30 Desember 1972. Dia lulusan ISI Yogyakarta. Beberapa karya Mangku pernah menjadi finalis Philip Morris Indonesia Art Award (1996, 1997 dan 1998), The Best Painting of Dies Natalis ISI Yogyakarta 1997, Award from Ministry of Art and Culture Republic of Indonesia 1998. Sejak 1992 karya-karyanya ikut menyemarakkan sejumlah pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Dia pun telah lebih dari tiga kali menggelar pameran tunggal.

Mangku mulai serius menekuni abstrakisme sejak 1994. Namun, dia juga sempat menjelajahi gaya figuratif-kubistik. Pada permulaan melukis abstrak (1994-1998), dia secara sadar banyak menyerap teknik pelukis abstrak Amerika yang dikaguminya, Robert Rosonberg. Kemudian periode 1998-2000 dia banyak belajar pada karya-karya Antoni Tapies, pelukis abstrak Spanyol, terutama dalam hal kekuatan simbol dan kedalaman warna.

Karya-karya Mangku cenderung mengarah ke abstrak-formalis. Lebih menekankan kekuatan goresan garis, pilihan warna, pembagian ruang untuk membangun komposisi dalam keteraturan irama emosi. Nuansa puitis dan kedalaman ungkapan spiritualitas sangat terasa pada karya-karyanya. Hal itu, misalnya, tercermin pada sapuan-sapuan warna yang mampu menggugah rasa spiritualitas dan mengembangkan imajinasi.

“Hal terpenting dalam seni lukis abstrak adalah pengenalan diri, baru kemudian penggalian diri, pengolahan jiwa dalam mencari jati diri,” kata Mangku.

Mangku menuturkan, dalam menggarap seni lukis abstrak banyak kemungkinan bisa digali. Setiap tarikan garis, sapuan warna, selalu menghadirkan ketakterdugaan. Seni lukis abstrak sangat menantang untuk terus digumuli. Melalui aliran ini, dia banyak mengeksplorasi kegelisahan batinnya, terutama ketika berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Bagi Mangku, kesulitan terbesar menggarap abstrak adalah pada saat memberi sentuhan akhir. Ketika sebuah karya hampir selesai dikerjakan selalu muncul pertanyaan dalam hatinya, apakah harus diakhiri atau diteruskan. Hal ini semakin menjadi tantangan tersendiri ketika energi melukisnya terus meluap dan harus mendapatkan pelampiasan yang sesuai.

Dalam melukis abstrak ide adalah nomor dua. Yang terpenting adalah pengolahan batin. Mangku lebih senang berhadapan dengan kanvas kosong dan menyesatkan diri dalam labirin imajinasinya. Dia mengatakan kanvas kosong dan ketiadaan ide lebih menggetarkan dan bikin greget ketimbang ide sudah ada dalam angan-angan.

“Menciptakan lukisan abstrak tanpa ide dasar, seperti memasuki sebuah labirin dan kita terus menerus berusaha mencari jalan keluarnya dan merasa puas setelah terbebas dari ketersesatan yang indah. Namun, ketika ide lebih dulu muncul, misteri dan kejutannya sudah tidak ada lagi,” tutur Mangku.

Dalam melukis, Mangku masih berpedoman pada suasana hati (mood). Kalau moodnya lagi bagus, dalam sebulan dia mampu menyelesaikan 20 lukisan. Namun kalau tidak mood, dalam sebulan belum tentu menghasilkan sebuah karya.

Ketika banyak pelukis abstrak kebanjiran order, Mangku tetap dengan tenang menolak pesanan/order. Mangku bukanlah pelukis yang mudah didikte selera pasar. Pernah ada galeri dari luar negeri yang memintanya membuat lukisan abstrak dengan ukuran tertentu, menggunakan gaya dan teknik yang sama. Rencananya akan dipakai untuk keperluan dekorasi ruang hotel. Jelas saja Mangku menolak tawaran itu mentah-mentah, meski sebuah karyanya diganjar dengan harga yang cukup menggiurkan.

“Jangankan mengenai teknik dan gaya, disuruh membuat lukisan dengan ukuran tertentu saja saya tidak mau meladeni. Hal itu selalu bertentangan dengan nurani saya,” ujarnya.

Ketika seni lukis kontemporer dengan kecenderungan figuratif menyesaki pasar seni rupa, Mangku tetap gigih pada keyakinannya di jalur abstrak. Meskipun karya-karyanya jarang laku, baginya abstrak tidak akan pernah mati. Suatu ketika seni lukis abstrak akan kembali dilirik. Abstrak masih punya tempat dalam dunia seni rupa.

Mangku menilai konsep seni kontemporer di Indonesia sudah salah kaprah. Betapa sedikit pelukis yang mau serius mengeksplorasi dunianya sendiri dan bersikap terhadap pilihannya. Pelukis semestinya mampu mengolah berbagai gagasan sesuai dengan kepribadiannya sendiri. Tidak hanya ikut-ikutan pasar. Bagi Mangku, kontemporer lebih kepada sikap hidup, pola pikir dan sikap terhadap karya.

No comments:

Post a Comment