Labels

Monday 27 May 2013

Sepuluh Perupa Memandang Bali



Oleh : Wayan Jengki Sunarta*
 

(karya Made Romi Sukadana)
Jika dicermati dari tatanan sosial, budaya, ekonomi, agama, dan lini kehidupan lainnya, Bali telah begitu banyak mengalami perubahan. Perubahan itu tentu berdampak baik maupun buruk. Perubahan ke arah baik akan disyukuri oleh banyak orang. Namun, perubahan ke arah yang buruk selalu mengundang pertanyaan, diskusi, perdebatan, gunjingan, pemikiran maupun sikap kritis.


Pameran yang diikuti oleh sepuluh perupa ini adalah upaya-upaya mengritisi berbagai bentuk perubahan dan persoalan yang terjadi di Bali. Melalui karya-karyanya, mereka beropini sekaligus mengritisi Bali dari berbagai sisi. Mereka adalah I Made Kaek, I Made ‘Romi’ Sukadana, I Made Somadita,  I Wayan Linggih, I Wayan Arnata,  I Ketut ‘Kaprus’ Jaya, I Ketut Mastrum, I Ketut  ‘Kabul’ Suasana, I Nengah Sujena, dan Vinsensius Dedy Reru.

Mereka adalah sekumpulan perupa muda yang masih tekun berkarya dan tetap memelihara pemikiran kritis yang tercermin lewat karya-karyanya. Berkat kerjasama Paros Art Gallery dengan Museum Seni Rupa & Keramik Jakarta, kesempatan tampil di tengah-tengah publik seni rupa ibu kota merupakan tantangan tersendiri dan menjadi ajang uji nyali bagi mereka. Harapan ke depan, kerjasama ini bisa berkesinambungan, dengan menampilkan karya-karya bernas para perupa muda Bali lainnya. 

(karya Made Kaek)
Ditinjau dari segi teknik, pameran ini menampilkan keberagaman. Dari figuratif hingga abstrakisme, dari surealisme hingga simbolisme. Begitu pula dengan fokus persoalan yang diangkat oleh perupanya. Misalnya, lewat lukisan berjudul “Roh # 22”, Kaek menampilkan keruwetan metafisik Bali. Lukisan yang terdiri dari 9 panel itu dipenuhi figur-figur surealis, perpaduan perwujudan manusia dan hewan. Mereka sepertinya ingin berinteraksi dan berdialog, namun tersekat dalam ruangnya masing-masing. Dalam konteks Bali kini, lukisan ini bisa merepresentasikan nilai-nilai sosial yang bergeser ke arah individualisme.

Linggih, Arnata, Sujena, Somadita, dan Kaprus mengungkapkan berbagai bentuk kegamangan dan kehampaan batin manusia Bali. Lukisan Linggih yang berjudul “Banyak Pikiran”, “Mengenang Kenangan”, dan “Tersenyum” merepresentasikan gejolak-gejolak jiwa yang diliputi kegamangan itu sendiri. Hal senada juga bisa direnungi pada seri lukisan Arnata yang berjudul “Fose” yang menggunakan medium benang di atas kanvas. Figur-figur dalam lukisan Arnata tampak berjuang membebaskan diri dari lilitan benang. Di sini benang bisa dimaknai sebagai simbol ikatan tradisi, adat, budaya Bali yang dianggap mengganggu kebebasan berekspresi dalam kehidupan modern.

(karya Nengah Sujena)
Lukisan-lukisan Sujena dengan sangat jelas merepresentasikan kehampaan batin yang diderita manusia Bali saat berproses menemukan eksistensi dirinya dalam kehidupan modern. Dalam lukisan “Proses Sebuah Perjalanan”, “Romantik”, dan “Serakah”, Sujena menampilkan figur-figur tanpa wajah, tanpa identitas, anonim. Lukisan-lukisan ini bisa menjadi cerminan Bali yang mengalami proses pelunturan identitas di tengah kepungan simbol-simbol modernisme. Di sisi lain, Somadita lebih menegaskan perubahan yang terjadi di Bali lewat lukisan sosok figur berwajah monster. Sementara itu, lewat lukisan abstraknya yang berjudul “Muncul dari Yang Terlupakan”, Kaprus berharap terjadinya perubahan yang lebih baik pada Bali.

Sejak lama, barong telah menyihir mata banyak pelukis, untuk dituangkan menjadi objek lukisan. Lewat ikon barong, Mastrum memertanyakan romantisme dan eksotisme masa silam yang terus membekas hingga masa kini. Barong menjadi simbol untuk merepresentasikan kegelisahan Mastrum mengamati perubahan-perubahan dahsyat yang terjadi di tanah kelahirannya. Barong dalam lukisan Mastrum cenderung ekspresif dan terkesan galak dengan aksentuasi cipratan-cipratan warna yang menggelora, seperti yang bisa dilihat pada lukisan “Ekspresi Barong I” dan Ekspresi Barong II”. Terlihat di sini, Mastrum tampil sebagai sosok yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya.

(karya Suasana Kabul)
Melalui metafora lebah, Kabul mendambakan tatanan masyarakat Bali yang ideal. Lebah adalah serangga penghasil madu yang mampu hidup bermasyarakat dengan sistem pembagian kerja yang jelas. Dalam konteks ini, melalui metafora lebah, Kabul menyindir kehidupan indivisualisme masyarakat perkotaan. Lukisannya yang berjudul “Abstraksi Alam Lebah”, “Pohon Tua”, dan “Menuju Gunung Putih” menjadi semacam persuasi agar manusia kembali menyelaraskan diri dengan alam.

Karya-karya simbolisme Romi menjadi ungkapan ekstrem betapa Bali memang telah dikemas dan dijual untuk kepentingan kapitalisme industri pariwisata. Hal itu bisa dicermati pada lukisannya yang berjudul “Warisan”, “Hero”, dan “Masih Tetap Menari”. Ikon-ikon Coca-cola, Pizza Hut, dan Batman berbenturan dengan ikon penari legong, Bima, dan penari topeng. Ironisnya, ikon-ikon itu saling bertarung di hamparan kardus kemasan. Lukisan-lukisan Romi menjelma ungkapan yang sangat satir dalam konteks mengamati perubahan yang terjadi di Bali kini.

(karya Dedy Reru)
Ikon John Lennon dan The Beatles merasuki imajinasi Dedy Reru tentang Bali yang damai yang pernah menjadi salah satu surga kaum hippies. Lewat lantunan lagunya yang berjudul “Imagine”, John Lennon pernah menyihir dan membuat masyarakat dunia terharu. Sebuah lagu yang memimpikan kedamaian dunia, tanpa peperangan, hidup harmonis dengan alam. Lukisan-lukisan yang berjudul “Bed in Peace”, “Be a Picassoisme”, “John Lennon and Friends”, mengisyaratkan impian-impian Dedy tentang kehidupan yang damai dan penuh cinta.

Karya-karya sepuluh perupa ini hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya perupa Bali untuk mengritisi tanah kelahirannya sendiri. Tak bisa dipungkiri, sejak pemerintah kolonial Belanda mempromosikan dan membuka Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, perubahan demi perubahan terus terjadi di Bali. Berbagai konflik kepentingan merebak hingga kini. Bagi saya, Bali harus memiliki posisi tawar yang kuat untuk menghadapi itu semua, termasuk kaum perupanya.***



*Penulis adalah sastrawan dan kurator seni rupa. Lulusan Antropologi Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana dan pernah kuliah di ISI Denpasar.


**Tulisan ini adalah pengantar kuratorial pameran yang berlangsung di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 29 Mei - 2 Juni 2013

No comments:

Post a Comment