Labels

Sunday 26 November 2017

Candra Sangkala: Menafsir Relief Yeh Pulu



Teks dan Foto: Wayan Jengki Sunarta


Menafsir ulang dan menyajikan situs bersejarah yang bernilai arkeologis ke dalam seni rupa kontemporer tentu bukan perkara mudah. Sebab bila tidak cerdik dalam kreasi artistik, seni rupa yang disajikan cenderung hanya meniru objek yang telah ada. Tentu saja dalam hal ini diperlukan riset atau penelitian yang komprehensif tentang objek yang hendak diolah ke dalam seni rupa kontemporer. Hal itulah yang dilakukan perupa Wayan Kun Adnyana berkaitan dengan situs Relief Yeh Pulu yang berlokasi di Desa Bedulu, Gianyar, Bali.


Sebelum disajikan ke dalam bidang kanvas, Wayan Kun Adnyana telah melakukan penelitian terhadap Relief Yeh Pulu yang memiliki panjang sekitar 25 meter dan tinggi 2 meter. Situs yang diperkirakan dibangun pada abad ke-14 atau ke-15 Masehi itu pertama kali ditemukan oleh seorang punggawa Kerajaan Ubud pada tahun 1925, kemudian diteliti dan dipublikasikan oleh Jawatan Purbakala Kolonial Belanda yang dipimpin Dr.W.F Sutterhiem pada tahun 1929. Relief yang mirip komik strip itu menggambarkan fragmen-fragmen kehidupan keseharian manusia Bali pada masa itu.

Sebagai sebuah karya seni rupa dari zaman kuno, Relief Yeh Pulu menarik untuk ditafsir ulang ke dalam karya seni rupa kontemporer, seperti yang telah dilakukan oleh Wayan Kun Adnyana. Hasil pembacaan dan tafsir ulang itu kemudian dipamerkan dengan tajuk “Candra Sangkala” di Museum Neka, Ubud, dari 26 Oktober hingga 26 November 2017. Pameran yang dikurasi oleh Warih Wisatsana tersebut menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan masa silam dan masa kini dengan pemaknaan baru terhadap simbol atau kode budaya yang terdapat dalam situs Yeh Pulu.

Wayan Kun Adnyana adalah perupa kelahiran Bangli, 4 April 1976. Dia meraih gelar doktor bidang seni rupa di ISI Yogyakarta. Sejak 1997 dia aktif dalam banyak pameran bersama maupun tunggal, baik di dalam maupun luar negeri. Sejumlah penghargaan di bidang seni rupa juga pernah diraihnya. Selain sebagai dosen di ISI Denpasar, Kun juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa.

Menurut Kun, Candra Sangkala dalam konteks pamerannya ini merupakan perluasan dari tafsir kata “candrasengkala” yang berarti kronogram Jawa dengan menggunakan sistem perhitungan bulan. Ketika dituang ke dalam karya seni rupa, Candra Sangkala dalam pemahaman Kun bukan sekadar memaknai kode, simbol, atau bentuk-bentuk visual lain sebagai petunjuk angka tahun tertentu, melainkan merambah hingga ke ruang sejarah dan konteks sosial politik.

Kun menggunakan lima pendekatan artistik dalam mengolah Relief Yeh Pulu ke dalam karya seni rupa kontemporer, yakni cutting, coloring, highlighting, drawing, dan smashing. Dalam penerapannya, cutting berkaitan dengan membayangkan Relief Yeh Pulu sebagai bentangan poster komik yang gambar-gambarnya dapat digunting sesuai keperluan untuk ditata kembali dalam karya seni lukis. Coloring adalah pewarnaan ulang sesuai dengan cita rasa artistik pelukisnya. Highlighting adalah memilih figur atau subjek gambar tertentu sebagai pusat perhatian. Drawing berkaitan dengan merepresentasikan ulang objek gambar dengan teknik goresan garis yang rumit. Smashing adalah teknik membayangkan objek relief dalam kondisi terpecah dan rapuh karena faktor korusi dan sejenisnya.

Metode itu, misalnya, bisa dilihat pada karya berjudul “Journey” (230x350 cm, ink & acrylic on canvas, 2017). Kun memindahkan adegan dua manusia memikul babi yang terdapat pada Relief Yeh Pulu ke bidang kanvasnya. Adegan itu menjadi fokus dengan bumbu pemanis berupa figur-figur manusia (laki-perempuan) yang tampak melayang pada bidang kanvas yang penuh cipratan warna. Kun menggabungkan gaya figuratif, dekoratif, dan abstrak untuk memberi kesan ramai pada bidang kanvasnya.

Hal senda juga terlihat pada lukisan “Wish for Princess” (160x200 cm, acrylic on canvas, 2017). Salah satu adegan pada Relief Yeh Pulu berupa perempuan di ambang pintu dan figur lelaki yang menjinjing tempayan dilukis dengan pewarnaan baru sesuai selera pelukis dan dipermanis dengan kehadiran sejumlah figur kecil dalam posisi berlutut menyembah. Cipratan-cipratan warna cerah yang membentuk kesan abstrak dan corat-coret teks memberi kemeriahan tersendiri pada lukisan ini.

Relief Yeh Pulu merupakan rangkaian adegan yang unik dan menarik untuk dimaknai atau ditafsir ulang. Sebutlah misalnya adegan berburu macan dan perempuan menarik ekor kuda yang dikendarai lelaki. Adegan berburu macan tampak lucu dan menarik karena pemburu menarik lidah dan ekor si macan. Adegan itu dituangkan oleh Kun dalam lukisan berjudul “Hunting Tiger #2” (160x200 cm, ink & acrlylic on canvas, 2017). Lukisan ini juga diramaikan dengan sejumlah figur perempuan yang melayang di udara. Bila macan adalah simbol kekuasaan pada masa relief itu dibuat, maka tindakan menarik lidah (mulut) dan ekor si macan (kekuasaan) menjadi suatu keberanian tersendiri, apalagi dilakukan oleh kaum jelata. Adegan tersebut bisa ditafsir sebagai persoalan sosial politik yang terjadi pada masa itu.

Adegan seorang perempuan menarik ekor kuda yang sedang ditunggangi lelaki juga bisa dibaca sebagai simbol yang membuka berbagai kemungkinan penafsiran. Hal itu dijabarkan oleh Kun dalam lukisan berjudul “Temptation” (160x200 cm, ink & acrylic on canvas, 2017). Apakah adegan tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap budaya patriarki? Mungkin saja.

Mencermati pameran ini, semestinya Kun lebih kreatif lagi membenturkan atau memparodikan adegan-adegan Relief Yeh Pulu dengan ikon-ikon kekinian yang lebih “menggigit” ketimbang sekadar menampilkan figur-figur manusia tanpa identitas atau cipratan warna-warni sebagai pemanis lukisan. Sebab adegan-adegan pada Relief Yeh Pulu sangat membuka peluang untuk berdialektika dengan adegan-adegan manusia zaman sekarang, apalagi bila dikaitkan dengan ranah sosial-politik.***



*penyair dan penulis seni rupa, menetap di Bali.

No comments:

Post a Comment