Lovina
begitulah ombak pagi
ini
menepi merayapi celah
indah hatimu
secangkir kopi dan
jiwa yang baka
mengapa mesti kau
kisahkan resah
selalu ada yang berlalu
dan kita lebih dari
paham
untuk tidak bertanya
jukung telah menjemput
kita melaju menyibak
ombak
bertukar kabar pada
angin
berbagi kasih pada
pekik camar
mengaca pada mata
bening lumba-lumba
agar mengerti makna
kedalaman cinta
di manakah akhir
pelayaran
pesisir tak tampak mata
kedalaman laut serupa
jiwamu
selalu ada yang tiada terduga
aku pasrah dalam siul
angin
merasakan matahari
pagi
berbinar di mataku
dan tahulah aku
senyummu telah
melarutkan aku
dalam pusaran laut
yang kucintai
Lovina (2)
dedaun waru menatap
sendu
pelupuk kelabu matamu
kepiting ragu-ragu
melaju
di hampar pasir hitam
jiwa galau menatap
samudra
sampai dimanakah kita
lelah adalah langkah
terakhir
sebelum tiba di ujung
pesisir
(Lovina, Buleleng,
Januari 2009)
Lorong Batu di Julah
menyusuri lorong batu
aku menemukan jiwaku
tersesat di situ
lumut mengerak
dan aku kaku tanpa
gerak
entah di mana ujung
lorong batu ini
aku menepi dari hari
yang menindas
kesejatianku
lorong batu
di kiri kanan rumpun
bambu
seberapa jauhkah
kerling matamu
hingga aku terpukau
hamparan lumut yang
terus merambat
ke lubuk terkelam jiwaku
aku telah tersesat
aku biarkan diri
hanyut
menyusuri lorong batu
(Julah, Buleleng,
Januari 2009)
Singa Tua
-obituari Penyair
Ketut Suwidja-
singa tua yang sendiri
itu
kini telah ditumbuhi
sayap
lalu lesap ke dalam
asap
dupa dan menyan
tiada lagi penguasa
halimun
di hutan larangan
semua suara
jadi senyap
jadi sayap
tanpa kepak
bunga-bunga kopi luruh
di tengah gerimis amis
darah beku dalam tubuh
pucuk-pucuk cengkeh
perlahan kelam
angin hanya sisa
di sela-sela dedaun
yang pekat yang hitam
singa berbulu kelabu
itu
adalah turunan singa
bersayap api
suka mengembara ke
lembah dan ngarai
menyusuri tepi laut dan sungai
menggapai
puncak-puncak bukit keramat
dan gunung-gunung asing
kerumunan aksara
di bilah-bilah lontar
tua
makin memudar warnanya
dulu aksara-aksara itu
tergurat indah
di lubuk jiwa terdalam
singa tua
yang berteman mambang
dan memedi
yang mengaum sendiri
di hutan larangan
hanya untuk merasakan
angin
lebih dekat di dalam
semadinya
di dangau di tengah
kabut
sekelebat rindu dari
langit
telah singgah
menjenguk singa tua
yang merana
yang menggigil
yang sekarat
maut yang hanya
mampir sebentar
menggetarkan senja
di penghabisan januari
yang basah yang resah
yang dingin airmata
jemari maut menyemai
wangi kamboja
di kening singa tua
(Karangasem, Bali, akhir Januari 2009)
Angin Telah Kembali
-untuk: penyair ketut suwidja-
ke arah mana kini
angin berhembus
entah sampai dimana
lelayang sanggup terbang
tak tahu gerimis telah mewarnai hari
usai sudah segala
mimpi masa bocah
tak satu pun mampu
direguk dari bumbung waktu
suara sunari makin
menjauh
usai pula percakapan
di bawah temaram bulan
walau kau masih rindu
melantunkan selarik sajak
irama dalam jiwa telah mati rasa
dan kau hanya termangu
di ujung lorong malam
jadi baiknya kita sudahi permainan
angin telah kembali ke
dalam jiwa semesta
(Karangasem, Bali, Februari 2009)
Pintu ke-34
burung hantu di dahan waru
memanggilku dengan lagu pilu
jengkrik mengerik di rekah tanah
nyanyi serangga hening
di kuncup-kuncup bunga malam
merasuki jiwa galau
menerka dan menakar waktu
sendiri meresapi sepi
bermuka-muka dengan diri
tiada yang pasti
pada riak-riak telaga hari
hanya resah
membuncah
mendedah kalbu
yang nyaris hangus
oleh kenangan getas
mungkin di pintu kelu itu
aku menunggu
kubacakan untukmu
kisah-kisah malam
sekelam igau
burung-burung hantu
(Karangasem, Bali,
22 Juni 2009)
Peri Kecilku
tak mampu kutatap parasmu, peri kecilku
hanya bayangmu melintasi lengang petang
ke mana kau akan terbang?
sayapmu masih terlalu rapuh
untuk sekedar
tetirah
suara serangga lelah merangkum malam
kabut pun luput dari jemari tanganmu
tak usai menebar getir, menyemai airmata
takdirmu hanya sampai di situ
apa yang mampu kubantu
untuk sekedar mengantarmu sampai di pintu
tanganku tak kuasa merengkuhmu
peri kecilku, matahari di bumi
mungkin bukan milikmu
kau telah punya matahari lain
di dunia yang lain
bercahayalah senantiasa
dalam lubuk terkelam kalbuku
kini, biarlah aku melamunkanmu
termangu di ambang pintu
menerawangi malam kelabu
mengenang waktu-waktu sembilu
jika saat itu tiba
ijinkan aku meraba parasmu
agar sempurna doaku
untukmu…
(Karangasem, Bali,
Juni 2009)
Tanah Tua
di tanah tua aku tiba
membawa bunga ilahi
dari jiwa yang senja
samaran cahaya melampaui kilau
bayang gerhana matamu-mataku
lingkaran kelabu luka masa lalu
di tanah tua
kita saling menduga
hidup yang fana
cuma ada sekerat kenangan
di celah hangat tubuhmu
namun jiwa telah paham
apa yang tak dirasa angin
di tanah tua
usai semua usia
pun cahaya
lupa cahaya
(Karangasem, Bali, Juli 2009)
Malam
Telah Menjauh
malam telah menjauh
dari kelam matamu
ada secercah jiwa
menunggu dalam galau
tak tahu ke mana arah tuju
pada hitam matamu
kulihat tangan pengemis buta
menadah sedih
kata-kata meleleh
dari larik-larik sajakmu
yang penghabisan
malam telah menjauh
ke relung jiwa paling murung
menganga dalam bayang
terkelam dari kenangan
tak perlu kau pedulikan puisi-puisiku
tak’kan kau temukan apa-apa di situ
kecuali kemabukan dukana
tangan pengemis buta
menjulur dari rongga matamu
mencekik urat leherku
malam telah menjauh
dari kematian kita
dan kematian kata
(Denpasar, Juli 2009)
Mawar
Liar
mawar liar mekar di belukar
di tepi danau berkabut
kucium hangat mawar liar
jiwaku gairah karenanya
tak tahu aku
entah berapa pengembara
telah mencium wanginya
tak peduli aku
duri di belukar mawar melukaiku
bunga liar telah memesona
jiwa para pendosa
(Bedugul, Bali, Juli 2009)
bongkah-bongkah pulau
menyusun dirinya
dalam warna musim
laut adalah laut itu juga
suara deru perahu
tak tahu waktu
kau begitu gegas berlalu
bayangan garis pantai
tilas yang getas
dalam diri pengelana
ada saat waktu
mempertemukan kita
di asing musim
dan semua kembali
sebagai sedia kala
seperti tak ada lagi
kata
mengapa...
(Lembar, NTB, Agustus 2009)
Malam
Mataram
gumam mataram
dalam kata-kata kelam
kecipak cidomo
menapak jalan masa silam
di bawah teduh pohon asam
malam mataram
dalam dengung parau
sajak-sajak cintamu
begitu gegas suara angin
dari nadi menuju pusat hari
malam mataram
usia garam dari lautan jiwa
butir-butir angin
mengayuh belasungkawa
igau-igau kata
merunut silsilah
jiwa mataram
namun tak ada
yang merasa
terselamatkan
semua menunda airmata
dalam kepedihan hari
yang celaka
(Mataram, NTB, Agustus 2009)
Kota
Masbagik, Lombok Timur
“pohon asam itu
berbuah emas,” ujarmu
aku tetirah di kota
yang dihidupi bau tahi kuda,
pasar jelata, nenek renta, debu jalan
di antara sumringah senyum
gadis-gadis berkerudung
aku kembali ke suaka
gerah tanah gora
dimana biji-biji puisi
mulai tumbuh dan semi
di sini
antara pematang
ladang tembakau
gerak angin
dan malam pengantin
aku menemukanmu,
buah asamku
(Masbagik, Lombok Timur, Agustus 2009)
Senggigi
adakah parasmu
kembali melintas
di hampar pasir
dimana kita
pernah tergambar
ombak telah menuntaskan
bahu putih mulus
yang menggeliat
di udara garam
aku tak mampu
menyisakan waktu
dan menggantungnya
di reranting pohon waru
hingga dedaun perlahan berguguran
menggumamkan igau-igau silam
di senggigi, perahu-perahu
merenung kenangan ungu
cercah cahaya lelampu kafe
makin mempertegas makna
perpisahan kita
(Senggigi, NTB, Agustus 2009)
jika kau jelajahi pekarangan tubuhku
‘kan kau temukan sekuntum mawar
berwarna merah hampir luntur
dimakan waktu yang tak mau tahu
mawar itu
tumbuh di dada kiriku
aliran darah dari jantung
menghangatinya
saat musim dingin
menjalar dari ujung pulau
di tengah bulan juni
suatu waktu perawan belia
ingin memetik mawar itu
“bagus dipajang di meja belajarku,” ujarnya
telah kuberikan jiwaku
melebihi sekuntum mawar
tapi dia terpukau belukar liar
yang membelit dan menyeretnya
ke kuburan terkelam dari malam
di waktu lain
gadis-gadis manis
menyiram mawar itu
dengan air liur cintanya
itu sebab warnanya
kadangkala cerah
seperti langit pagi
yang bening
suatu malam
suara perempuan
lembut menyapaku
dari seberang yang jauh
yang entah dimana
“di dadamu ada mawar, ya?”
tiba-tiba saja
aku kembali sadar
mawar di dadaku
telah lama
tidak disiram air cinta
tidak dipupuk rindu
namun denyut hayat
masih terasa hangat
meski samar-samar
jika kau sempat menyusuri
bagian tubuhku yang lain
di lengan kananku
bercahaya pentagram
serupa mandala
dengan angka “69” di tengah lingkaran,
lambang kelahiran yang dianugerahi langit
angka mistik yang menuntun jalanku
menyusuri semesta
ilahi
hingga berkali-kali kukandas di pantai
yang begitu asing dan
sepi
di punggungku seekor naga melingkar
bercengkerama dengan burung keabadian
burung api yang lahir dari abunya sendiri
naga itu tercipta dari arak
burung itu lahir dari tuak
di dusun-dusun pedalaman Bali
petani, kuli, penjaga kedai, dan brandal desa
merayakan
kelahirannya
mungkin dulu naga itu hanya seekor ulat bulu
dan burung itu bisa jadi seekor pipit yang
lucu
namun rahasia demi rahasia malam
telah mempertemukan mereka di punggungku
jika aku mati, mereka akan hidup selalu
dalam gambar-gambar yang kauciptakan
bayang-bayang gerhana memberi restu
bagi perjalanan terakhirku
mawar di dadaku akan kembali mekar
di atas gundukan kuburanku
yang tak dikenal
jauh dari orang-orang yang kucinta
(Karangasem, Bali, 12 Agustus 2009)
Di Tirtagangga
langit tiba kelabu
sehelai bulu matamu
luruh ke tengah telaga
“ricik air dan sepoi angin,
mataku ingin terpejam,” lirihmu
hanya ikan-ikan
yang paham galau cuaca
ketika aku bercerita
perihal semesta
dan keheningan
di tirtagangga, menara air itu
melamunkan kenangan lampau
putri-putri istana bercengkerama
dengan peri-peri dari rimba rahasia
belum mampu kuduga
kau titisan putri istana
atau peri rimba?
menara air itu membuncahkan tanya
mengapa jiwa diliputi bahagia
ketika bulu matamu perlahan
menjelma teratai di telaga
dan ikan-ikan kehilangan senja
(Karangasem, Bali, 2009)
kau menyebut ia
lelaki bertubuh puisi
tapi belum mampu kau resapi
puisi tersedih di dalam sanubari
ia susuri jalanan sepi
cahaya lampu merkuri meredup
tiba ia di muka gapura tertutup
dengan gemetar diketuknya pintu kayu
jauh di ruang jiwamu
ia hanya pasasir
yang hampir kehilangan arah
mungkin ia masih punya impian
ketika semesta menjawab tanyanya
lelaki bertubuh puisi itu
berjalan terhuyung
memanggul salib nasib
bagai anjing jalanan
ia setia dengan langkah letihnya
orang-orang mencibir
dan mengiranya laknat
tapi ia punya mukjizat
segala rahasia kesedihan
telah direngkuhnya
ia ulurkan tangan kurusnya
pada samar cahaya bulan
ia tawarkan bahagia
pada bunga-bunga di belukar
ia bagi wangi
untuk puisi tersedih
di ruang jiwamu
namun kau ragu
selalu gagu
di waktumu
yang membatu
(Ubud, Bali, Oktober 2009)
Nujuman
cahaya semesta telah mengirim tanda
saat aku tenggelam di relung jiwa
setiap tengah malam kulontarkan tanya
selalu muncul jawaban yang sama
sejauh kau lari dan sembunyi
kau tak luput dari bayanganku
meski kau menghilang
ke dalam remang
bayanganku ‘kan melingkupimu
tak perlu kau risau
ragu hanya milik si dungu
tapi mantra, mula semesta,
dan akhir rahasia
telah tiba sebelum kita ada
lapar dan haus yang begitu purba
akan menyatu
bersekutu dengan waktu
mempertemukan jiwa kita
(Karangasem, Bali, 28 Oktober 2009)
Nocturno
keheningan melingkupi diriku
wajahmu kembali berpendar di telaga
kurasa udara menyusup ke dalam jiwa
terperangkap dan gemetar di situ
batu ungu di jemari tanganku
meraba cahaya dari ubun-ubunmu
samudera dari segala samudera
menyatu dalam telaga jiwaku
batu surya dan batu purnama
berpadu di telapak tanganku
membaca segala tanda
dari cuaca paling kelabu
peri-peri tersedu
meratapi buah karma
yang kita telan bersama
raih tanganku
agar kau
tak kehilangan jejakku
di rimba rahasia
malam dan halimun
meretas batas yang getas
di mana kita mungkin
tak lagi berbekas...
(Karangasem, Bali, 30 Oktober 2009)
Pura Lempuyang
menapaki tangga-tanggamu
serupa kabut bayangmu
menjelajahi jiwaku
entah berapa waktu
tak kutemukan wajahmu
hingga kerinduan membeku
di antara daun-daun pakis
dan batu-batu cadas
tak kutahu
apa sebab kita bertemu
ada karma yang begitu jauh
kini membuncah kembali
menjadi resapan sunyi
di aksara-aksara jiwaku
di lumut-lumut candimu
halimun begitu rupa
menguatkan pendakian
jiwa merasuki kegaiban
dan tahu aku
kau telah menyatu
dalam jiwaku
(Karangasem, Bali, Oktober 2009)
Malam
Amlapura
tak ada yang sisa dari ramai kota
ketika kucoba tulis puisi cinta
untukmu, kaum jelata
di sudut remang terminal tua
entah ini malam ke berapa
aku meracik sepi
menjadi kembang api
warna-warni di jiwaku
hanya gumam dan gerutu
menjalar dari trotoar kota
tiba di tugu pahlawan
pemuda-pemuda mabuk tergeletak
bunga-bunga taman terkoyak
malam yang kehilangan gairah
mengeluh kepadaku :
tak ada lagi revolusi
dan juga puisi
di sini...
(Amlapura, Bali, 9 Desember 2009)
apa kabar bang wayan??!
ReplyDelete