Oleh : Wayan Jengki Sunarta*
(karya Soewito Aji) |
Kuta adalah sebuah kawasan yang memiliki
sejarah sangat panjang. Pada zaman kerajaan, kawasan Kuta dan
sekitarnya dikenal sebagai kampung nelayan, pelabuhan, dan kawasan niaga. Tahun
1343, dalam rangka menundukkan Bali, Mahapatih Majapahit, Gajah Mada,
melabuhkan armada tempurnya di kawasan pantai yang kemudian dinamai Tuban (di
selatan) dan Canggu (di utara). Kawasan di antara Tuban dan Canggu dinamai Kuta
yang berarti benteng, kubu pertahanan, atau tempat berlindung.
Pada 1597, tiga kapal Belanda di bawah
pimpinan Cornelis de Houtmann singgah di Kuta bersama Lintgens, orang asing
pertama yang menjelajahi Bali. Tahun 1839, Mads Lange, saudagar Denmark,
mendirikan markas dagang di Kuta dan menjadi perantara bisnis antara raja-raja
Bali dengan Belanda. Pada masa Lange, Kuta berada di bawah kekuasaan kerajaan
Kesiman. Selain sahbandar, Lange juga diangkat menjadi kepala desa di Kuta. Lange
sukses besar memimpin Kuta. Para pedagang dari berbagai pelosok Asia singgah
dan berniaga di Kuta.
Sebenarnya, pada tahun 1930-an, Kuta telah
sering dikunjungi orang asing. Mereka menyaksikan aktivitas nelayan, menikmati
keindahan pantai, dan panorama matahari tenggelam. Pada tahun 1936, fotografer
Amerika, Robert Koke, menjadi peselancar pertama yang menjamah kemolekan ombak
pantai Kuta. Koke bersama istrinya, Louise Garrett, menetap di Kuta dan
mendirikan Kuta Beach Hotel yang bentuk bangunannya bergaya homestay. Pada masa
itu, seorang jurnalis Skotlandia, Muriel Stuart Walker (K’tut Tantri), juga
menetap dan mendirikan hotel di Kuta.
Setelah 1945, Kuta kembali sepi. Predikat
kampung nelayan masih terus disandang Kuta hingga akhir tahun 1960-an. Pada
masa itu, Kuta dipenuhi semak belukar, pohon kelapa, ketapang, dan pandan duri,
terkenal sangat angker, banyak leak, tempat pembuangan orang-orang berpenyakit
lepra, dan banyak kuburan di sepanjang pantainya. Hanya ada satu dua bule
hippies yang berkeliaran di pantai, menikmati kebebasannya sebagai manusia.
Pada tahun 1969-an, Presiden Soeharto
meresmikan Pelabuhan Udara (Pelud) Tuban yang telah dibuka sejak 1930-an
menjadi Pelabuhan Udara Internasional Ngurah Rai. Pada saat itu pekerjaan masyarakat
Kuta adalah nelayan, petani, dan buruh bangunan. Sebagian besar masyarakat Kuta
merespon peresmian bandar udara itu dengan sikap dingin, sebab dianggap tak
berkaitan dengan kehidupan mereka. Namun, di sisi lain, investor dari Jakarta berlomba-lomba
mengincar kawasan Kuta.
Sejak itu, tanah-tanah di sepanjang pantai
Kuta telah banyak berpindah ke tangan investor. Berkat jual tanah, banyak orang
kaya baru bermunculan di Kuta. Terjadi kejutan budaya. Secara perlahan, dari
generasi ke generasi, pergeseran pola kehidupan tak terhindarkan, dari nelayan
dan bertani memasuki industri pariwisata. Sebagian masyarakat menggunakan uang
itu untuk belajar membuka usaha, seperti homestay, rumah makan, artshop.
Sebagian menghabiskannya di arena tajen, mengadakan ritual, membangun rumah,
dan keperluan lain.
(karya Helena S Arway) |
Berkat pantainya yang indah dan gulungan ombak
yang memukau para peselancar, pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an, Kuta berubah
menjadi surga dan koloni kaum hippies yang menganut prinsip peace, love, and freedom. Percampuran
dan benturan budaya tak terelakkan. Anak-anak muda lokal dengan mudah menyerap pengaruh
budaya hippies, sementara kaum hippies terpukau dan menemukan kedamaian dalam
budaya Timur. Saat itu, budayawan dan pemerintah Bali banyak yang cemas dengan
pengaruh budaya hippies dan berteriak-teriak agar Bali tidak menjadi Hawaii
kedua.
Promosi dari penulis Selandia Baru, Hugh Mabbett,
lewat bukunya yang berjudul “In Praise of Kuta” (1987), membuat kawasan pantai
itu makin ramai dikunjungi turis manca negara. Kuta pun perlahan
bertransformasi dari kampung nelayan menjadi kawasan wisata internasional. Hingga
tahun 2000-an, para investor seperti tak terbendung, untuk menanamkan modalnya
di Kuta. Fasilitas pariwisata makin banyak bermunculan bagai jamur di musim
hujan. Homestay, losmen, hotel, restaurant, kafe, pub, diskotik, pertokoan, mall,
dan berbagai bentuk bisnis lain saling berebut tempat. Makin lama Kuta makin
semrawut dan mendekati titik chaos.
Berbagai kasus kriminalitas tak terelakkan. Yang halal dan yang haram saling
berebut posisi. Dan, tragedi Bom Kuta 2002, telah mengejutkan dan menyadarkan
banyak orang, bahwa Kuta bukan cuma milik Bali, namun juga milik dunia. Menjadi
tugas kita bersama untuk terus menjaganya.
Seni Rupa di Kuta
(karya AA Gde Agung Jaya Wikrama) |
Kuta tentu berbeda dengan Ubud,
terutama dari segi geografis dan sosia-budaya, yang berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan keseniannya. Kuta memiliki keunikan tersendiri.
Latar budaya pesisir membuat masyarakatnya cenderung sangat permisif menerima
pengaruh-pengaruh luar. Budaya urban, budaya pop, dan bahkan budaya kosmopolitan
dengan mudah berkembang. Percampuran budaya inilah yang banyak memengaruhi
corak dan konten seni rupa di Kuta.
Berbeda dengan Ubud ataupun Sanur,
Kuta memang tak memiliki akar sejarah dan tradisi seni rupa yang kuat. Dalam terminologi
seni rupa di Bali, tak pernah dikenal “gaya Kuta”, sebagaimana orang mengenal
gaya Ubud, Batuan, Pengosekan, Young Artist, atau pun Sanur School. Pada masa
1930-an hingga awal 1970-an, masyarakat Kuta hanya mengenal pengetahuan
menangkap ikan (nelayan) dan bertani ala kadarnya. Tak ada patron seperti Walter
Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smit, atau tokoh puri yang memotivasi mereka untuk belajar
melukis, mengorganisir, dan memasarkan karya. Maka, bisa dikatakan, pertumbuhan
seni rupa di Kuta memang jauh ketinggalan ketimbang Ubud dan Sanur.
(karya Ricky Karamoy) |
Lalu, bagaimana kita bisa mengukur
pertumbuhan dan perkembangan seni rupa di kawasan Kuta? Secara jujur harus diakui,
seni rupa di Kuta dihidupi atau diberi nafas oleh para perupa dari luar Bali.
Mereka adalah para perupa perantau yang terpukau dengan eksotisme Kuta dan
mencoba mengadu peruntungan di kampung internasional itu. Dari karya-karya
mereka, pertumbuhan dan perkembangan seni rupa di kawasan Kuta bisa dibaca dan
dimaknai.
(karya Herry Yahya) |
Saat itu, karena kebetulan bertugas
di Kuta sebagai wartawan sebuah koran gurem, saya sering mampir ke Bunga-bunga
Bali yang dikomandoi perupa Ricky Karamoy. Sambil menikmati kopi, kami larut
dalam obrolan soal seni rupa, terutama pertumbuhan dan perkembangan seni rupa
di Kuta. Kami sama-sama gelisah, bagaimana menggairahkan denyut kehidupan
kesenian di Kuta. Bagi saya, Kuta adalah tempat yang menggairahkan untuk
kehidupan berkesenian. Kuta yang berdenyut 24 jam sungguh menjadi nyala api
yang tak pernah padam bagi kreativitas kesenimanan. Kegelisahan itu direspon Bunga-bunga
Bali dengan menggelar acara-acara kesenian yang tidak hanya menampilkan seni
rupa, namun juga seni puisi, teater, instalasi, tari kontemporer, musik. Saat
itu, kaum seniman dari berbagai disiplin seni berbaur, saling sapa, saling
menghargai. Mereka merasa berada dalam pusaran yang sama, yakni kawasan multicultural bernama Kuta.
Di kesempatan lain, saya berkunjung
ke Puri Naga Studio, pertapaan Sang Naga Wahyoe Wijaya di kawasan Legian Kelod.
Wahyoe, perupa hasil didikan IKJ, mendirikan studio itu pada tahun 1974 ketika
Kuta masih menjadi surga kaum hippies. Studio itu kerap menjadi persinggahan
seniman dan kaum hippies. Mereka berkumpul, berdiskusi, atau mengadakan party.
Wahyoe adalah seniman eksentrik dan hobi menunggang Harley Davidson. Pengagum
Chairil Anwar itu belajar melukis pada Nashar, Oesman Effendi, Zaini, Rusli, Trisno
Sumardjo.
(karya Wahyoe Wijaya) |
Pada awal 2000-an, ada sejumlah
galeri bertebaran di Kuta dan rajin menggelar pameran seni rupa. Namun, yang
paling membuat saya tertarik adalah Salim Gallery. Pemiliknya adalah seorang
perupa eksentrik, Salim, yang tiada lain karib Wahyoe Wijaya. Di galeri yang
sederhana, namun akrab dan hangat itulah perupa-perupa muda di Kuta, bahkan
perupa-perupa ingusan yang masih kuliah di STSI (kini ISI) Denpasar suka menggelar
pameran. Memang, Salim membuka galeri pribadinya untuk memberikan kesempatan
berpameran kepada perupa-perupa muda yang kesulitan menembus galeri-galeri
komersil di Kuta.
Berbicara tentang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan seni rupa di kawasan Kuta, kita tak bisa
meniadakan nama Wahyoe Wijaya dan Salim. Mereka adalah founding father sejarah seni rupa di Kuta. Untuk menyebut beberapa
nama, belakangan kemudian muncul perupa-perupa seperti Martin Sitepu, Arifin, Uut
Bambang Sugeng (ayah Luna Maya), Si Hong, Ricky Karamoy, Bambang Wiwoho, A.Pandi,
Anwar Djuliadi, Tut Ar, Doglas, Herry Yahya, Welldo, dan para perupa anggota
Komunitas Bunga-bunga Bali, yang turut mewarnai seni rupa di Kuta.
Wahyoe dan Salim adalah kombinasi
sempurna yang memicu gairah berkesenian di Kuta. Namun, keduanya telah pergi meninggalkan kita.
Yang perlu terus dijaga dan ditingkatkan adalah semangat dan sikap berkeseniannya.
Mereka tak silau dengan gemerlap pasar seni rupa. Mereka asyik menikmati hidup
dan berkesenian dengan caranya masing-masing di tengah hiruk pikuk pariwisata
Kuta. Bagi mereka, Kuta adalah denyut dan debar jantung mereka sendiri. Mereka
tak pernah berhenti menyalakan api kreativitas dan menularkannya ke generasi
yang lebih muda.
Dari Sinergi Rupa Menuju Kuta Art Chromatic
(karya Tatang Bsp) |
Di tengah hiruk pikuk turistik dan
kepentingan pragmatis, kehidupan seni rupa di Kuta selalu memiliki cara untuk
terus bertahan dan berkembang. Setelah Komunitas “Bunga-bunga Bali” bubar,
Wahyoe Wijaya dan Salim tiada, semangat berkesenian di Kuta dilanjutkan oleh
Zoom Art Gallery dan Komunitas Sinergi Rupa.
Zoom Art adalah galeri pribadi milik
Artanto S. Nugroho (Sinthong) yang didirikan pada tanggal 7 Desember 2012, berlokasi
di Pengubengan
Kauh, Kerobokan, Kuta Utara. Di galeri yang bersahaja itu, anggota Sinergi Rupa
sering berinteraksi, berdiskusi, dan
melakukan aktivitas kesenian. Tatang Bsp adalah salah satu perupa yang sering
menyambangi Zoom Art, berbagi pengetahuan, dan memotivasi para perupa di Kuta
untuk membuat event-event kesenian yang mampu bergaung secara luas.
Pada diskusi yang digelar di Zoom
Art sekitar awal Januari 2013, tercetus gagasan untuk membuat pameran seni rupa
yang mengangkat isu-isu atau aneka persoalan yang terjadi di Kuta. Gagasan itu
direspon oleh para perupa di Kuta yang tergabung dalam Komunitas Sinergi Rupa
dan beberapa perupa dari luar Kuta. Tim panitia pun dibentuk, tema besar pun
ditentukan. Tema awal yang dicetuskan adalah “Kuta Art Now”, namun dalam
perkembangan kemudian berubah menjadi “Kuta Art Chromatic”.
Untuk mewujudkan gagasan besar itu,
ujian demi ujian pun bermunculan, mulai dari soal dana/sponsor hingga
kekompakan tim. Namun, dengan bermodalkan keyakinan, gagasan besar harus
diwujudkan, demi upaya
revitalisasi atau membangkitkan kembali semangat berkesenian yang memudar di
kawasan Kuta. Pada akhirnya, pameran akbar “Kuta Art Chromatic” ini bisa dinikmati,
itu semua berkat kerja keras tim kecil yang pantang menyerah. Mereka bagaikan
tiga ratus laskar Sparta yang gagah berani melawan puluhan ribu pasukan musuh
bersenjata lengkap. Tim kecil itu adalah Tatang Bsp, Sinthong, Martin Sitepu, Herry
Yahya, Anthok Sudarwanto, Ida Bagus Putu Radnyana (Boim), Ida Ayu Dewi Arini
(Dayu Arab), Raden Prakiyul, A.A. Gede Agung Jaya Wikrama (Gungde), dan Donal
Lolot.
“Kuta Art Chromatic” yang
berlangsung dari tanggal 30 Desember 2013 hingga 26 Januari 2014 ini, tak hanya
menampilkan karya-karya perupa yang berdomisili di kawasan Kuta dan sekitarnya,
namun juga mengundang sejumlah perupa dari luar Kuta. Untuk menyebut beberapa
nama, antara lain Wayan Redika, Ida Bagus Putu Purwa, Made Wiradana, Galung
Wiratmaja, Vony Dewi, Citra Sasmita, Wayan Jana, Made Bayak, Nyoman Sujana
Kenyem, Emile Satyawarman, Ponco Setyohadi, Made Gunawan, Made Supena, Putu
Bonuz, I Gusti Putu Buda.
Secara keseluruhan ada 132 peserta yang
menampilkan karyanya. Tak hanya seni lukis, pameran yang berlokasi di Alasarum,
Seminyak, Kuta ini juga diramaikan dengan seni patung, instalasi, video art,
mural, grafiti, fotografi, grafis, dan seni batik. Selain itu, di sela-sela
pameran, digelar berbagai jenis performance art, public art, diskusi seni, dan
berbagai workshop seni yang tersebar di beberapa tempat.
(Umbu Landu Paranggi mengamati karya-karya Kuta Art Chromatic) |
Mengapa chromatic? Chromatic adalah
sebuah kata yang bermakna aneka warna. Pameran ini adalah upaya membaca ulang sejarah dan kosmologi Kuta. Perbauran dan
benturan budaya, persoalan identitas, konflik kepentingan, posisi kaum urban,
masalah ekologi, masalah sosial, menjadi tema-tema menarik yang ditampilkan
para perupa. Mereka mengeksplorasi tema-tema itu sesuai dengan gaya, corak,
karakter, dan ungkapan pribadi yang khas.
Kuta di masa kini adalah sebuah kawasan
kosmopolitan, dimana adat, tradisi, budaya lokal (Hindu-Bali) berupaya terus
menerus beradaptasi dan saling berinteraksi dengan berbagai ragam budaya yang
dibawa kaum urban dan para turis. Tak berlebihan jika Kuta disebut sebagai
kawasan multicultural, ranah yang
aneka warna, chromatic. Di Kuta, yang
sakral dan profan saling berbaur. Pura, klenteng, wihara, mesjid, gereja
berdampingan dengan diskotik, pub, kafe, mini market, mall. Suara gamelan dan
suasana magis ritual di suatu pura bisa saling bersahutan dengan musik rock dan
suasana banal di suatu pub, kafe, ataupun diskotik. Asap dupa dari sesajen
campuraduk dengan asap knalpot yang menyembur dari jalanan Kuta yang macet.
Ritual Melasti yang digelar di pantai
Kuta tiap menjelang Nyepi berdampingan dengan ritual bule-bule yang menjemur
tubuhnya. Itulah keunikan Kuta.
Dari karya-karya yang ditampilkan, bisa dibaca
kecenderungan tema yang dieksplorasi oleh para peserta. Pameran ini tidaklah
dibatasi oleh satu tema dominan, namun dari TOR yang diberikan, diharapkan peserta
mampu merespon Kuta yang multicultural, Kuta yang aneka warna dengan
problematika. Sejumlah perupa berupaya mengeksplorasi budaya kosmopolitan dan
budaya pop yang menjadi ciri khas Kuta masa kini. Hal itu misalnya bisa dilihat
pada karya Tatang Bsp, Wayan Redika, Helena S. Arway, Herry Yahya, Hendry
Jenin, Heru Setiawan, Nyoman Endra, Lusyani Ussy, Ni Luh Gede Widiyani, Ricky
Karamoy, Rudi Bagong, Welldo Wnophringgo, Alvin Savato, Andik S. Bejo, Ari
Lancor, Basugiart, Ketut Agus Murdika, I Gede Pande Paramartha, DP Arsa, Eko
Setyo Hadi.
(Umbu Landu Paranggi dan penulis di pembukaan Kuta Art Chromatic) |
Persoalan krisis identitas, keterasingan
manusia, benturan lokal-global, konflik tradisi-modern, menjadi tema yang tak
pernah basi untuk dieksplorasi, terlebih ketika berbicara problematika
kehidupan di Kuta. Hal itu tampak pada karya-karya Gungde Jaya Wikrama, Anthok
Sudarwanto, Djamur Community, Emile Satyawarman, Bijal, Gede Sugiada, IB Putu
Radnyana, IB Suryantara, Nyoman Sukariana, Pande Gede Sarjana, I Gusti Bagus
Rai Suteja, Kadek Nata Wirajaya, Made Romi Sukadana, Made Alit Suaja, A. Pandi,
Denta Pamugar, Wayan Juni Antara, Komang Parwata, Lukman Usdianto, Made Bayak,
Soewito Aji, Widy Tri Wardhani.
Kuta yang dikenal eksotis dengan pantai pasir
putih dan ombak memukau, melahirkan problematika tata ruang dan ekologi yang
tak berkesudahan. Persoalan sampah, kemacetan, kerusakan jalan, polusi udara,
polusi lingkungan, berpadu dengan persoalan tata ruang Kuta yang makin
semrawut. Problematika ini direspon dan dieksplorasi oleh A.A. Gde Ngurah Bayu
Kesumaputra, Bambang Ariana, Maryani Pelupessy, Bambang Rombeng, Elyezer, Galung
Wiratmaja, Hendi, Kadek Eko, Ketut Suasana Kabul, Ketut Suwidiarta, Martin
Sitepu, Citra Sasmita, Nyoman Sujana Kenyem, Raden Prakiyul, Zainal.
Pemaparan di atas menggambarkan aneka ragam
tema yang bisa diapresiasi pada pameran “Kuta Art Chromatic” ini. Dengan
kecerdasan dan sikap kritis, sesungguhnya Kuta menawarkan banyak kemungkinan
untuk dieksplorasi ke dalam karya-karya seni rupa. Namun, di luar itu semua, pameran
yang digarap dengan modal kebersamaan ini diharapkan mampu memicu gairah
berkesenian di Kuta ke arah yang lebih masif dan kondusif.
Sudah sepantasnya, Kuta yang berkelas
internasional memiliki suatu event yang berkelanjutan dan mampu bergema ke
seluruh pelosok dunia. Dan, tentu saja, diharapkan terbangun ruang apresiasi
yang lebih luas, untuk memetakan, menakar, dan mengukur arah perjalanan seni
rupa di Bali, khususnya Kuta.***
*sastrawan dan kurator seni rupa.
No comments:
Post a Comment