Teks dan foto: Wayan Jengki Sunarta*
![]() |
(Pria Bali di Bak Mandi karya Wayan Aris Sarmanta) |
Ciri khas lukisan Batuan pada masa itu adalah menggunakan
warna hitam-putih yang memunculkan efek gelap-terang dan nuansa magis yang kuat.
Pada beberapa lukisan tampak pula bidang gambar yang penuh dengan berbagai
narasi dan fragmen yang tumpang tindih antara kehidupan alam sekala (nyata) dan niskala (gaib/maya).
Seni lukis gaya Batuan mampu bertahan
dan berkembang hingga sekarang karena adanya sistem pewarisan ilmu dari
generasi ke generasi. Sistem yang bersifat informal
itu berlangsung dalam keluarga atau lingkungan terdekat. Metodenya pun
berbeda-beda. Ada dengan cara meniru atau mencontoh. Ada yang hanya diberikan
teori atau teknik, kemudian murid mencari dan mengembangkan sendiri tema yang
disukainya.
Salah satu pelukis Batuan yang sangat
idealis dalam mengajar murid-muridnya adalah I Ngendon
(1903-1948). Bagi Ngendon, setiap murid harus mampu menggambar bentuk-bentuk
yang berbeda. Ngendon melahirkan generasi pelukis Batuan yang mampu menggali
dan mendalami tematik secara kuat. Sementara itu, pelukis lain yang tidak
berguru pada Ngendon, masih berkutat dengan tematik tradisional.
Teknik melukis gaya Batuan cukup
rumit, mengandalkan kesabaran dan ketekunan. Ada beberapa tahapan yang harus
dilalui, yakni ngorten atau membuat sketsa, nyawi, memberi kontor pada sketsa, ngucek atau memberi gradasi secara
bertahap, manyunin dan ngidupang untuk memunculkan kesan
kedalaman, dan ngewarna alias memberi
warna.
Lukisan gaya Batuan dari
generasi tua hingga muda bisa diapresiasi pada pameran The Dynamic Heritage yang digelar di Griya Santrian Gallery, Sanur,
Bali, dari 19 Januari 2018 hingga 28 Februari 2018. Pameran yang dikurasi Made
Susanta Dwitanaya ini menampilkan karya-karya Made Sujendra (1964), Ketut Sadia
(1966), Wayan Diana (1977), Made
Griyawan (1979), Made Karyana (1981), Gede Widiantara (1984), Wayan Eka Suamba
(1985), Wayan Budiarta (1993), Wayan Aris Sarmanta (1995), Pande Made Dwi Artha
(1998), Dewa Virayuga, Nyoman Sudirga.
Dari 24 lukisan yang
ditampilkan, sebagian besar secara visual masih terjebak pada tematik seni
lukis Batuan tempo dulu, seperti kehidupan nelayan dan petani, ritual di pura,
folklore Bali. Meski begitu, beberapa pelukis berusaha memodifikasi tematik
tersebut menjadi lebih kekinian. Namun, ada beberapa karya yang cukup menyedot
perhatian karena mengangkat tema politik dan sosial-budaya kontemporer.
![]() |
(Ular vs Kucing karya Wayan Diana) |
Hal itu, misalnya, tampak
pada lukisan Wayan Diana yang berjudul “Ular vs Kucing” (2016). Lukisan
berukuran 100 x 200 cm ini berkisah tentang kucing bertarung dengan ular dan ditonton
ribuan tikus sembari berpesta pora. Melihat dari latar gedung-gedung pencakar
langit dan tugu Monas, pertarungan itu terjadi di Jakarta. Simbol kucing, ular,
tikus jelas mengacu pada pergolakan politik dan kasus-kasus korupsi yang kian
mewabah di Indonesia.
Di sisi lain, lewat lukisan
“Pertahanan Pancasila” (70 x 60 cm, 2016), Pande Made Dwi Artha menggambarkan
berbagai ancaman yang mendera Indonesia. Dalam lukisan ini tampak burung garuda
yang bertamengkan Pancasila diancam dari berbagai arah dengan berbagai cara,
mulai dari narkoba, terorisme, kriminalitas, hingga korupsi.
Lukisan yang tak kalah
menariknya adalah karya Wayan Aris Sarmanta yang berjudul “Pria Bali di Bak
Mandi” (90 x 70 cm, 2017). Lukisan ini menampilkan sosok pria raksasa sedang
berendam di bak mandi. Mahkota yang masih bertengger di kepalanya menandakan pria
itu sosok yang sangat berkuasa. Di sekitar bak mandi tampak sejumlah orang berukuran
kecil melakukan aktivitas kesehariannya.
Lewat lukisan ini, Aris
Sarmanta dengan cerdik dan kreatif melontarkan kritik terhadap persoalan-persoalan
kontemporer yang sedang melanda Bali. Dalam lukisan ini tampak fragmen kehidupan
masa lampau dibenturkan dengan kehidupan masa kini di tengah berbagai krisis
ekologi yang terjadi di Bali, seperti krisis air, alih fungsi lahan, bencana
Gunung Agung. Dulu air di Bali sangat melimpah dan dinikmati beramai-ramai oleh
masyarakat, namun kini sumber-sumber air dikuasai oleh segelintir orang untuk
kepentingan bisnis pribadi.
Kritik terhadap persoalan
sosial budaya juga diangkat oleh I Made Griyawan lewat lukisan berjudul
“Kaliyuga (Dunia Terbalik)”. Lukisan berukuran 290 x 30 cm itu dibagi menjadi
empat panel, masing-masing menyuguhkan ironi yang melanda kehidupan kekinian.
Misalnya, panel pertama berisi tentang orang tua zaman sekarang yang lebih
menyayangi hewan peliharaan ketimbang anak sendiri. Panel kedua tentang kisah cinta
beda usia dan sesama jenis. Panel ketiga tentang orang yang gila memberhalakan
harta. Dan, panel keempat tentang manusia-manusia yang berkelakuan tikus.
Secara tematik, seni lukis gaya Batuan akan terus
berkembang mengikuti zaman. Dalam hal ini seni lukis gaya Batuan memiliki
kemampuan mendokumentasikan berbagai persoalan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Dan, tentu saja hal itu tergantung pada kemampuan dan kepekaan
pelukisnya mengabadikan konten zaman.***
*penulis menetap di Bali.
No comments:
Post a Comment