BirahiBiru
malam tiba
purnama
mengurai rambut di jendela
aku susuri pesona suara serangga
sayap
sayap malaikat bergetar
perjalanan
kau guratkan
pada tapak tanganku
aku rindu kau
aku jauhi kau
kupahami ngilu
memusar
dalam darah adamku
purnama jatuh
separuh
digigit kelelawar buah
separuh
hanyut membawa hayatku
aku termangu
menghitung
rindu yang tak henti gugur
sejauh
perjalanan memburumu
kelelawar
memuntahkan remah purnama
serbuk
sari telah terbenam di kepala putik
perkawinan?
kau
tak jenuh meneliti gurat keningku
di situkah muara rahasiaku
belum seluruh lekukmu kupahami
aku rebah pada altar suci
apa
lagi yang rahasia
o, birahi biru. altar suci
aku
terkapar dalam nikmat
dalam sakit
gerigi waktu beradu
kau
seperti ada. aku seperti tiada
mawar mekar
kau hablur
aku lebur
Malam
Purnama
dari
dahan kamboja
kau
julurkan tangan
ingin
raih bulan
bunga
seroja di telaga
melempar
lengking tangis bayi ke udara
malam
mengambang pada mata perempuan
aku
terkenang mata seekor kucing hitam
seorang
pemabuk membual di tepi telaga
mengutuki
bulan. merayu malam
dan
akhirnya memaki diri sendiri
tapi
kita juga pemabuk
sebuah
sandiwara selesai menjelang senja
aku
terkenang kekasih
yang
menguap jadi udara
tapi
kita juga pemabuk
menenggak
apa saja
memuntahkan
apa saja
mulut
malam yang manis
melempar
kata kata umpatan
bulan
resah. perempuan melenguh
udara
pucat
gemetar
mendengar igaumu
sungai mengalir tenang di kaki seorang
ibu
aku
ingat perjalanan dari kota ke kota
di
kotamu aku pernah bahagia
di
bawah siraman cahaya neon kita makin fana
pemakaman
ditutup dengan khotbah
dan
sedikit aroma arak
aku
terperangkap dalam doa doa
yang
meluruhkan seluruh rusuk
kau
mau raih bulan itu?
lenguh
perempuan di belukar mengusikku
pohon
kamboja yang bercahaya keperakan
menawarimu
bunga
sebagai
bekal perjalanan
dari
kota ke kota
dari
kelahiran ke kelahiran
1998
Taman
Seroja
sejauh
itu kau tabur
beribu
cahaya
yang
bagai kunangkunang
menyeret
diri selarut malam
saat
kami menuju kedamaianmu
jangan
lontarkan kata
apa
makna kami bersama
selalu
membujuk tanya untuk
jawab
yang jenuh kami jebak
kami
jadi bagian dari malam
sebab
kami lahir dari pagi
harum
embun
yang
memeram melodi sendiri
seperti
kau peram sunyimu sendiri
jangan luncurkan jerit
yang
seperti siluet burung malam
ke
tengah raut demi raut wajah
yang
penyap sebelum kami ada
pada
paras malam bergerimis
bulan
seperti menangis
sebentuk
tangan mungil terulur
ke
dalam miris udara
ingin
raih wajah kami
yang
telah kabut
kami
bebaskan diri
dari
riuh hidup sehari hari
masuk
ke celah kelopak seroja
kamilah
malam
kamilah
kalam
kebebasan
kami
seribu
seroja
di
telaga
1998
Penjaga
Cahaya
yang luput dari diriku
adalah cahaya
saat sampai di tepi
berwaktu waktu aku lemparkan kail
ke samudera yang sembunyikan ibu
rindu jadi api
membakar permukaan laut
cahaya mengalir
matahari memeram cahaya
duka jadi mata kaki
bagi pejalan letih
o, beribu mimpi yang merubung hidupku
jadilah nyata. jadilah nyata
1998
Bangau
Kertas
tanganku
gemetar
membentuk
garis pada kertas
melipat tangis
jadi sayap yang cemas
dukaku
terbang
dukaku
terbang
senyap.
tanganku pucat
meraba
cahaya bulan sabit
di
jendela kamar rumah sakit
bangau
bangau kertas mengurung
ruang remang
kau
telentang
jadi pecundang
waktu
sinis
di
dinding bangsal
dentang lonceng
dan kelam
memburuku
seperti mimpi buruk
kau
mengerang
ruang
penuh bayang masa kanak
terkenang
saat mengejar layang layang
yang putus
tali
kini
nyawamu tergantung
pada seutas slang infus
kulipat
lagi kertas
kugurat
lagi getir. kulipat lagi tangis
seribu
bangau kertas mengusir si laknat
waktu yang khianat
namun
hanya bangau bangau kertas
menari
riang di udara bau formalin
menggurat
bayang pada dinding
kau
terbang. kau terbang
menyisakan
jejak duka
pada
remang ruang
1998
Taman
Tak Berbulan
bangun
dari tidur bertahun
jiwa adalah angin
mengurai
hening buluh angan
di
taman tak berbulan
mimpi
mawar mekar
hari
hari meluruh
jadi
benih benih sunyi
yang
tak jenuh kau semai
kenangan
burung
malam berbulu kelam
di taman tak berbulan
suatu waktu jejakmu kikuk
diseret
angin sesat
larut dalam kabut
malam
rinai
mimpi
abadi
di
pintu puri
1998
Gerimis
Kotamu
aku lihat ketawamu merambat
pada wajah lusuh penjual sayur dan kuli
pasar
menubruk merdu tawar menawar
dan makian gadis belia
yang pinggulnya dicubit lelaki kasar
kita makin jauh
dan kau masih suka aneh
gerimis kotamu begitu biru
kau tahu deretan pohon asam itu
sering bikin penyair mabuk cinta
saat gemerincing dokar meregang sekarat
menyeru namanya
perempuan perempuan pasar sejauh malam
tak pernah jenuh menjunjung rinduku
padamu
:bau amis ikan, gurih nasi jinggo,
tadahan tangan
pengemis buta, dan belahan payudara
penjual sayur
makin menjadi racikan hangat dalam gelas
kopiku
kau manis jika lagi merengut
perempuan perempuan di tikungan jalan
suatu waktu akan menjual tubuhnya
lantaran perut tergigit lapar
dan wajah minta dipoles kosmetika
harga-harga terus membubung ke langit
dan raja tua yang tak tahu malu itu
masih terus berkuasa
janji-janji konyol semakin memenuhi
ruang udara
gerimis kotamu mendadak kelabu
si terkutuk sibuk menyusun siasat-siasat
licik
yang akan menghancurkan dirinya sendiri
gerimis kotamu makin kelabu, manisku.
1998
Jonggrang
seribu arca pahatan paruh malamku
telah kau sempurnakan
pada pucuk candi
pada puncak keinginan
impianku luruh
bersama pekik serak seribu gagak
tak ada lagi perhitungan
atau percintaan
dalam remang kelambu
pagi jelang
kokok ayam datang
seribu sengat kelabang
memburumu sarat kutukan
seribu dendam seribu rindu runtuh
lebam jiwamu yang telah batu
masih memeram gairah malamku
yang hijau yang haru
terkenang ibu
jonggrang,
kau telah jadi penunggu
cintaku yang dungu
1998
Parangkusumo
tapak kaki kuda, pasir-pasir, bunga
pandan
dan sampailah pada hamparan biru
yang berwaktu-waktu kuburu
ibu parangtritis, bapa merapi, putera
keraton
satu garis sunyi menggebu dalam seru
angin
pada pagi pada malam pada jam-jam
siangku
membawa birahi dari kucuran peluh, terik
doa
dan
tandas air mata
mengharap kau tiba dengan kereta kencana
menapak udara
campuran pasir yang menggejolakkan laut
dalam diri
simpang siur wajahmu, sayup-sayup
rambutmu
seribu kuda putih meringkiki detik-detik
sunyiku
waktu waktu kuburu pencarianku kuburu
sampaikan ruhku menemumu
1998
Oedipus
mataku meleleh
tahun-tahun yang gamang
menuntun jiwa buta
menyusuri gua demi gua pengasingan
masa lampau
: kembali hadir di altarmu
membawa kicau rindu
ke dalam sangkar malaikat
tak bermata itu
angin pagi terusir pergi
di sebuah petilasan tua,
di sumber mata air suci itu
matahari tua yang luka
minum dan membasuh wajah
seteguk doa lagi
dan hanguslah harapan
lelehan perih si raja buta
menjelma gerimis biru
bulan biru yang raib
di kaki langit
di tepi gua pengasingan
kembali
kembali jiwa terkutuk ini
mengurai nujuman si matahari tua
: o, seru sekalian alam
terima kasih atas derita laknat
yang nikmat ini
1998
Suatu
Waktu
suara serangga menuntun perjalananmu
menggapai
senja
perempuan itu menunggu di ambang pintu
dari waktu ke waktu burung-burung di
udara
meluruhkan bulu-bulunya
sehelai hinggap pada kenangan
dan senja tertatih menapaki letih
aku dengar jeritmu
ketika malam penuh lolong serigala
ketika negeri ini diserbu petaka tak
berkesudahan
kembali burung-burung kecil itu
memekikkan tanya
pada garuda tua yang hampir rontok
seluruh bulunya
menjadi fana dalam kepedihan
perempuan itu menjelma senja
selalu jingga. selalu tak terduga
tanya terurai:
mengapa jiwa belum juga terbuka
pada petaka negeri ini
1998
Geruh
tarian sunyi hari yang renta
membawa sendiri perjalanan waktu
ke ruang suci rahasia
pada dirimu
masa silam terperam
dalam tiram mutiara
kau samadi:
tarian angin tarian air tarian tanah
tarian angkasa tarian cahaya
menggumpal dalam jiwamu
mengeras jadi batu intan sempurna
hingga dewa pun tak kuasa
menujum gerak tarian jiwamu
kuntum seroja kuntum kamboja
menyerah dalam keheningan gambuh
sampai kau berdiri ringkih di perbatasan
tubuh kurusmu dililit akar pohon banyan
senja telah menidurkan sebuah gubug
reyot
yang berdiri kukuh menahan hempasan
angin barat
kembali. kembali kau ke pangkuan ibu
ke muara abadi tarian semesta
1998
Kuil
Mei
matahari telah lama mati
dalam nikmat sunyi
hanya kuil kosong
yang memerangkap aku dalam lorong
yang bermuara pada ceruk matamu
kabarkan pada jiwamu sendiri
perihal kata yang hangus kita bakar
tentang kesetiaan puisi
yang kita musnahkan
masihkah bibirmu sepanas dahulu
aku rindu menjarah gairahmu
nyalakan lagi api itu
kita bakar saja puisi-puisi cinta
yang tak bosan tercipta
kita musnahkan kuil kencana itu
1998
Usai
Alunan Lagu Sendu
usai alunan sebait lagu sendu
begitu lembut wajahmu mengalunkan
keheranan
pada seekor kucing putih jantan
yang saban pagi memakan bunga-bunga
di halaman rumahmu
mata kucing itu menyihir hari-harimu
menjadi bongkahan-bongkahan rindu
rambatan cahaya pada permukaan senja
kita ke pantai saja
di gunung hanya ada
danau yang dingin
dan putus harapan
pantai di sini belum direklamasi
sebuah nama telah terhapus dari ingatan
ombak
namun namamu masih menyisakan birunya
bagi warna air yang miskin kata-kata
pujian
bagi jiwa yang merecau sendiri
ah, mata kucing itu masih saja
menyihir hari-harimu
sebentuk bayang melintasi dingin senja
begitu rupa tiada
1998
Sajak
Tungku
berparuh-paruh waktu tungku itu tidak
kau nyalakan
kayu bakar yang bertahun-tahun kau
kumpulkan
dari hutan jiwamu telah habis mengabu
hutan-hutan tandus menjerit, jiwamu
menjerit
memanggil-manggil mata air, kubangan
kata-kata
yang melulu air mata
aku tahu kau kini seonggok tanah tua
yang ditinggalkan para peladang
tanganku gemetar membuka
lembaran-lembaran buku
sejarah yang sedang rindu menulis namamu
seperti arwah nenek moyang
aku melihatmu terperangkap
dalam sejarah berjuta-juta tahun
aku pun terjerat dalam lubang
sejarah yang kau ciptakan
tungku itu rindu kau nyalakan
bakar saja seikat puisi, dirimu yang
sisa
agar jiwa tak sia memfosil
kayu bakar telah menjadi arang
kita perlu kehangatan, kekasihku
hidup adalah kehangatan
yang tak semua orang mampu merasakannya
saatnya, aku rindu mendengar lenguh
angin perawan
ketika rerimbun hutan hijau terusik
namun gema kematian mengambang dalam
tungku
yang tak kau nyalakan itu
karena lapar karena dahaga
tangan-tangan menjulur dari dalam tungku
mencekik akar-akar nafasmu
menghisap, menjilat bukit-bukit mungilmu
yang bertahun-tahun tandus
kehilangan air mata cintanya
1998
Kau
pun Sampai
kau pun sampai di tangga ke seribu
awan lembut membasuh kakimu
peri-peri menari dalam lingkaran sunyi
di tepian sungai di tengah hutan
bunga gugur kembali mekar
burung-burung yang patah sayap
kembali terbang
peri-peri air bermain kabut
bayangmu menyelinap
meniru gerak angin
kutitip duka dalam helai-helai daun
rindu yang hanyut
padamu menjelma kabut
seribu tangga kau tempuh
hingga sampai pada tepi
igauku luluh dalam cicit kelelawar
di gua cadas
tanya terpekik di jeram deras
air yang tiba kemana akan tertuju?
wangi lehermu harum bunga kopi
seribu tangga menjuntai di awan
peri-peri memainkan melodi
mengiringimu sampai pada tepi
1998
Notasi
Diri
di tengah deras hujan
batukku menguap dalam udara dingin
puntung rokok terjatuh
dari tanganku gemetar
meja reot lusuh letih
pena meleleh pada kertasmu
menyusun kata membentuk alenia
angin seperti burung gagak serak
menyerbu ke tingkap gubug
ruh para penyair yang mati putus asa
menilikmu menulis sajak
sajakmu lumer seperti selokan mampet
yang meluapkan derita ke jalan-jalan
batuk menahun mengental dalam udara
o, kekasih
jalan puisi letih
jalan berliku
yang menuntunmu
masuk ke lipatan waktu
derita yang kau genggam bertahun
saatnya menemukan pelepasan
1998
Satu Perahu
biarkan perahu kita mengalir
menurut kehendak air
kayuh perlahan saja menuju hilir
kita nikmati anggrek bulan mekar
ikan-ikan riang menari di air bening
kau mesti mengerti bahasa sungai
agar jiwamu terbuka akan segala yang
abadi
pegang tanganku agar kau lebih merasakan
rahasia puisi yang merambati
embun di daun-daun pinggir sungai
kau lihat dua ikan yang berenang riang
itu
mungkin mereka sepasang kekasih
aku ingin seperti ikan
hidup di bawah teduh sungai
bersama dalam damai
genggam tanganku lebih erat
biarkan perahu kita hanyut
menurut kehendak air
1998
Di Kusamba Aku Terkenang Sejarah
di kusamba
aku terkenang sebuah sejarah
aksara-aksara jiwa yang melabuhkan
keheningan masa lampau
hingga kemaksiatan masa kini
pada lembaran-lembaran pantai bergaram
olahan keringat hingga campuran darah
para laskar yang pralaya
meruwat bumi bali
jerit sakit dan pekik sekarat mengabut
di udara
cakrawala warna jingga
kematian menari di ujung mata tombak
meniti keris atau meluncur bersama pelor
menguak pintu gerbang langit
setelah sejenak memandang tanah hijau
tanah bali yang basah oleh darah
hingga kini kemaksiatan semakin menghama
di kusamba aku terkenang pagar tombak
yang di ujungnya seorang perempuan
perkasa
menari anggun menantang angin barat
1998
Sangat indah. Sastrawi. Saya sangat suka membacanya.
ReplyDelete