Labels

Tuesday 8 November 2011

Transformation: Antara Harapan dan Kegamangan


(Tulisan pengantar pameran tunggal Anthok S. bertajuk “Transformation”, di HitamPutih Art Space, Sangeh, Bali, 28 Oktober – 28 November 2010)



Oleh: Wayan Sunarta*


(Anthok dan Wayan Sunarta, saat pembukaan pameran Transformation)
Lukisan-lukisan Anthok kebanyakan berkisah tentang perubahan (transformation), suatu kondisi alamiah yang sering dialami manusia. Ada banyak faktor yang memengaruhi perubahan. Seperti keinginan untuk maju atau menggapai masa depan yang lebih baik, bosan dengan suatu rutinitas, mencari atau mencoba pengalaman baru, tidak puas dengan yang telah dimiliki, atau keinginan menghancurkan diri sendiri karena suatu kekecewaan, dan sebagainya. Begitulah, setiap perubahan bisa merujuk pada dua hal, positif atau negatif, tergantung latar belakang atau niat yang melandasinya.

Melalui karya-karyanya, Anthok mempresentasikan betapa manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Selalu muncul keinginan-keinginan baru, untuk terus menerus minta dipuasi. Hal inilah yang sering membuat manusia gamang menjalani kehidupannya. Dan, pada akhirnya memunculkan guncangan budaya. Godaan aneka iklan sering menjerumuskan manusia ke jurang gaya hidup konsumtif. Diperparah lagi dengan tayangan-tayangan sinetron yang tidak mendidik, dan seringkali dipakai sebagai acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semua itu bercampur aduk dengan impian-impian manusia untuk menjadi yang terbaik, terutama demi penampilan dan citra diri yang seringkali bersifat semu.

Gaya hidup modern kini telah menjadi acuan banyak orang, baik di pedesaan maupun perkotaan. Berbagai jenis iklan telah menjadi sarana ampuh untuk mendukung lifestyles atau gaya hidup, demi menunjukkan kemoderenan. Iklan menjadi corong kapitalisme dan budaya industri, yang tak henti-hentinya mengumbar janji-janji, yang perlahan-lahan meracuni akal sehat dan menguliti kesejatian manusia. Iklan telah ikut andil dalam membangun “budaya citra” (image culture). Dan, sasaran iklan kebanyakan adalah wanita. Sebab, umumnya wanita yang paling cepat tanggap mengikuti arus mode atau trend terbaru dari aneka produk yang ditawarkan, terutama yang berkaitan dengan lifestyles. Mungkin, itu juga sebabnya mengapa lukisan-lukisan Anthok banyak berkisah tentang wanita beserta problema yang melingkupinya.

(Lihatlah Aku, karya Anthok)
Hal itu, misalnya, bisa dicermati pada lukisan berjudul “Lihatlah Aku”. Lukisan ini menampilkan seorang wanita muda yang nampak begitu terobsesi dengan trend-trend terbaru, baik gaya pakaian, pernak-pernik yang menghiasi tangannya, hingga gaya rambut. Dengan berkacak pinggang dia menunjukkan kekuasaannya akan trend-trend terbaru yang memenuhi tubuhnya. Seakan dia ingin berseru kepada dunia: lihatlah aku! Lukisan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa wanitalah yang paling sibuk mengikuti trend-trend terbaru, bahkan hingga ke batas-batas di luar kemampuannya.

Trend juga merambah ke berbagai bentuk busana, dari pakaian luar hingga pakaian dalam. Dalam lukisan berjudul “Celana Dalam dan Sekuntum Mawar”, Anthok menampilkan figur seorang bocah wanita yang sedang menempelkan jari telunjuk di bibir, menandakan isyarat untuk diam. Di sebelahnya, nampak sosok tubuh wanita dewasa mengenakan celana dalam warna putih dengan renda-renda menggoda. Dalam hal ini, celana dalam tidak hanya berfungsi untuk menutupi kemaluan, melainkan telah menjadi bagian dari mode. Dalam lukisan ini, nampak juga setangkai mawar merah menggelantung di atas perut ramping sosok wanita dewasa itu, tidak jauh dari pusar yang ditindik. Dan lihatlah posisi tangan kiri wanita itu, jemarinya seakan hendak membuka celana dalamnya. Lukisan ini mengesankan kenakalan, dan menegaskan bahwa sosok wanita memang senantiasa menggoda dan penuh diliputi rahasia.

Iklan yang banyak mengumbar trend dan mode produk-produk terkini begitu menyihir wanita. Tak ada yang lebih mematikan daripada sihir iklan. Bahkan wanita-wanita pedesaan yang dianggap sangat menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai leluhur menjadi meluap-luap hasratnya di bawah bayang-bayang sihir iklan. Di jaman kontemporer ini, televisi begitu atraktif menebarkan sihir iklan hingga ke pelosok-pelosok desa terpencil. Kekuatan sihirnya semakin mengerikan ketika jaringan internet dan pemakaian ponsel juga meluas hingga ke daerah pedalaman. Dengan mudah para remaja menyaksikan ribuan trend dan mode terbaru yang menggiurkan melalui website, blog pribadi, facebook. Tentu saja apa yang disuguhkan dunia maya internet tidak selalu positif. Tayangan-tayangan dan iklan-iklan berbau negatif pun semakin intens mencekoki pikiran para pengguna internet.

(Selamat Tinggal, Tradisi..karya Anthok)
Lukisan berjudul “Selamat Tinggal, Tradisi!” dan “Garis Merah Impian” dengan tegas mempresentasikan benturan budaya dan kegamangan yang menghantui pikiran manusia. Budaya modern atau bahkan kontemporer dengan sihir iklan dan lifestyles beserta antek-anteknya, perlahan melumat budaya tradisional yang berupaya bertahan dengan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang. Dalam lukisan “Selamat Tinggal, Tradisi!”, tampak seorang wanita muda dengan wajah bangga dan sumringah menampilkan rancangan busana terkini yang mencitrakan gaya hidup modern. Dan, sebagai latar belakang yang mengisyaratkan kesilaman, tiga sosok gadis desa dalam balutan busana tradisi yang disakralkan hanya menjadi bayang-bayang yang pecah dan hablur.

Atau, pada lukisan “Garis Merah Impian”, menampilkan sosok wanita muda Desa Tengenan dalam balutan busana tradisional khas desanya, begitu terpukau (tersihir) menyaksikan sosok tubuh wanita modern dalam balutan busana yang serba glamour dan mencitrakan sensualitas. Garis merah yang menghubungkan dua bidang dimana masing-masing wanita itu berada, menjadi simbol impian yang saling berkait, bahkan mungkin paradoks: wanita tradisional mengimpikan gaya hidup modern, sedangkan wanita modern mengimpikan keanggunan masa silam.

Dalam dua lukisan ini, Anthok secara gamblang mempresentasikan apa yang sedang melanda kebudayaan Bali. Tarik menarik antara dua kekuatan, modern dan tradisi, begitu sangat terasa di Bali. Menjadi ironi yang tak berkesudahan. Gaya hidup modern dari hari ke hari berupaya melibas gaya hidup tradisional. Nilai-nilai dari dunia modern yang mementingkan sikap praktis, pragmatis, individualis, berlomba-lomba menginjak-injak nilai-nilai dunia tradisi yang mementingkan kolektivitas atau kebersamaan, kekeluargaan, tata krama, sopan-santun. Pada akhirnya, perlahan namun pasti, pewaris tradisi meninggalkan leluhurnya, sedangkan pemburu gaya hidup modern makin gamang dengan kehidupan yang dijalaninya. Yang tercipta kemudian adalah sebuah dunia yang chaos, penuh benturan hasrat dan kepentingan, semuanya demi citra diri. 

Lukisan berjudul “Lamunan di Balik Tirai” bisa mewakili kegamangan yang dihadapi wanita dari dunia tradisi. Di sini nampak sosok wanita muda dalam balutan busana tradisi duduk termenung di balik tirai. Entah apa yang menggelayuti benaknya. Bisa jadi, wanita muda ini gamang dengan tekanan dan tuntutan dari dunia tradisional. Mungkin dia merindukan dunia modern yang menjanjikan kebebasan.

(Kasih Sayang, karya Anthok)
Hal yang senada juga terlihat pada lukisan “Kasih Sayang”. Bedanya, lukisan ini mempresentasikan kegamangan yang dihadapi wanita modern. Wanita cantik yang sebagian tubuhnya dibalut lingerie putih itu, nampak termenung. Ada seekor merpati putih terbang menghampirinya. Lukisan ini sangat puitis, liris, dan mencuatkan kesam muram. Apa kiranya yang sedang dipikirkan wanita cantik itu? Bisa jadi dia gamang dan merasa hampa dengan dunia modern yang dijalaninya. Gamang dengan tekanan gaya hidup modern yang penuh persaingan untuk tampil lebih cantik, lebih anggun, bahkan dengan menghalalkan segala cara, demi citra diri yang semu. Mungkin dia ingin menjadi seputih merpati yang menebarkan kasih dengan tulus. Namun, dalam dunia modern, ketulusan telah menjadi suatu yang langka.

Kalau dicermati lebih mendalam, lukisan-lukisan Anthok tidak hanya menyajikan keindahan visual dan eksotika, namun sejatinya banyak mengisyaratkan pesan dan renungan. Anthok tidak sekedar menampilkan keindahan dan kemolekan tubuh wanita, namun lebih mengungkapkan dan melukiskan perasaan-perasaan yang dialami wanita ketika berada di tengah-tengah benturan budaya yang akhir-akhir ini makin mencemaskan. Dengan penguasaan teknis melukis yang cukup memadai, Anthok meramu kecemasan, harapan, impian, kegetiran, kehampaan, kegamangan yang banyak dialami wanita di dalam menjalani kehidupannya. Wanita-wanita yang letih menyusuri jalan tradisi maupun kebingungan merambah modernitas.



* penulis adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah mengenyam pendidikan Seni Rupa di ISI Denpasar. Menulis karya sastra, artikel budaya dan ulasan seni rupa di berbagai media massa di Indonesia.

No comments:

Post a Comment