oleh : Wayan Sunarta
![]() |
(Wayan Gde Yudane) |
Dikenal sebagai pembangkang, tetapi tak berarti ia
sombong. Menggandrungi new music,
tetapi bukan lantas ia anti tradisi. I Wayan Gde Yudane, lahir di Banjar
Kaliungu Denpasar, tersohor selaku komposer, mengolah bunyi menegaskan jati
diri, dikagumi di bumi sendiri dan tentu disegani pula di luar negeri.
Yudane
memang sosok yang selalu gelisah untuk terus berupaya mencari dan menggali
berbagai kemungkinan baru dalam aliran seni musik yang digelutinya. Suka
mendebat dosen, tidak pernah puas pada materi kuliah yang diberikan. Suka
menciptakan garapan-garapan nyleneh,
seperti "Laya"(1991), yang melahirkan pro dan kontra saat digelar.
Kebandelan dan kegigihan itu membuahkan
hasil, kini ia menjelma seorang komposer yang memiliki segunung pengalaman dan
penghargaan. Undangan konser, menjadi pengajar, pembicara dan berkolaborasi
dengan beberapa tokoh new music, berdatangan dari berbagai
negara. Paris, Munchen, Switzerland, Adelaide, Melbourne, Sydney, London,
Genewa, Brussel, New Zealand, dan beberapa kota besar lainnya bukan sekali dua kali menggelar karyanya. Meski
telah menjelma komposer kaliber internasional, Yudane tetaplah orang Bali yang
selalu tampil bersahaja dan memiliki kemauan keras untuk terus belajar.
"Aku
mau ikut megambel karena semua
anggota sekehe mendapat ejotan (upah berupa nasi, sate dan
lawar) selesai menabuh. Agaknya, ejotan
ini yang bisa menghibur hatiku dari ketidaksukaanku bermain gamelan,"
kenang lelaki gondrong ini sembari tertawa.
Ayahnya,
I Nyoman Gebiyuh, seorang ahli pembuat gamelan, bersikeras meminta Yudane untuk
terus berlatih gamelan. Karena menguasai gamelan akan memudahkan jalan diterima
dalam sistem sosial dan keagamaan. Yudane kecil sangat takut dengan ayahnya
yang memang berhati keras dan tak segan-segan main pukul kalau anaknya berbuat
suatu kesalahan. Setelah dipaksa-paksa, dengan hati berat Yudane menuruti
kehendak ayahnya untuk ikut bersama anak-anak lain berlatih gamelan.
Lama
juga ia berusaha melawan ketidaksukaannya terhadap gamelan, dan itu sangat
menyiksa hatinya. Bahkan suatu kali ia pernah meninggalkan sekehe justru pada saat menjelang akan tampil di festival sehingga sekehe kebingungan mencari pemain
pengganti. Hal itu dilakukannya sebagai tanda protesnya terhadap paksaan
ayahnya. Namun ayahnya tidak kehabisan akal. Yudane kemudian dipertemukan
dengan seorang kale (pemimpin group)
yang sangat keras. Di bawah tekanan rasa takut, Yudane akhirnya belajar
menyenangi gamelan.
"Kale itu sangat keras. Kalau salah
memainkan gamelan, pemain bisa dipukul. Tapi anehnya, dari rasa takut dan
tertekan itu aku kok mulai menyenangi
gamelan," ujarnya seraya mengisap dalam-dalam rokok Djarum kesukaannya.
Asap
mengepul-ngepul di beranda rumahnya yang bersahaja di bilangan Jl. Kedondong,
Kaliungu, Denpasar. Sebatang Djarum itu nampak gemetar dalam kepitan jarinya.
Ia memang termasuk perokok berat, apalagi saat sedang dapat inspirasi menggarap
musik, berbatang-batang Djarum akan setia menemaninya.
Kale memang menerapkan
desiplin yang sangat keras dan ketat pada sekehe
dan diri Yudane. Bahkan, Yudane rela bolos sekolah demi latihan gamelan. Namun
tetap saja Yudane kena pukul dan dampratan dari kalenya pada saat ia salah memainkan gamelan. Di rumah, boro-boro membelanya, ayahnya malah
menerapkan disiplin yang lebih keras lagi.. Tempaan dan gemblengan yang ketat
itu akhirnya mengantarnya mahir memainkan aneka alat musik tradisi. Yudane
lahir menjadi seorang penabuh gamelan yang handal dan pernah memperkuat tim
Gong Kebyar Banjar Geladag Pedungan yang legendaris, mewakili kabupaten Badung
dalam festival gong kebyar se-Bali. Beberapa kali sekehenya meraih penghargaan dalam berbagai festival gamelan di
Bali, dan ini tentu saja membuatnya bangga. Menginjak kelas 3 SMP, Yudane telah
menjadi seorang penabuh gamelan yang diperhitungkan, spesialis pemain kendang.
Sejak
merasakan nikmatnya bermain musik (gamelan), kecintaan Yudane pada musik
semakin menggebu-gebu. Maka lulus SMA ia bersemangat melanjutkan kuliahnya di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan musik, namun sayangnya hanya bertahan 4
semester. Separuh waktu kuliahnya habis dipakai nongkrong dan bergaul dengan
seniman bohemian yang banyak gentayangan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Karena
masih memiliki niat kuliah, kemudian ia masuk STSI Denpasar, jurusan Karawitan,
sampai meraih gelar sarjana seni pada tahun 1991. Selain pendidikan formal, ia
juga banyak menyerap pelajaran musik, terutama masalah komposisi pada pemusik
tenar I Wayan Sadra, Komang Astita dan I Ketut Gde Asnawa yang masih satu
banjar dengannya.
Sesungguhnya, kegilaan Yudane menggali
kemungkinan-kemungkinan baru pada musik telah muncul ketika ia masih SMA,
sekitar tahun 1979. Saat itu Yudane pernah iseng mengolah komposisi musik
bernuansa jezz ke nuansa gamelan Bali. Bahkan, ketika masih kuliah Yudane juga
banyak menciptakan komposisi-komposisi yang nyleneh,
sehingga mengundang banyak perdebatan di kalangan akademisi.
Meskipun
telah menciptakan banyak komposisi yang nyleneh
dan aneh, Yudane belum sepenuhnya yakin akan kemampuannya sebagai komposer.
Para pemusik tradisi masih banyak yang mempertanyakan eksistensinya di dunia
musik tradisi. Banyak yang sinis bahwa loncatan Yudane ke arah musik
kontemporer dengan memanfaatkan kecanggihan komputer semata-mata karena
ketidakmampuannya memainkan dan menciptakan komposisi musik tradisi.
"Banyak
yang sinis aku tidak mampu membuat komposisi musik tradisi sehingga lari ke
musik 'yang ngawur-ngawur' (red-musik kontemporer)," kenangnya tentang
serangan pemusik tradisi beberapa tahun lalu.
Yudane
pun merasa tertantang dengan cibiran pemusik tradisi. Selain tekun belajar musik kontemporer, ia pun makin
memperdalam penguasaannya pada musik tradisi, tertutama Gong Kebyar. Hasilnya,
Yudane pernah beberapa kali meraih penghargaan "Adikara Nugraha" dari
Gubernur Bali sebagai Pencipta Komposisi Baru. Dengan pencapaiannya itu, Yudane
membuktikan bahwa musik tradisi bisa berkawan akrab dengan musik kontemporer.
Dan justru karena kelebihannya dalam penguasaan musik tradisi membuat dia kelak
berbeda dengan penganut new music lainnya.
Setelah
merasa cukup puas bergelut dengan musik tradisi, Yudane pun mencoba merambah
musik elektro-akustik yang merupakan bagian dari aliran new music. Sesungguhnya,
keinginannya mendalami musik yang memanfaatkan kecanggihan teknologi komputer
itu telah lama terbit dalam hatinya. Namun apa daya, keinginan hanya sebatas
keinginan. Ia belum memiliki perangkat komputer sebagai salah satu elemen
penting dalam musik elektro-akustik itu. Impiannya baru bisa terwujud pada
tahun 1995 ketika ia berhasil membeli
seperangkat komputer canggih dari hasil menjual mobil bekasnya. Kemudian
sedikit demi sedikit ia mulai mempelajari aplikasi program (software) musik, yang ternyata
memanjakan pemusik untuk menciptakan komposisi musik elektro-akustik yang penuh
dengan berbagai kemungkinan.
Ketekunan Yudane mendalami musik
elektro-akustik membuahkan hasil berupa komposisi pertamanya yang terangkum
dalam album "Laughing Water". Kesuksesan album ini membuka jalan baru
baginya untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia new music. Tawaran pun
berdatangan. Ia pernah diminta menggarap komposisi soundtrack film, karya seni instalasi, teater maupun konser yang
digelar di banyak event bergengsi di beberapa negara.
Tawaran
kolaborasi juga berdatangan dari para pemusik kondang dunia. Ia pernah
berkolaborasi dengan Alex Grillo asal Perancis dan tampil dalam Konser Musik
untuk Reformasi di Yogyakarta tahun 1998. Masih pada tahun yang sama, ia
menghadiri "Kemah Komponis" dan "Temu Musik September" di
Surakarta, Jawa Tengah. Pada tahun 1999 dan 2000, ia tampil di Jakarta dalam
"Konser Mahaswara" bersama 6 komposer Indonesia dan Francois Picard
asal Perancis.
Permulaan
tahun 2000, Yudane berkolaborasi dengan pemusik jazz Paul Grabowsky di
Melbourne, Australia, untuk menggarap soundtrack
The Theft of Sita. Garapan ini ditampilkan dalam berbagai festival seperti
Adelaide Festival, The Theater Formen Festival di Hanover, dan banyak lagi.
Ketika tinggal di Melbourne itu ia kerap diundang sebagai Disc Jockey (DJ) di klub-klub malam. Kesempatan ini secara tidak
langsung digunakan untuk mempromosikan garapan musiknya dengan menyelipkan
diantara piringan musik yang sedang diputar. Ternyata sambutan terhadap
komposisi musiknya sungguh di luar dugaan. Audiens sangat antusias mendengar
garapannya karena merasa aneh di dengar oleh kuping mereka.
Yudane
juga pernah berkolaborasi dengan Cristopher dan Patrick Dasen dari Swiss ketika
menggarap "Bali Bioskop". Soundtrack
elektronik untuk pertunjukan wayang kulit ini berhasil mengguncang panggung La Batie Festival di Genewa, Swiss dan Botanigue Festival di Brussel, September
2000. Hasil kolaborasi ini mendapat sambutan luar biasa karena menampilkan
sebuah komposisi yang 'unik' di kuping para pendengarnya. Berangkat dari
kesuksesan kolaborasi ini, ia kemudian sering mendapat undangan untuk mengikuti
berbagai festival new music.
"Bagiku,
kolaborasi sangat penting untuk terus mengasah kemampuan, saling melengkapi dan
secara tidak langsung belajar pada lawan main kita. Ini penting untuk
meningkatkan kualitas diri," ujar suami dari Robi M. Wellwood, asal New
Zaeland.
Namun,
yang paling membuatnya bangga tentu saja penghargaan Creative Excellence dari Australian
The Age Critic dan penghargaan Best
Music Score dari Australian
Entertainment Industry Association; keduanya pada tahun 2001. Selain itu,
Yudane merupakan komposer Asia pertama yang diundang menggarap sebuah komposisi
radiophonic untuk Radio New Zealand,
berjudul "Crossroads". Dan pada Juli 2003 nanti ia diundang membuat instalasi bunyi
yang akan ditampilkan pada Binale Brisbane. Sejak tahun 2000, Yudane
berkesempatan menjadi Artist-in-residence
di School of Music, Victoria University of Wellington, New Zealand.
*
* *
Mengenai
musik elektro-akustik yang digelutinya, Yudane memaparkan bahwa konsep kunci
musik elektro-akustik terletak pada penyusunan dan penyajian bunyi yang
bersumber pada elektronik dan akustik. Pada saat pementasan, biasanya sumber
bunyi akustik didekatkan pada mikrofon yang kemudian diolah dalam komputer.
Hasilnya adalah getaran-getaran bunyi yang tidak sesuai sumber bunyi aslinya.
Misalnya bunyi kendang yang telah diolah dalam alat elektronik (komputer) tidak
lagi menjadi suara kendang sebagaimana aslinya, tetapi berubah menjadi
getaran-getaran bunyi yang mirip bunyi kendang. Secara filosofis penganut musik
elektro-akustik meyakini bahwa segala sesuatu yang bergetar akan menimbulkan
bunyi, yang kemudian diolah dan disusun lewat elemen-elemen ruang dan waktu.
"Elemen
ruang bermuara pada melodi dan elemen waktu bermuara pada irama. Kedua elemen
ini diolah dengan media elektronik dan akustik," jelas Yudane.
Kemunculan musik elektro-akustik yang
merupakan bagian dari new music tidak bisa dilepaskan dari
sejarah panjang seni musik di Eropa. Yudane memaparkan, musik sebagai kesenian
sesungguhnya dimulai sekitar abad ke-7 di Eropa dengan munculnya musik
Gregorian. Musik jenis ini biasa dipentaskan di gereja-gereja sebagai pengiring
ritual kristiani. Kemudian pada jaman Renaisan (pencerahan di Eropa), musik
semakin memperkuat diri sebagai seni. Ketika jatuhnya budaya feodal sekitar
abad ke-19 di Barat, bisa dikatakan sebagai awal kelahiran musik kontemporer.
Dan pada abad ke-20 di Amerika muncul genre
musik populer yang lebih mengikuti selera pasar dan musik menjelma menjadi
sebuah industri yang sangat menjanjikan.
Namun,
Yudane menegaskan, bahwa musik bukan semata-mata hiburan, tetapi komunikasi
langsung lewat nada-nada kepada pendengarnya. Untuk itu, harus dibedakan secara
tegas musik seni (art music) dan
musik hiburan (pop music). Musik seni
lebih memerlukan perhatian khusus dan kepekaan tersendiri. Sedangkan musik
hiburan sesungguhnya tidak mampu memberi komunikasi apa-apa, oleh karenanya
tidak memerlukan perhatian khusus.
"Musik
hiburan adalah musik yang anti musik karena tanpa makna apa-apa. Bagiku musik
hiburan tidak perlu didengar secara khusus karena tidak mengandung kerja
intelektual apa-apa, selain berfungsi untuk menghibur," ujarnya.
New
music, jelas Yudane, tidak bisa dilepaskan dari kelahiran
world music yang sesungguhnya bermula
untuk melanjutkan gerakan musik sebagai seni, bukan semata sebagai hiburan.
Konsep world music diperkenalkan oleh seorang
musikolog Jerman, George Capellen (1869-1934). World music berkeinginan melawan arus deras industri musik yang
banyak memenuhi pasar dengan musik-musik pop. Namun pada akhirnya world
music juga terjebak dalam bisnis industri musik.
Maka
untuk memanjakan telinga pendengar yang kangen dengan musik bernuansa baru,
banyak komposer melakukan pencurian ide dari khasanah musik etnis suku-suku
pedalaman, seperti Afrika, Maori, Aborigin dll. Mereka disebut mencuri ide
karena mereka tidak pernah mau menyebut sumber asli dari khasanah musik etnis
yang dicomotnya, seakan-akan mereka adalah penemu pertama, padahal struktur dan
instrumen musik itu telah ada bertahun-tahun lampau. Pencurian ide terjadi
berulang-ulang semata-mata disebabkan kepentingan pasar, terutama di Barat,
yang mulai tergila-gila pada world music.
Namun
setelah protes demi protes, akhirnya para komponis mulai mencantumkan sumber
asli penggalan atau potongan unsur musik etnis yang dipakainya. Ini juga
dimaksudkan untuk tidak memandang rendah khasanah musik di luar musik Barat
yang menghegemoni sejarah dan pasar musik dunia. Pada era sebelum world music berkembang, folk music atau musik tradisi masih
didengar dengan sebelah kuping oleh Barat karena dianggap tidak musik, tetapi
sekumpulan bunyi yang eksotis.
New Age Music
kemudian muncul dengan melakukan cross-cultural
pada folk music (musik-musik rakyat)
yang sebelumnya didengar sebelah kuping oleh Barat. Yang membedakannya dengan world
music adalah para pengusung New Age
Music mau menyebut sumber asli dari khasanah musik etnis yang dicomotnya
untuk melengkapi garapan musiknya. Akhirnya karya New Age Music menjadi seperti sebuah karya yang tambal sulam. Namun
ujung-ujungnya, New Age Music juga
terperangkap pada kepentingan pasar yang berkaitan dengan bisnis industri
musik. Misalnya dapat dilihat pada musik Kitaro dan Andreas Vollenweider dengan
album "White Wind"nya.
Ketidakpuasan
terhadap dua aliran besar ini kemudian melahirkan new music yang tidak mau
mengikuti selera pasar. Penganut new music berkeyakinan bahwa musik hanya
untuk musik dan tidak boleh terjebak pada selera pasar. Keyakinan ini yang
kemudian menjadi ideologi penganut new music yang memayungi banyak aliran
musik seperti musik minimalis, musik kongkrit, musik abstrak, musik
elektro-akustik dan sebagainya. New music
lebih menekankan pada komunikasi, nilai-nilai baru, rasa baru, dan kalau bisa
menemukan hal-hal yang baru baik pada struktur musical maupun elemen musiknya.
Para pengusung new music selalu berupaya memberontak pada
tatanan yang sudah baku dan mapan sehingga berpotensi dihantam, dikritik oleh mereka
yang tidak sepaham.
"Namun tolong dibedakan musik eksperimen
dengan new music, karena eksperimen
masih merupakan bahan mentah yang bersifat mencoba-coba sedangkan new
music telah mempunyai ideologi bermusik yang jelas, yaitu musik untuk
seni," jelasnya.
Ia
menegaskan, bergelut dalam new music tidaklah menjanjikan keuntungan
ekonomis. Hampir sembilan puluh persen penganut new music tidak bisa hidup
hanya dari mengandalkan garapan musiknya. Para pengusung new music lebih mengacu pada
nilai-nilai idealis pada karya-karya yang digarapnya. Untuk mencukupi kebutuhan
hidup, mereka lebih banyak nyambi
menjadi pengajar musik di sekolah-sekolah musik yang banyak bertebaran di luar
negeri, mengikuti berbagai festival, dosen tamu, menggarap proyek-proyek tertentu
atau hidup dari founding dengan menggarap proyek-proyek musik.
"Bagi
mereka musik adalah untuk musik, bukan untuk memenuhi selera pasar, walaupun
album mereka ada saja yang diminati pasar," ungkap Yudane.
Para
penganut new music jarang mau berkompromi pada
hal-hal di luar musik, mereka suntuk memfokuskan diri pada musik. Dan mereka
juga sangat selektif pada undangan-undangan tampil, karena tidak semua event
menarik sesuai dengan ideologi new music. Mereka tidak mau berhenti hanya
pada musik yang eksotis saja, tetapi bagaimana menciptakan musik yang bisa
didengar oleh telinga semua orang.
"Pemusik
harus memiliki ideologi bermusik yang jelas agar tidak terjebak meladeni selera
pasar," tukasnya.
Kemudian
bagaimana halnya dengan pemusik di Indoensia? Yudane mengeluhkan banyak pemusik
Indonesia yang berbakat besar namun jarang muncul di tingkat internasional.
Menurut Yudane hal ini mungkin
disebabkan karena komposer Indonesia terlalu cepat merasa puas pada apa yang
telah dicapainya. Yudane menyayangkan kebanggaan pemusik Indonesia hanya
sebatas pada kelengkapan perabot (instrumen) musiknya.
Dalam
kaitannya dengan musik kontemporer, ia juga melihat orang berani di Bali
banyak, namun mereka jarang mau mengasah pedang untuk persiapan pertempuran.
Umumnya mereka akan mulai mengasah pedang pada saat pertempuran sudah ada di
depan mata. Pemusik hendaknya seperti samurai yang setiap hari mengasah
pedangnya karena sadar akan pilihan hidupnya.
"Jarang
yang mampu menggali ide-ide baru. Hal itu jelas sekali terlihat pada saat
pementasan, dan bagi mereka yang lihai akan tahu mana musik yang ada ilmunya
atau yang sekadar kotak-katik untuk melampiaskan keisengan saja. Resikonya
menjadi anonim, tanpa identitas yang jelas," kata Yudane.
Lembaga yang paling bertanggung jawab dalam
kemajuan seni di Bali, khususnya musik, tentulah ISI Denpasar. Yudane pun
mengakui bahwa sistem pengajaran di ISI Denpasar tidak jelas arahnya.
"Sistem
pendidikan di ISI Denpasar masih meguru
panggul. Mahasiswa hanya disuruh praktek dengan alat-alat musik yang telah
disiapkan, sedangkan ide, konsep dan teori bisa belakangan. Hasilnya mahasiswa
kebingungan sendiri. Sedangkan di Barat kebalikannya, mahasiswa terlebih dulu
diperkenalkan dengan teori-teori, konsep terkini dan selalu ada ajang memperdebatkan
ide-ide, sebelum membuat garapan," ungkapnya. Namun, ia buru-buru
mengingatkan tidak semua yang dari Barat adalah kebenaran.
Tapi, pada dasarnya Timur dan Barat, bukanlah
masalah bagi Yudane, bagi penganut new
music. Keduanya bukan semata-mata untuk dibandingkan, tetapi cenderung
untuk disandingkan. Begitulah, hari ke hari, ia terus setia mengolah sunyi
menjadi bunyi, menegaskan jati dirinya. ***
No comments:
Post a Comment