Bhisma
sebab
kutuk dan janji
aku
bertahan pada takdir ini
akulah
bhisma
yang
menatap hampa pada senja
beribu
gagak
menggumpal
hitam
di
langit kurusetra
dan
senja
muara
abadi segala keluh
seperti
abadi kesepianku
srikandhi,
bentangkan busur panahmu
amba,
bidikkan muram dendammu
biar
melesat beribu anak panah biru
menyangga
ragaku
mengukir
takdir akhir
mengapa
harus ada duka?
telah
tumpas segala suka
saat surya rebah ke utara
aku
pun tiba pada hampa
buka sedikit jendela
agar cahaya
merambat leluasa
pada mata kita
aku lupa
siapa yang memajang potret kita
bersandingan di dinding tua itu
tubuhmu menyentuh
tubuhku,
pengembara tua yang terlunta
ribuan tahun
memburu sumur cahaya
aku terkenang sebuah kartu
bergambar mawar putih
pemberianmu
lalu waktu leleh
dalam genggaman malam
akhirnya, kutemukan sumur itu
tubuhmu melunaskan hausku
sejauh perjalanan
dari kubur ke kubur
2001
kaukah itu
yang
melambai di ujung jalan
saat
gerimis belum sempurna
jadi kupukupu
yang
akan memahkotaimu
dengan
serbuksari
gerai.
gerailah rambut ombakmu
biarkan
aku sesat perlahan
meresapi
kutukan
terlunta
di negeri sendiri
segurat
isyarat
sepucuk
surat
wasiat
dari hayatku
tak
'kan pernah
sampai
padamu
namun,
di ujung jalan itu
kau
masih melambai
gerimis
belum sempurna
jadi
kupukupu
2001
Akhir Juli
saat musim layang layang tiba
angin membawa suaramu
kau tahu aku betah pada kamarku
lagumu telah menguburku
begitu dalam. begitu dalam
senja tiba
dekat tingkap
angin terasa aneh
akhir juli
akhir juli
aku kembali
namun bocah itu tetap saja
pada
permainannya
layang layang yang digambarnya
di atas debu
telah membawa mimpiku
ke udara
ke udara…
"ibu, aku telah sampai pada
debu,"
gumamnya lirih
2001
Bulan Rombeng
apa yang lekat
dari
takut
yang
susut
dalam
kabut
di
ujung gang kotaku
kau
menunggu waktu
kenangan
gugur
dari
jemarimu gemetar
masihkah
rerimbun pohon itu
memeram
wangi mimpimu
hingga aku mesti paham
makna
bulan yang rombeng
di
ujung gang gang kotaku
2001
Senja telah Susut
bila senja telah susut
kau pun luput
merajut waktumu
kudengar kembali suara sitar
yang kau mainkan di malam terakhir
melengking menyayat kenangan
mariyuana! mariyuana!
kau menguap dari hidupku
aku hanya kangen menatap parasmu
ada dua lengkung kantung mata
yang setia menyimpan rasa sakitku
namun senja telah susut
kau luput
dari genggaman
2001
kota
tua yang melumuri wajahku
dengan sejarah dan juga darah
ungsikan letihmu
selalu saja ada yang ranggas
dari harapan jelata kota
hingga aku kembali
terkenang lekuk tubuhmu
yang memuai
pada hamparan mimpi
di kolong jembatan
dan gubug-gubug kardus
o, kota letih
yang selalu mengintai
urat leherku
aku mencintaimu
2001
No comments:
Post a Comment