Labels

Tuesday 8 November 2011

Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak


(Pengantar kuratorial pameran “Polusi Rasa” Atmi Kristiadewi di Ten Fine Art Gallery, Sanur, 4 - 14 Juni 2011)


Polusi Rasa : Atmi dan Dunia Anak-anak

Oleh: Wayan Sunarta *


Anak-anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang rindu pada dirinya sendiri...

(Kahlil Gibran)


(salah satu karya Atmi)
Dunia anak-anak adalah suatu dunia yang polos, riang, senang bermain, selalu ingin tahu, namun terkadang menjengkelkan para orang tua. Anak-anak ibarat kertas putih yang siap menerima goresan warna apa saja. Kalau salah memberi warna, maka anak-anak akan tumbuh dewasa dengan warna yang salah itu.

Kesalahan terbesar para orang tua adalah mereka seringkali menganggap anak-anak sebagai miliknya yang absolut. Mereka mencekoki otak anak-anak dengan berbagai keinginan yang seringkali bertabrakan dengan keinginan anak-anak itu sendiri. Misalnya, anak-anak disuruh les ini-itu, dijejali pelajaran-pelajaran yang belum perlu, diarahkan menjadi ini-itu, sehingga anak-anak depresi dan mencari pelampiasan dengan hal-hal yang membahayakan.

Karena rasa ingin tahunya yang tinggi, anak-anak sangat riskan dengan berbagai pengaruh dari luar dirinya, baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh negatif  tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhan mental anak-anak. Pengaruh negatif itu bisa langsung datang dari lingkungan keluarga, pergaulan sosial, siaran-siaran televisi yang tidak layak ditonton anak-anak, playstations atau video game, dunia maya internet (web, facebook, twitter, dsb-nya).

Karena pengaruh-pengaruh negatif itu pula, ada bocah lelaki yang tega memerkosa teman perempuannya karena mencontoh adegan film biru di layar ponselnya. Atau, bahkan tersebar film biru 3GP yang melibatkan anak-anak sebagai subjek maupun objeknya. Di tempat lain, seorang anak tega membunuh teman bermainnya hanya persoalan sepele. Atau, anak menembak temannya dengan senapan angin. Kasus kenakalan anak-anak di luar batas toleransi makin merebak akhir-akhir ini.

Kecanggihan teknologi turut menjadi penyebab kekacauan mental anak-anak. Banyak di antara mereka yang dewasa sebelum waktunya, alias matang dikarbit. Tentu saja semua ini terjadi karena kurangnya kontrol dari para orang tua, baik orang tua di rumah, guru di sekolah, maupun pemerintah yang kurang memberi ruang aktivitas yang positif untuk perkembangan anak-anak.

Keadaan ini akan semakin parah bagi anak-anak yang tumbuh dalam keluarga berantakan alias broken home. Di rumah, tak ada tempat baginya untuk bertanya, mengadu, atau sekedar mendapatkan curahan kasih sayang, maka mereka memilih jalanan, televisi dan dunia internet sebagai orang tuanya. Ketika para orang tua tak memberikan cinta dan kasih sayang, mereka menyerap kasih sayang dari pergaulan di facebook. Maka sering terjadi kasus penculikan anak-anak dengan menggunakan facebook sebagai modus operandi. Anak-anak juga banyak belajar pada siaran-siaran dan berbagai jenis iklan di televisi karena guru-guru di sekolahnya telah banyak kehilangan wibawa. Anak-anak menjadi seperti anak-anak ayam kehilangan induk, kebingungan menentukan arah hidupnya.


Atmi dan Anak-anak

(Atmi dan karya trimatranya)
Dunia anak-anak beserta problemanya inilah yang menarik perhatian Ni Komang Atmi Kristiadewi untuk dituangkannya ke bidang kertas, kanvas, dan medium lainnya, menjadi karya seni rupa yang menarik perhatian. Atmi, begitu gadis kelahiran Denpasar, 24 Juni 1990 ini biasa disapa, belumlah menjadi seorang ibu. Meski dia sering dipanggil “ibu guru” oleh anak-anak didiknya. Sambil menyelesaikan kuliah seni rupanya di IKIP PGRI Bali, Atmi juga mengabdi menjadi guru honorer untuk pelajaran menggambar di SDN 1 Kesiman. Pengalaman menjadi guru ini pula yang makin membuka wawasannya tentang dunia anak-anak beserta problem-problemnya.

Melalui karya-karya seni rupanya, Atmi ingin membagi pengalamannya tentang dunia anak-anak. Bertempat di Ten Art Gallery, Sanur, Atmi menggelar pameran tunggal perdananya, bertema “Polusi Rasa”. Dalam karya-karya Atmi, terlihat persoalan-persoalan dunia anak-anak berkelindan dengan persoalan yang lebih luas, seperti kritik lingkungan, teknologi, budaya, sosial, dan sebagainya. Bagi Atmi, tema “Polusi Rasa” dilatari oleh berbagai hal yang mengganggu pikiran dan perasaannya ketika berinteraksi dengan berbagai persoalan dalam ruang lingkup pergaulan sosial dan pekerjaan sebagai guru, maupun berita-berita di televisi yang menyentuh ruang benak dan batinnya.

Polusi-polusi pikiran dan perasaan yang “mengganggu” atau “menggelisahkan” itu dituangkannya dalam bentuk karya-karya seni rupa, baik lukisan, sketsa, drawing, maupun karya tri matra. Nada-nada yang muncul dalam karyanya juga beraneka rupa, seperti cemas, sedih, senang, kesal, kecewa. Polusi-polusi ini menjadi energi kreatif dalam kegelisahannya sebagai perupa muda.

“Melukis bagi saya sama seperti menulis buku harian. Setiap karya atau lukisan mengandung kisah tersendiri, yang terkadang seperti mosaik perasaan-perasaan, harapan-harapan, kegelisahan-kegelisahan yang muncul ketika berinteraksi dengan berbagai persoalan di dalam diri maupun di luar diri saya,” tutur Atmi menjelaskan konsep berkeseniannya.

Secara visual, Atmi memilih naivisme untuk mengekspresikan kegelisahan batinnya. Kecenderungan naivisme adalah kepolosan, kesederhanaan, tidak peduli dengan komposisi, perspektif, proporsi objek, pewarnaan, dan tetek bengek teknik seni rupa yang diajarkan di bangku akademik. Seni naif merupakan cara melukis yang meniru gaya anak-anak melukis, atau melukis sesuatu dengan kaca mata anak-anak. Semua itu untuk mengembalikan seni pada kemurniannya, yakni ekspresi pikiran dan perasaan. Pilihan Atmi terhadap cara ungkap naif dilatari oleh kesenangannya pada dunia anak-anak yang penuh keceriaan, kepolosan, rasa ingin tahu, kenakalan, penuh imajinasi. Atmi sendiri melewati masa kanak-kanaknya dengan gembira.

“Masa kanak-kanak bagi saya merupakan suatu masa yang sangat menyenangkan. Saya sendiri melewati masa kanak-kanak dengan penuh keceriaan,” ujar Atmi mengenang masa kanak-kanaknya.

Salah satu kenangan tentang masa kanak-kanak yang menyenangkan itu diungkapkan Atmi melalui lukisan bernada riang berjudul “Taman Impian”. Lukisan ini diilhami kenangan Atmi ketika diajak orang tuanya berwisata ke kebun binatang. Atmi  terkagum-kagum menyaksikan berbagai macam binatang, dari yang jinak dan lucu hingga yang buas dan menjijikkan. Dalam lukisan ini, dia menampilkan jerapah, gajah, lembu, burung, kupu-kupu, ular, tikus, dan sebagainya. Namun, tidak semua jenis binatang itu disukai Atmi. Beberapa diantaranya malah membuatnya ketakutan, misalnya ular, laba-laba, tawon.

“Biasanya, hewan-hewan yang tidak saya sukai, saya lukis dalam bentuk robot atau bentuk yang lucu-lucu,” ujar Atmi.


Kecemasan Atmi

Masa kanak-kanak memang menyenangkan. Namun, dalam sejumlah karya Atmi, kita bisa merasakan kecemasan Atmi tentang nasib anak-anak sekarang yang dikelilingi dan didikte oleh berbagai benda teknologi canggih, seperti televisi, handphone, komputer, internet. Atmi pun sering menyaksikan anak-anak didiknya membawa handphone ke sekolah, atau bahkan pernah memergoki mereka sedang asyik menonton film biru di layar ponselnya.

“Saya cemas melihat anak-anak sekarang. Memakai kecanggihan teknologi untuk hal-hal yang belum pantas bagi mereka. Apa jadinya mereka nanti ketika menginjak usia remaja?” ujar Atmi dengan nada cemas.

Atmi menumpahkan kecemasannya itu dalam lukisan berjudul “Deman Teknologi”. Dalam karya dengan latar blok-blok warna-warni itu, Atmi menampilkan sosok lelaki berkacamata yang mengenakan jas dan dasi. Tangan lelaki itu terentang seperti sedang menjajakan balon mainan anak-anak. Namun, yang dijajakan bukanlah balon warna-warni, melainkan benda-benda teknologi mutakhir, seperti handphone, laptop, televisi, radio. Nampak bocah lelaki dan perempuan tergiur dengan benda-benda yang dijajakan oleh lelaki perlente itu. Melalui lukisan ini, Atmi berupaya mengritisi peranan orang tua yang tak mampu menjadi pengayom yang baik bagi anak-anaknya.
           
“Saya melihat justru orang tua yang seringkali memanjakan dan mengajari anak-anaknya dengan benda-benda teknologi yang belum pantas, seperti menggunakan handphone atau facebook, membuka situs-situs internet, dan sebagainya. Kalau tidak diawasi, ini tentu berbahaya bagi anak-anak,” tutur Atmi.

Kecemasan Atmi terhadap anak-anak tidak hanya pada bahaya teknologi, melainkan juga pada berbagai jenis makanan dan minuman instan yang justru banyak digemari anak-anak sekarang. Tanpa sadar, anak-anak pun diberi pupuk racun berlebihan sehingga bisa memengaruhi pertumbuhan otak dan tubuhnya. Misalnya, karya berjudul “Ibu” menggambarkan para ibu muda lebih suka memberikan bayi dan balitanya susu buatan pabrik (susu kaleng) ketimbang ASI. Kurangnya asupan ASI berakibat pada lemahnya daya tahan tubuh si balita dan kurang terjalinnya hubungan batin antara ibu dan anak.

Melalui karya-karyanya, Atmi juga mengritisi kehidupan masyarakat Bali jaman sekarang. Atmi berpendapat bahwa masyarakat Bali sekarang telah dikepung oleh mesin dan teknologi canggih. Bahkan, seolah-olah otak dan anggota badan sudah menjadi bagian dari mesin. Sibuk bekerja siang-malam demi mengumpulkan uang, sehingga seringkali mengesampingkan dan menyepelekan urusan agama, adat, sosial-budaya, yang telah menjadi bagian dari Bali itu sendiri.

Hal itu diungkapkan Atmi dalam lukisan berjudul “Mesin Teknologi” yang menggambarkan suasana runyam dalam silang sengkarut manusia dan mesin. Dalam lukisan ini terlihat pipa-pipa mesin yang melintang sana-sini, berbaur dengan cerobong-cerobong asap yang banyak menyebabkan polusi, manusia-manusia stress, tikus-tikus gendut yang berseliweran mencari mangsa. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti otak orang-orang Bali akan menjadi mesin. Dan budaya Bali akan berubah menjadi budaya mesin, yang lebih mementingkan sisi materi, praktis dan pragmatis.

Kecemasan Atmi terhadap Bali juga terlihat dalam karya berjudul “Polusi”, yang menggambarkan Bali dikerubungi berbagai jenis limbah, baik limbah pabrik, asap kendaraan, tata ruang yang kacau balau, sungai-sungai kotor dicemari limbah rumah tangga dan pabrik. Semua ini jelas akibat ulah manusia sendiri. Dan yang jadi korban tentu juga anak-anak. Selain kurangnya tempat bermain yang kondusif, anak-anak berkembang dan tumbuh dalam sebuah dunia yang penuh polusi. Terlihat dalam lukisan ini tiga bocah perempuan disemburkan asap-asap pabrik yang tebal bergulung-gulung. Hal ini menjadi suatu tragedi bahwa anak-anak, generasi penerus kehidupan, yang menjadi korban paling parah dari berbagai jenis polusi ini.

Kecanggihan mesin dan teknologi tetap saja tak mampu melawan kehendak alam. Misalnya, Jepang yang dilanda tsunami dahsyat baru-baru ini. Bencana itu menelan korban ribuan jiwa dan harta benda tak terhitung. Bencana makin parah ketika reaktor nuklir yang dibangga-banggakan meledak. Manusia tak mampu berbuat apa di bawah kuasa alam. Dalam hal ini, sesungguhnya bukan manusia yang menguasai alam, melainkan alamlah yang menguasai manusia. Atmi mengritisi tragedi tsunami Jepang ini dalam lukisan berjudul “Di Balik Senyum Matahari Terbit”, senyum ceria Negara Matahari Terbit yang berubah seketika menjadi kesedihan mendalam ketika tsunami melanda negara yang terkenal dengan kecanggihan teknologinya itu.

Secara umum, melalui karya-karyanya, Atmi ingin menyampaikan suatu pesan agar hati-hati dengan teknologi, terutama ketika menyentuh dunia anak-anak. Secanggih apa pun penguasaan manusia terhadap teknologi, kalau tidak disikapi dengan bijaksana, maka kehancuran akan menanti di depan mata kita.

Meski tergolong pelukis muda usia, namun Atmi telah menjajal kemampuannya dalam sejumlah pameran bersama. Di antaranya adalah Pameran Tugas Akhir SMKN 1 Sukawati (2008), Pameran Bersama Komunitas Suka-Suka bertajuk “minia[r]ture” di Museum Pendet, Nyuh Kuning, Ubud (2010), Pameran Seni Rupa Perempuan Indonesia-Perancis di Demensi Gallery, Surabaya (2011).

Dan, pada tanggal 17 Juli 2011, Atmi bersama pelukis Made Wiradana, Made Duatmika, Pande Alit Wijaya Suta dan Uuk Paramahita, akan mewakili Indonesia dalam “Sabah International Folklore Festival (SIFF)” di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Dalam festival yang melibatkan 26 negara ini, Atmi adalah pelukis termuda dari Indonesia.




* penulis adalah  lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar. Karya-karya sastra dan tulisan-tulisan seni rupanya dimuat di sejumlah media massa lokal dan nasional.


1 comment: