Sajak-sajak Wayan Sunarta
Pijar Duka
Pijar Duka
pada
matamu muram
waktu
tiba-tiba padam
parasmu.
parasmu
di
biru laut. di biru langit
di
biru jiwaku
tuntas
sudah abu
bulan
terpukau
pada
suara duka
yang
meracau
di
telaga matamu
kerling
hening
parasmu.
parasmu
usia
yang harum bunga pandan
larik-larik
sajakku luruh
dari
kelam merajam subuh
pijar
duka
bertahanlah
dalam bara
karena kau hanya
unggunan
api yang fana
Burung
Usiran
seperti
burung usiran
aku
hinggap di ranting pohon
di halaman purimu
beribu
musim dari negeri-negeri jauh
kembali
ke dalam diriku
apakah
angin yang memeram nafasku
hingga bergaram
beribu
pohon yang meranggas kuhinggapi
demi
kecintaan pada tanah kelahiran
pohon
di halaman purimu begitu teduh
ijinkan
aku menganyam sarang
dengan
keluh dan resah perjalanan
hingga
aku merasa nyaman
mengeram
masa silam
2002
rambutmu
menguapkan wangi dupa
beribu-ribu
upacara lahir dari jemarimu
yang
letih dan kisut
kau
pelihara leluhur dan dewa-dewa
dengan
kesabaran tak terperikan
tuhan
mencintaimu
melebihi
cintanya pada lelaki
pada
letih wajahmu
o,
ibu bali
rahasia
nirwana terbuka
dan
tak seorang pun
mampu
membacanya
kecuali
kesabaranmu
memelihara
kehidupan
di
telapak kakimu
2002
Matahari Kita Sama
matahari
itu bukan milik siapa-siapa
cahayanya
senantiasa menerangi jiwa siapa saja
tak
peduli kau brahmana, ksatria, waisya, sudra
bahkan
paria sekalipun
matahari
itu menerangi jiwa semua kasta
jangan
pernah merasa sakti
karena
kau kasta tinggi
aku
kasta rendah
saat
upacara ngaben tiba
tubuh
kita sama-sama luruh
tinggal
abu
dan
ruh
akan
menuju matahari yang sama
yang
ribuan tahun
telah
dipuja para pengembara
2002
Hanya
Bayang Usang
hanya
bayang usang
yang limbung
pada setapak jalan
menuju ceruk biru matamu
yang limbung
pada setapak jalan
menuju ceruk biru matamu
aku
seperti menemu suatu rupa
mungkin saudara kembar
yang kembali bermuka-muka
pada bayang reranting kersen di air
mungkin saudara kembar
yang kembali bermuka-muka
pada bayang reranting kersen di air
kembalilah
duka
kembalilah duka
kucuplah luka
yang nganga
pada jiwa kita
kembalilah duka
kucuplah luka
yang nganga
pada jiwa kita
2002
Cahaya Senja
percayakah
kau pada cahaya senja
yang perlahan lindap jadi muram
lunglai dalam sepi yang kelam
yang perlahan lindap jadi muram
lunglai dalam sepi yang kelam
mimpi
adalah jeruji waktu
yang mengurung kita pada fana
yang mengurung kita pada fana
kembang
lalang perlahan kering
pada kerling matamu
pada kerling matamu
cahaya
senja menjalar dari tepi ke tepi
sunyimu dan sunyiku
sunyimu dan sunyiku
2002
Malam
Karam
di
mana kau simpan mata air itu
yang mengalir dari arus waktu
yang mengalir dari arus waktu
malam
telah karam
dalam
panas tubuhmu
aku
tidak pernah paham kata kasih
karena maut berkali-kali menghianatiku
karena maut berkali-kali menghianatiku
o, langit tak berbulan
masihkah puisi dipercaya
masihkah puisi dipercaya
sebagai
jalan menuju nabi
aku
akan berlabuh
perahu terlalu letih
perahu terlalu letih
mengubur
tubuhku
di pasir hitam pantai itu
di pasir hitam pantai itu
2002
Pesisir
Buleleng
beribu
helai puisi
telah
dilipat anak-anak pantai
menjadi
perahu kertas
yang
penuh damai melayari lautmu
di
dermaga tua yang setia
kau
kandaskan tongkang-tongkang asing
dalam
hak tawan karang
mekar
kembali mimpi-mimpi nelayan
yang
berjuang dengan jukung
berpasrah
di tengah angin puting-beliung
di pesisir buleleng
namun
mengapa laut menolak tubuhmu
seperti
kuburan menolak mayatku
justru
di tanah kelahiran sendiri
apakah
kita pembawa petaka
atau
pemberontak yang harus disiksa
karena
melanggar titah bedebah
leluhur
kembali menggelar
upacara
kawin laut
agar
tubuh nirmala
dan
ruh kembali hening
seperti
kidung
dari
buluh seruling
2002
Requiem
mengapa harus ruhku
menuju
ruhmu
kau
ternganga di tepi cadas
memandang
cemas
pada burung burung
yang
mematahkan sayapnya di udara
pada
pusaran warna
adakah
kau temukan keabadian
maut lekat
pada mata
pisau palet
teriaklah lantang
pilu
melolong
seperti
anjing
tersihir
bulan telanjang
kutemukan
kau
pada tekstur cadas
menceburkan
diri
dari jeram
kau meresap ke rekah batu
tidur seperti batu
bercinta
dengan batu
mati dalam batu
mengapa harus ruhku
menuju
ruhmu
kembali
pada diri
aku
hablur dirajam mimpi
mengutuki
diri
mensyukuri diri
2002
Artupudnis
sepasang
kijang hilang
di
lengang ilalang
gerimis
tandas
jadi
kata kata
mengalir
deras
pada
puisi terakhirmu
diam
diam
kau
menjelma bunga
dikawinkan
lebah madu
saat kau meneliti jejak
yang
mengerak
di
kulit kayu
pohon
pohon bakau
yang
ranggas dedaunnya
sanur
adalah palung masa lalu
bagi
si penyu hijau
dan hiu bermata biru
aku
terkenang pengembara
yang
suka menyapa tukang jukung
dengan
sajak anak anak ombak
kau
pun kabur
alur
alur puisimu
tak
selesai kau tabur
waktu
yang uzur
mendekam
di situ
2002
Di
Tepi Tamblingan
setelah halimun
parasmu
pupus
di pias danau
bara
pada unggun kayu
masih
sisakan birahi semalam
namun
canda perkemahan
nyurutkan
darah
yang
ngalir deras ke urat malu
di pias danau
apa
yang gagu
selain
waktu
yang
nunggu
kepulanganmu
pagi
itu, embun di pucuk pakis, benalu,
anggrek
bulan, cemara dan danau
menduga
telah terjadi sekutu
antara
kau dan aku
lalu
dari bongkah kerak kayu
kau ulurkan kenangan layu
"kayu
itu suatu waktu
akan
jadi perahu
yang mengantar ruhmu
ke
tengah danau,"
bisik
nelayan tua itu
namun
parasmu
telah pupus
sebelum
mengaduh danau
setelah
halimun
bergulung
turun
pengayuh perahu tiba
menjenguk
cemas kita
tanpa suara
ia
menuntunmu
ke
atas perahu
lalu
mengayuhnya
makin
jauh
makin jauh…
entah tiba
di
mana
2002
Taman
Laut
kita
tak pernah mampu
menduga
kalbu laut
pada
warna biru itu
kita
mengaca
adakah
sesuatu
tersembunyi
di
situ
laut
adalah ibu
tempat
kita sekali waktu mengadu
pada
kelembutannya
ada
sesuatu yang menghunjam kalbu
aku
tak pernah tahu
mengapa
bayangmu selalu
muncul
di situ
mungkin,
kau lebih fasih
menggurat
aksara di pasir
menggambar
wajah kita
yang
tidak saling mengerti
menduga
yang tak terduga
adalah
riskan
pada
parasmu
aku
seperti menemu
masa
lalu yang kembali menjelma
tapi
tak mampu aku
mengabarkan
itu pada angin
yang
memainkan pasir pasir
aku
hanya tahu
ada
saat surut menjauh
seperti
ucapmu
2002
Larik Ombak
selarik ombak
tertulis
di anjungan
mengabarkan
wajahmu
yang hijau
digerus air garam
beribu
tahun lampau
mungkin
kau putri duyung
atau
peri air penipu
yang suka menjebak
dan membujuk
pelaut
pelaut muda yang mabuk
wangi mawar laut di geladak
pelaut
muda itu mungkin aku
yang
tiba di anjungan dengan perahu
dan
layar robek
tercabik angin garam
yang
berseru pada senja dan cuaca kelabu:
daratan!
daratan!
aku
merasakan daratan. melihat kerajaan
dan kau putri duyung yang menunggu
di atas singgasana mutiara
pada ranum bibirmu,
tiram tiram mengulum kelam
hiu
hiu bermata biru saling terkam
ikan ikan cahaya padam
menggigil
dan gemetar
aku
menunggu titah
penghabisan
di kerajaan bawah laut
kini
di anjungan
selarik
ombak tertulis
bau
amis
dan
air garam
menggerus
biru
tubuhmu
2002
No comments:
Post a Comment