Teks dan Foto: Wayan Jengki Sunarta
Menafsir ulang dan menyajikan situs bersejarah
yang bernilai arkeologis ke dalam seni rupa kontemporer tentu bukan perkara
mudah. Sebab bila tidak cerdik dalam kreasi artistik, seni rupa yang disajikan
cenderung hanya meniru objek yang telah ada. Tentu saja dalam hal ini
diperlukan riset atau penelitian yang komprehensif tentang objek yang hendak
diolah ke dalam seni rupa kontemporer. Hal itulah yang dilakukan perupa Wayan
Kun Adnyana berkaitan dengan situs Relief Yeh Pulu yang berlokasi di Desa
Bedulu, Gianyar, Bali.
Sebelum disajikan ke dalam bidang
kanvas, Wayan Kun Adnyana telah melakukan penelitian terhadap Relief Yeh Pulu
yang memiliki panjang sekitar 25 meter dan tinggi
2 meter. Situs yang diperkirakan dibangun pada abad ke-14 atau ke-15 Masehi itu
pertama kali ditemukan oleh seorang punggawa Kerajaan Ubud pada tahun 1925, kemudian
diteliti dan dipublikasikan oleh Jawatan Purbakala Kolonial Belanda yang
dipimpin Dr.W.F Sutterhiem pada tahun 1929. Relief yang mirip komik strip itu menggambarkan
fragmen-fragmen kehidupan keseharian manusia Bali pada masa itu.
Sebagai sebuah karya seni rupa dari
zaman kuno, Relief Yeh Pulu menarik untuk ditafsir ulang ke dalam karya seni
rupa kontemporer, seperti yang telah dilakukan oleh Wayan Kun Adnyana. Hasil
pembacaan dan tafsir ulang itu kemudian dipamerkan dengan tajuk “Candra
Sangkala” di Museum Neka, Ubud, dari 26 Oktober hingga 26 November 2017.
Pameran yang dikurasi oleh Warih Wisatsana tersebut menjadi sebuah jembatan
yang menghubungkan masa silam dan masa kini dengan pemaknaan baru terhadap
simbol atau kode budaya yang terdapat dalam situs Yeh Pulu.
Wayan Kun Adnyana adalah perupa
kelahiran Bangli, 4 April 1976. Dia meraih gelar doktor bidang seni rupa di ISI
Yogyakarta. Sejak 1997 dia aktif dalam banyak pameran bersama maupun tunggal,
baik di dalam maupun luar negeri. Sejumlah penghargaan di bidang seni rupa juga
pernah diraihnya. Selain sebagai dosen di ISI Denpasar, Kun juga dikenal
sebagai kurator dan penulis seni rupa.
Menurut Kun, Candra Sangkala dalam
konteks pamerannya ini merupakan perluasan dari tafsir kata “candrasengkala” yang
berarti kronogram Jawa dengan menggunakan sistem perhitungan bulan. Ketika
dituang ke dalam karya seni rupa, Candra Sangkala dalam pemahaman Kun bukan
sekadar memaknai kode, simbol, atau bentuk-bentuk visual lain sebagai petunjuk
angka tahun tertentu, melainkan merambah hingga ke ruang sejarah dan konteks sosial
politik.
Kun menggunakan lima pendekatan artistik
dalam mengolah Relief Yeh Pulu ke dalam karya seni rupa kontemporer, yakni cutting, coloring, highlighting, drawing, dan smashing. Dalam penerapannya, cutting
berkaitan dengan membayangkan Relief Yeh Pulu sebagai bentangan poster komik
yang gambar-gambarnya dapat digunting sesuai keperluan untuk ditata kembali
dalam karya seni lukis. Coloring
adalah pewarnaan ulang sesuai dengan cita rasa artistik pelukisnya. Highlighting adalah memilih figur atau
subjek gambar tertentu sebagai pusat perhatian. Drawing berkaitan dengan merepresentasikan ulang objek gambar
dengan teknik goresan garis yang rumit. Smashing
adalah teknik membayangkan objek relief dalam kondisi terpecah dan rapuh karena
faktor korusi dan sejenisnya.
Metode itu, misalnya, bisa dilihat
pada karya berjudul “Journey” (230x350 cm, ink & acrylic on canvas, 2017).
Kun memindahkan adegan dua manusia memikul babi yang terdapat pada Relief Yeh
Pulu ke bidang kanvasnya. Adegan itu menjadi fokus dengan bumbu pemanis berupa
figur-figur manusia (laki-perempuan) yang tampak melayang pada bidang kanvas
yang penuh cipratan warna. Kun menggabungkan gaya figuratif, dekoratif, dan
abstrak untuk memberi kesan ramai pada bidang kanvasnya.
Hal senda juga terlihat pada lukisan
“Wish for Princess” (160x200 cm, acrylic on canvas, 2017). Salah satu adegan
pada Relief Yeh Pulu berupa perempuan di ambang pintu dan figur lelaki yang
menjinjing tempayan dilukis dengan pewarnaan baru sesuai selera pelukis dan
dipermanis dengan kehadiran sejumlah figur kecil dalam posisi berlutut
menyembah. Cipratan-cipratan warna cerah yang membentuk kesan abstrak dan
corat-coret teks memberi kemeriahan tersendiri pada lukisan ini.
Relief Yeh Pulu merupakan rangkaian
adegan yang unik dan menarik untuk dimaknai atau ditafsir ulang. Sebutlah
misalnya adegan berburu macan dan perempuan menarik ekor kuda yang dikendarai
lelaki. Adegan berburu macan tampak lucu dan menarik karena pemburu menarik
lidah dan ekor si macan. Adegan itu dituangkan oleh Kun dalam lukisan berjudul
“Hunting Tiger #2” (160x200 cm, ink & acrlylic on canvas, 2017). Lukisan
ini juga diramaikan dengan sejumlah figur perempuan yang melayang di udara.
Bila macan adalah simbol kekuasaan pada masa relief itu dibuat, maka tindakan menarik
lidah (mulut) dan ekor si macan (kekuasaan) menjadi suatu keberanian
tersendiri, apalagi dilakukan oleh kaum jelata. Adegan tersebut bisa ditafsir
sebagai persoalan sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Adegan seorang perempuan menarik ekor
kuda yang sedang ditunggangi lelaki juga bisa dibaca sebagai simbol yang
membuka berbagai kemungkinan penafsiran. Hal itu dijabarkan oleh Kun dalam
lukisan berjudul “Temptation” (160x200 cm, ink & acrylic on canvas, 2017).
Apakah adegan tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap budaya patriarki?
Mungkin saja.
Mencermati pameran ini, semestinya Kun
lebih kreatif lagi membenturkan atau memparodikan adegan-adegan Relief Yeh Pulu
dengan ikon-ikon kekinian yang lebih “menggigit” ketimbang sekadar menampilkan
figur-figur manusia tanpa identitas atau cipratan warna-warni sebagai pemanis
lukisan. Sebab adegan-adegan pada Relief Yeh Pulu sangat membuka peluang untuk
berdialektika dengan adegan-adegan manusia zaman sekarang, apalagi bila
dikaitkan dengan ranah sosial-politik.***
*penyair dan penulis
seni rupa, menetap di Bali.
No comments:
Post a Comment