Situs
Candi Gunung Kawi
Bayangan
candi:
wujud
masa silam yang meleleh
ke
dalam genang kenangan seorang bocah gembala
Penggalan kepala patung terjatuh
Menilik
senja
Menebar
pesona wangi yang aneh
Menjalar
dalam alir nadiku
Sungguh terasa sunyi
Menelusuri
jalan setapak berliku,
setapak masa silam
yang
meranggaskan aku ke bumi
beribu ribu kali
Seperti
penggalan kepala patung itu,
menjelma Brahmana, Ksatria,
Waisya,
Sudra, bahkan Paria. Kulakoni semua
itu
Hingga tiba pada sebuah telaga,
aliran
tiga mata air dewa
ke situ Kau tuntun aku
bagai keledai dungu
Membasuh
wajah, tangan, kaki. Melebur jiwa
dalam
wangi bunga, harum dupa, hening tirta
Hingga
mite Mayadenawa, dewa dewi, bianglala
menguap
bersama gemerincing uang kepeng dan
taburan
dolar para peziarah
Sungguh terasa sunyi
Sendiri
menciumi wangi tubuhmu, Batu Padas
Pahatan
purba yang bangkitkan sayup sayup kenangan
Nelangsa
doa:
aku asing di mataMu
Kau asing di mataku
Namun
selalu kita saling belit
Serupa
sepasang Naga kasmaran
Tunggal
Hening
Di
antara gurat dan retak candi
Bayang
bayang tubuhMu meleleh
Di
sebuah jalan setapak
Menjelma
embun
Memisahkan
dunia gaib kita
Satu hal yang mutlak:
Aku
terperangkap dalam ruang dalam waktu
karena
karma
karena
punarbhawa
Tak paham kapan awal kapan akhir letih
ini
Tapi yakin,
kerinduan kepada Ibu,
mula denyut waktu
Lebih
suci dari beribu sajen beribu upacara
yang
menuntaskan wujudmu,
O, candi candi tua
Arca arca dewa
Semua
meleleh bagai cairan darah tabuh rah
Meleleh
ke palung paling kasih
dari
hidupku.
Pelabuhan
Buleleng
saat
mengulum pasir
laut
tertegun di bibirmu
muncul
jenuh yang indah
membenamkan
diri
menghayati
matahari
yang memerah
di
belahan bukit mungilmu
hingga
ombak pasang surut
dalam
diri
pada
batas tatap mata
tak
pernah kita pahami
sampai
di mana jiwa letih ini
memeram
doa
menuntun
mata hati
tubuh
kita menyala
terbasuh
warna keemasan senja
ombak
memerciki wajah
sekali
waktu kita
seperti
tak terpahami
tengadah
ke langit silam
mata
pucat menganga
sepasang
burung laut
telah
menemukan
malam
pengantinnya
namun
sayap sayap itu
menjadi
letih
dalam
sangkar keramat
sang
waktu
nelayan
mengemas jala
perahu
perahu mengandaskan diri
aku
ombak kau laut
kita
terhempas dari pelabuhan
ke
pelabuhan
setandas
tandas waktu.
1997
Gerimis
di Jl. Wahidin, Denpasar
- untuk phala -
lama kita mengembara
jadi
cahaya tanpa sayap
gerimis
masih ranum
seperti
dulu juga
hanya
sarang kita
telah
lapuk
sarang
yang pernah
memeram
kita
dalam
kehangatan
kopi
susu
dan
doa doa puisi
cahaya
tanpa sayap kita
selalu
di atas malam terjaga
ingin
kuceritakan pada kau
perihal
kesunyian itu
segala
luka
di
tanganmu
menjelma
bunga
dan
sarang kita
yang
lapuk. dan
kenangan
itu juga
dan
gerimis itu juga
maka
jadilah kita cahaya
tanpa
sayap mengembara
1997
Pura
Luhur Uluwatu
beratus
ratus tahun
ketika
sunyi kali pertama
tersentuh
tangan sang kawi
suara
tekukur di bukit kekeran
masih
saja karib dengan tangga
tangga
batu berlumut
dengan
kera kera penjaga
kawasan
dewataku
sayup
sayup laut melantunkan
mantram
gayatri
bunga
bunga kamboja suci
aroma
lumut tangga batu
dan
debur ombak
mengantar
kembara doaku
hingga
ke tebing karang
hingga
ke kerang semadi
lewat
sudah ratusan tahun
bunga
bunga pudak masih saja
wangi
dalam kakawin sang kawi
Nirartha
semadi dalam kerang mutiara
dari
pantai ke pantai menetaskan sunyi
di
pesanggrahan dewata
tempat
kesuir angin menemu ibu
1997
Malam Pengantin Pesisir Serangan
setapak
jalan bakau
kubangan
lumpur setinggi betismu
kususuri
tiba
di matamu teduh,
pantai
biru dan hutan bakau
melantunkan
jerit manis
malam pengantin
pagi
beranjak siang dan
akhirnya
berangkat senja
pun
laut pasang surut
dalam
kuluman kuluman lembut
yang
mencandu kesadaranku
lalu
jenjang lehermu
lalu
bulan semu itu
dalam
nikmat sunyi
puisiku
lahir
namun
liang liang kepiting
penyu
penyu hijau
telah
tergusur
bentangan
hijau lapangan golf
genangan
payau,
bau
amis ikan ikan keracunan
kubangan
lumpur. endapan
segala
kotoran. semua itu
mengganggu
malam pengantinku
di pesisir serangan
1997
Puisi XXII
telah kau masuki jalan hayatku
jalan mawar
yang
selalu menawarkan wangi
bagi taman taman puisi
pada
matamu purnama
kutemukan
kenyataan
paling sunyata
merangkum
duka dunia
jadi
mawar sekuntum
sejak
kelahiran membuka ilham
cahaya
kenangan dan harapan
lewat
beribu musim
lewat
beribu kelahiran
dosa
musnahlah
lebur
segala karma
jadikan
suci purnama
rangkuman
suka duka
susuran
jalan cahaya
mengalirlah
antarkan
beribu wangi mawar
ke
dalam samadiku
1997
Hutan
Cemara
hanya
ular di rerimbun
daun
cemara. mendesis
pun
kabut di hati kita. mendesis
"tuangkan
desis itu lekas
ke
dalam hausku!"
rintihmu
kita
peluk kabut
cemara
menggumam: khuldi! khuldi!
kau
lelap. tidurmu masih
memeram
gelora gairah
yang
kuhembus dari rusukku
bila
kau cemara dari beribu cemara
akulah pokok purba
yang
membawamu sampai puncak
pendakian
nyaris sempurna
selebihnya:
malam yang cemas
kabut yang sesat
1997
Lelaki Sunyi
-ww-
gigilmu
itu bukan karena hujan
bukan
dingin
namun lebih urai kenangan
sesungguhnya
siapakah kau
lelaki
berpayung daun pisang
yang
sendiri
di
bawah derai
gerimis
sekuntum
bianglala rekah
terhimpit
di celah indah
payudara
yang pasrah
lalu
rinai luruh
tumbuh
jadi puisi
pulihkan
letihmu
di
basah aspal jalan
kau
kacakan wajah
segurat
kenangan
sekelumit
kisah
perawan
awan
kau
ilusi
yang
dibuai puisi
pelita
jalan. pelita jalan
peluklah.
pukaulah
lelaki
sunyi
yang tak habis habis mengurai
nujuman
tua itu
1997
Buyan
kabut:
jiwa nelangsa yang perlahan turun
menyungkupi
sepasang bukit mungil dan
dua
ekor walet yang menari di udara
menghayati
getar dingin
dan getir
pertemuan
puncak
keindahan:
kematian kecil
yang
merayap di celah rumpun perdu
mengintip
senja penyap di bibir mawar
lalu
malam muncul dari pejam matamu
membuka
kanal yang membuih dalam diri
malam di perkemahan
si terkutuk mengendap di rerumputan
meliuk ke dalam liang tikus hutan
yang mendadak basah seperti embun
pada kelopak perawan
o,
kemurnian hari
kembali
mengingat wajah sendiri
penuh luka
dan pada terang unggunan api
pagi
tiba membawa sampan sampan
yang
senantiasa menanti kenangan
kembali menepi
1997
Di
Tepi Danaumu
secercah gincu merah
memukau awan
kelabu
ada bayangan danau biru
apitan bukit sejuk lembah
dan pohonan pinus merambah
rumah-rumah burung hantu
sambil ngunyah buah apel
di tepi danaumu
kunikmati rupawan wajahku
tak tahu ulat dalam apel
apel busuk pelukan hawa
pegunungan kabut
kau isyaratkan aku
menyelam ke lubuk danaumu
bermanja dengan ikan-ikan lucu
bermata lumut
o, nikmatnya malam laknat
berdiang di tungku perapian
saling merapatkan tubuh
matamu yang kabut
mengenang mula kutukan itu
1997
Melintas
Gerimis
sunyi, tepikan dukaku
pada gerai rambutmu, gerimis
semalam kita reguk air mata
sedalam tikaman bertubi untuk diri
untuk kau, untuk aku
tak habis-habis
jalanan muram
igau dalam igau
belukar mawar
sisa-sisa malam
kita terjerat bayang hitam
bayang masa silam
mawar selalu senyum
menawarkan duri-duri bagi jiwa
basah jalanan
motor tuaku tertatih
sarat beban pikiranku
lalu mawar lalu
harum tubuhmu
mawar menguncup kelopak
kelopak suci bulu lentik
seperti gerimis
seperti air mata
1997
Di
Jimbaran Aku Mengenangmu
mengenangmu
laut hasrat akan paras bulan
namun hanya pendaran
lampu lampu restoran
merambati mimpi nelayan
kureguk nafas laut
yang dulu memberimu gairah
yang ngingatkan aku legam rambutmu
aroma harum bunga pandan
mengenangmu, pasir putih
jukung-jukung membusuk
di bawah temaram cahaya bulan
ombak membuih di gurat tangan nelayan
yang melepuh melabuhkan subuh
pada mata bocah bocah pantai
sungguh sunyi seperti ubur-ubur
menyengatku dengan racun laknatnya
tertatih menyusuri pasir putihmu
beribu camar jenuh
menabur doa
di gua-gua rahasia di tepi pantaimu
1997
Sajak
Penghabisan
tak ada lagi yang sisa
panggung telah dikemas
sandiwara telah kutuntaskan
dengan sekecup cium sujud
kursi-kursi tua di aula tua
menatap bisu padaku
adakah lakon lain
yang mesti dimainkan?
untuk hidup yang indah
mari tuang sedikit arak
pelepas letih yang nikmat
setelah semalaman suntuk
menjulurkan tangan pada gerimis
pada bulan pucat tanpa kata
pada parau burung hantu
sekecup cium lagi, manis
tuntaskan letihku
menggapaimu
1997
Candi
Kuning Bedugul
pada ikal rambutku
kau sesatkan diri kau
o, penjaja bunga
bermantel kabut
kau penari mawar?
di ketinggian ini
apalah arti secangkir kopi
selahap mengunyah ketan bakar
jagung muda itu menawarkan diri
ingin kulahap di dingin pegunungan
lewat pukau matamu
aku menguak pesona masa lampau
mengorek hati mulia
lumut-lumut bukit
pakis-pakis kebun raya
selintas jiwa para penjaja bunga
kelebat bayang tubuhmu
jadi batas gelap antara
unggunan api di rimba jiwa
di ketinggian ini memukat ilham
menyadap cercah kabut
penari mawar
penjaja bunga
membakar diri
di unggunan api
1997
Perempuan
dan Kupu-kupu
perempuan tua itu menjelma kupu-kupu
lalu membelit menjadi ular. lalu
menguap jadi embun. lalu
tumbuh menjelma bunga. lalu…
gadis mungil memetik bunga
dulu ia seorang nenek renta
dari tepi sungai kulihat perempuan
muda
mencuci kenangan. membelai ranum
payudara
dan samun turun membungkus tubuhnya
hanya puisi di sini. hanya
samun. perempuan tua itu
bicara padaku perihal kupu-kupu
yang tumbuh menjelma bunga
1997
Gerimis Belum Usai
gerimis belum juga usai
kota yang jelata. kota yang lara
hanya malam. hanya malam
yang paham kepedihannya
ia usap air matanya
malam membuka pintu bagi dirinya
ia pun masuk ke dalam kelam
gerimis belum juga usai
1997
Pengembara
Cahaya
dari satu mawar ke lain mawar
aku bertengger
dari satu cahaya ke lain cahaya
aku mengembara
dengan sayap emas
kuburu keheningan pada segala
warna bunga
aku hanya getaran samar cahaya
seperti kesucian bunga
yang membagi hidupnya bagi serangga
aku dilingkupi keheningan
matahari dan bulan menyatu
dalam cahaya mataku
1997
Lelaki
Tua
sorot mata lelaki tua itu
menikam mataku bertubi-tubi
bulan sabit penuh bercak darah
pohon kamboja gugur bunganya
angin sekarat bersuir
pondok tuak retak
dekat candi tua
kusembunyikan mataku
dari sihir mata rabun
lelaki uban
aku ngeri tatapanmu!
dulu mungkin kau dan aku
lahir sebagai seteru
dari dua kerajaan
yang berebut kekuasaan
baik. baiklah!
kita sudahi perseteruan ini
tak peduli kau penganut ilmu hitam
aku hadapi kau
dengan segala pasrah
1997
Segala
Letih Kita
setelah kau rajah dada kiriku
dengan duri itu, jadilah kesunyianku
gambar mawarku
apalah daya. segala letih kita
telah tercatat di setiap peristiwa
hingga sayatan demi sayatan luka
mengembun
kita telah jenuh dengan segala
kesabaran
mesti asah belati
tikamkan bertubi-tubi
pada setiap wajah
topeng-topeng yang datang
silih berganti mengantar nyawa kita
ke tubuh letih ini
rajahlah lagi sebelah dadaku
dengan duri mawar beracun itu
biarkan aku tandas
1997
Tukad
Unda
air atau kabut yang melabuhkan
puisiku di sungai berbatu ini
hingga mawar yang dulu kau beri
di perkampungan bunga
menyala lebih silau dari matahari
mawar cahaya
tarianmu di arus kabut
batu kali, koral dan pasir
mengurai sisi rambutmu
simpanan sunyi bulan
di pojok batu, perdu-perdu termangu
pohon enau di ketinggian itu
harum tuak yang rekah
merendam pahit-manis puisiku
mawar cahayaku
suatu waktu wajahmu menunggu
di reruntuhan puri-bulan
mengikuti alur lahar gunung agung
aliri tukad unda
kau pun berpendar
wajahmu lebih puisi
dari sunyi sungai
1997
Kintamani
uraikan sanggul kabutmu
o, bukit kayuselem
jadikan beribu perawan
yang menjunjung sesajen
sembahan dewi danu
dalam genggam tangan
mengepul asap dupa
gerimis
api
gerimis
bunga sesari bumi
bapa tua penunggu waktu
muncul dari sanggul kabutmu
bersampan di danau batur
menemukan dara perawan
mengalirlah bunga
mengalirlah bunga
ada di sini: gerimis, api,
bunga, kabut, sunyi
dara perawan
mengulum
senyum bulan
1997
Mengingat
Rumah
kusembahkan malamku
bagi pagimu
letihmu sejauh malam lalu
menderas dalam tawar menawar
di pasar-pasar cintamu, ibu
namun jika esok pagi
aku tak pulang, ibu
jangan kunci pintu
biar saja jendela terbuka
agar ruh pagiku leluasa
menghirup hawa kasihmu
di halaman
bunga-bunga jambu
berguguran
aku memungutnya satu-satu
merangkainya jadi kasih puisi
coba mengobati letihmu, ibu
apalah aku
selain ruhmu juga
1997
Pantai
Senggigi
lebih dari beribu puisi tak mampu
membekukan kenangan itu
camar-camar tak sampai
melabuhkan matahariku di pantaimu
ombak pun luluh jadi buih
kembali pulang ke sarang air
biru.biru.biru
angin murah hati menjejakkan
bayangmu di hampar pasir
rambutmu makin biru
gerai, gerailah
biarkan aku mabuk di situ
berkendi-kendi anggur keabadian,
sulingan perih air mata pantaimu
tandas kureguk.
tandas !
1997
Pantai
Serangan
hanyutkan diri
ceburkan diri
di hening
bayang bulan
di air payau
selalu kau terkenang
akan sepotong waktu
yang berangkat petang
kita tahu lalu
air payau itu bergaram
yang ribuan tahun
menghidupi kaum peladang
tapi mengapa kau mimpikan
mengapa kau sulap jadi daratan
baiknya kecipakkan diri
di bakaubakau di pasirpasir
di payaupayau
jadikan batin sekutu sunyi
sebelum waktu dalam diri
lelap jadi debu jadi lumpur
baiknya buai sunyi itu
jadikan puisi
1997
Bermalam
di Toyabungkah
dan kita buka percakapan
dengan kopi hangat dan
kenangan pendakian
cemara bangkit menuju danau
namun aku lebih silau
pada bayang bulan
yang menenun tanya
pada matamu:
di mana batas pasti
antara kabut dan malam?
jalan ini bermuara
di keheningan danau
sebagai bongkahan lahar beku
aku lebih memilih
menjerat dan melepas
bunga-bunga rumput
menjadi sayap
beribu sayap kabut
o, danau kelabu
telah lama kau jadi kopi hangat
dalam gelas para pendaki letih
sedang aku tetap lahar beku
dalam permainan lugu
bunga rumput
1997
Pedawa,
Buleleng
dari jantungmu
cinta jatuh
kabut memungutnya
perlahan
aku ingin kau putih bunga kopi
atau penuh kasih serupa kabut
yang menghayati rindu
dari kejauhan
di relung batin kau
menyekap kemarau
keheningan macam inikah
yang kita kangeni
pepohonan melepas kering daunnya
kembali ke pembaringan waktu
ke asal diri
sunyi menjelma tetes air
julangan karang cadas
dalam jiwaku penuh lubang
air cinta siapa menggerusnya
hingga aku menjadi lumpur
hanyut ke muara yang jauh
1997
lebih dari separuh tanya terurai
di sini
selalu ada yang menyambut
derita kehadiran atau
melepas suka cita keberangkatan
seperti sopir letih itu
aku mengemudikan denyut nafas
selalu paham suka duka
saudara satu ibu
yang lahir dari peluh
perjalanan karma
aku cari hakikatmu sampai menemu
hingga tiba saat aku berangkat
mempecundang duka
mengundang cinta
hingga tiba pula saat aku menghadapmu
o, kepala terminal
1997
Catatan Reklamasi Pantai Serangan
rasa luka itu padamu
kau telah paham
lebih dari yang kurasa
warna-warni lampu proyek reklamasi
dari tempat kita duduk
begitu memesona
kau tentu tahu
begitu banyak korban di situ
dari mahkluk yang paling papa
hingga dewa-dewa jagat ini
tergerus kenyataan pahit
yang berwajah anggun pariwisata
kita hanya bisa saling pandang
dalam perih
yang senantiasa berulang
rapatkan tubuhmu
lebih hangat ke dadaku
aku ingin rasakan bagaimana kau
bernyanyi tentang jiwa yang letih
sebelum kita saling yakin
ada bagian dari hidup kita
yang senantiasa basah oleh luka
tentu kau pun tahu
adalah kenangan yang kembali
mempertemukan kita di pantai ini
merasakan pedih desah ombak
yang tak berdaya dengan diri sendiri
pun karang-karang kapur itu
hanya saja kita berusaha paham
ada ihwal yang pecah antara
jarak tatap mata kita
hingga kangen meluncur dari bibirmu
basah oleh kenangan
setandasnya kukucup
sebelum deru mesin
proyek reklamasi
melecut kesadaran kita
:pantai cinta ini telah memadat
jadi hamparan kapur
1997
Mawar
Bulan
telah kau peram itu malam
berbenih-benih kenangan
yang akan mengalirkan
air mata kangen pada dua telaga angan
mawar bulan berkilau
lawatanmu jadi gairah pertemuan
yang memabukkan
sebab pukau mawar bulan itu
kau lalai akan waktu
menjadi sia-sia hayatmu
gumulan hidup matimu
mengelupas hari-hari rindumu
pukauan mawar bulan menujum
untung-malangmu
berayun pada dua telaga
jalan akhir yang berliku
membuka puncak paling rahasia
bagi pendakianmu, penyair!
1997
Di Warung Wonocolo, Denpasar
risau itu juga
yang menempias rasa
saling diamkan jiwa
dalam aroma sop ikan
di hadapan kita
telah kita pahami
sahaja cahaya cinta
pun lampu jalan
yang begitu setia menjaga
setiap denyut kehidupan
lampu jalan yang sunyi
yang mirip hati kita
dari warung mungil ini
tetaplah heningkan jiwa
beri senyum bagi dinihari
yang mekar dalam sop ikan
di hadapan kita
1997
No comments:
Post a Comment