Labels

Saturday 24 December 2011

Entitas Mengritisi Bali

- Tulisan di Katalog Acara  "Entitas Nurani # 2" yang berlangsung di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, 23 Desember 2011 hingga 6 Januari 2012 -


Oleh : Wayan ‘Jengki’ Sunarta


Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
…….
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan
 
(Sajak Pulau Bali, WS Rendra, 23 Juni 1977)


(Made Kaek, Gubernur Bali Mangku Pastika, dan Wayan Redika saat pembukaan pameran)
Dalam acara pembukaan “Entitas Nurani #1” yang digelar tanggal 31 Mei 2008 di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, Made Mangku Pastika menorehkan komitmennya di sebidang kanvas: “Strategi budaya harus menjadi acuan dalam menuju Bali Mandara: Maju, Aman, Damai, Sejahtera.” Komitmen ini adalah salah satu jargon andalan yang dilontarkan Mangku Pastika dalam upaya politik pencitraan, yang tujuannya tentu meraup dukungan masyarakat seluas-luasnya. Sejarah kemudian mencatat, Made Mangku Pastika dinobatkan sebagai Gubernur Bali lewat sistem pemilihan langsung.

Seperti biasa, masyarakat Bali menaruh begitu banyak harapan dan impian di pundak dan benak gubernur yang baru terpilih. Tidak hanya harapan dan impian dari kalangan seniman dan budayawan, melainkan juga dari industri pariwisata, lembaga pendidikan, lembaga adat, pers, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan Bali. Sementara itu, harapan dan impian rakyat jelata mungkin dianggap angin lalu, sebab tak memiliki akses langsung pada jejaring kekuasaan.

Pencitraan merupakan upaya-upaya kuno yang hingga kini masih dipratekkan manusia untuk berbagai kepentingan dan kekuasaan. Selain itu, pencitraan selalu berkaitan dengan konspirasi yang melibatkan banyak elemen. Jargon “Bali Mandara”, misalnya, tak jauh berbeda dengan jargon “Bali Pulau Surga”. Yang ditonjolkan selalu fantasi-fantasi Bali yang indah, eksotis, tentram sentosa, gemah ripah loh jinawi, seakan tak ada persoalan gawat yang terjadi. Pencitraan semakin membuat masyarakat Bali terlena. Sebab, kenyataan yang terjadi begitu jauh berbeda dengan jargon yang didengungkan, yang melahirkan gambaran yang paradoks dan kontradiktif.

Suatu kali, saya membuat status di Facebook: “Apakah Bali masih layak disebut Pulau Surga? Atau telah menjadi Pulau Neraka?” Ternyata komentar yang muncul sungguh beragam, baik dari orang yang sudah pernah melancong ke Bali maupun yang belum. Kebanyakan menganggap Bali adalah Pulau Surga, dengan keindahan alam yang memikat, kesemarakan seni budaya adiluhung, perilaku yang ramah tamah dan sopan santun. Namun, ada juga beberapa komentar yang berupaya mengritisi Bali, terutama persoalan sampah, kriminalitas, kasus sosial, budaya, dan sebagainya.

Sebelum dicitrakan sebagai Pulau Surga, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Bali sebagai salah satu pulau primitif, barbar dan biadab. Kebarbaran dan kebiadaban itu tercermin dari berbagai ritual yang menggunakan daging dan darah hewan kurban (seperti ritual nyambleh, tabuh rah), pemakan daging mentah dan peminum darah (tercermin dari masakan lawar, komoh), janda-janda raja yang bunuh diri di dalam kobaran api (ritual mesatya), perampasan dan perampokan kapal-kapal dagang yang karam (dengan istilah Hak Tawan Karang), perdagangan budak dan opium terbesar, perang puputan yang lebih menyerupai bunuh diri massal, pusat ilmu sihir (leak, dukun), perempuan telanjang dada, dan sejumlah citra primitif lainnya. 

Perang Puputan yang terjadi silah berganti di awal abad ke-19, membuat citra Pemerintah Kolonial Belanda tercoreng. Eropa mengecam Perang Puputan itu sebagai ladang pembantaian, Untuk memulihkan citranya, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian membuat citra baru, mempropagandakan dan mempromosikan Bali sebagai Pulau Surga. Melalui perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninkklijk Paketvarrt Maatschapij), Bali dipropagandakan sebagai daerah tujuan wisata yang unik dan eksotis. 

Revolusi mesin cetak semakin menyemarakkan pencitraan Bali sebagai bagian dari Mooi Indie. Brosur, poster, kartu pos, perangko, buku, foto, dan film yang mencitrakan Bali sebagai Pulau Surga tersebar di belahan benua Eropa dan Amerika. Turis dan seniman berbondong-bondong melancong ke Bali. Mereka ingin menyaksikan langsung perempuan telanjang dada, teater dan tari yang eksotis, keindahan pegunungan, persawahan dan pantai yang permai. Sejak itu, Bali menjadi daerah tujuan wisata yang paling diminati. Para penulis dan fotografer Eropa dan Amerika secara simultan turut andil mencitrakan Bali sebagai Pulau Surga, seperti Covarrubias, Gregor Krause.

Begitulah. Pencitraan Bali sebagai Pulau Surga merupakan salah satu warisan Pemerintah Kolonial Belanda yang hingga kini masih terus dilestarikan dan dikembangkan oleh Pemerintah Bali melalui Dinas Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Pencitraan ini membuat Bali bergelimang dollar, turut andil mendongkrak devisa negara, konon mampu memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat Bali. 

Memang harus diakui, melalui industri pariwisata beberapa gelintir daerah di Bali menjadi makmur, seperti Ubud, Sanur, Nusa Dua, Kuta, Tuban, Amed, Lovina. Namun, kemakmuran itu tidaklah merata. Sebab masih banyak daerah di Bali yang menderita kemiskinan, miskin materi, miskin pendidikan, dan tak tersentuh gebyar pariwisata. Bahkan ada beberapa wilayah di Karangasem yang belum terjamah listrik, misalnya Kedampal di lambung Gunung Agung. 

Kemajuan industri pariwisata Bali lebih banyak dinikmati para investor dan konglemerat (pemilik modal) yang berasal dari luar Bali, bahkan luar negeri. Orang Bali sendiri kebanyakan menjadi kuli di dalam industri pariwisata itu. Sembilan puluh sembilan persen dari masyarakat Bali belum bisa merasakan lezatnya kue pariwisata. Angka pengangguran makin meningkat. Sogok menyogok untuk diterima jadi PNS sudah menjadi rahasia umum. Bantuan-bantuan dana untuk kepentingan masyarakat, termasuk untuk kegiatan seni dan budaya, disunat oleh oknum-oknum pejabat pemerintah yang doyan korupsi.

Para pemegang kekuasaan dan kebijakan yang berkepentingan dengan pariwisata Bali selalu menggembar-gemborkan upaya-upaya pelestarian seni dan budaya Bali sebagai aset terpenting pariwisata Bali selain keindahan alamnya. Namun pada saat yang sama terjadi perusakan dan penghancuran besar-besaran terhadap tata ruang, alam, seni dan budaya Bali. Kerusakan dan dekadensi ini dianggap sebagai imbas negatif pariwisata dan pengaruh buruk globalisasi, tanpa upaya-upaya yang signifikan untuk memperbaiki keadaan.

(karya Nyoman Erawan)
Ironisnya,  demi industri pariwisata, seluruh komponen masyarakat Bali terus menerus dihimbau  untuk bersatu padu menjaga citra pariwisata Bali. Misalnya, dengan melestarikan seni budaya, gerakan Baliseering, melestarikan alam, Go Green, Ajeg Bali, Branding Bali, Nindihin Bali, Bali Mandara, dan berbagai slogan serta jargon lainnya. Kampanye dan propaganda pemulihan citra pariwisata Bali, pasca tragedi bom Kuta, terus menerus digencarkan, melibatkan lembaga-lembaga pariwisata, pemerintah, swasta, media massa, perangkat adat, dan sebagainya. 

Tragedi Bom Kuta membuka mata dunia bahwa Bali Pulau Surga hanyalah fantasi. Bali telah banyak berubah. Bali makin tidak aman. Dan tidak sedikit turis yang mengeluh melihat kenyataan yang terjadi di Bali, seperti kasus kriminalitas, kemacetan, sampah, dan sebagainya. Dan, banyak turis yang merasa dibohongi dengan pencitraan-pencitraan yang terlalu berlebihan terhadap Bali. Angka kunjungan wisatawan pun sempat mengalami penurunan yang signifikan yang membuat banyak pihak di dalam industri pariwisata panik.

Namun, dengan kecanggihan teknologi, pencitraan Bali sebagai Pulau Surga atau Pulau Dewata terus menerus diproduksi hingga kini, baik melalui brosur-brosur dan buku pariwisata, film, video clip, foto, kartu pos, media massa (majalah pariwisata), internet (web site, facebook), dan sebagainya. Demi meraup keuntungan yang lebih besar, komponen-komponen pariwisata “bergotong royong” menampilkan Bali dalam frame Mooi Indie. Dunia kembali dicekoki oleh bayangan Bali yang indah dan molek, Bali dengan seni dan budaya adiluhung, sawah-sawah terasering hijau permai,  pantai yang asri, ombak yang aduhai, hutan yang lebat, gunung yang anggun, perempuan-perempuan seksi berkebaya, pura yang meruapkan wangi dupa, tari-tari yang eksotis dan gemulai, dan sebagainya. Citra-citra Bali yang Mooi  ini kembali membuat para wisatawan mancanegara bergairah untuk melancong ke Bali. Orang-orang luar Bali berlomba-lomba meraup rejeki dan mengadu peruntungan di Bali. Tak ketinggalan para cukong dan konglemerat dengan sigap mencaplok setiap peluang yang ada di Bali. 

(karya Ari Winata)
Citra-citra Mooi Bali itu bertabrakan dengan realitas yang terjadi di Bali. Tanah-tanah tepi pantai, tepi sungai dan tebing nyaris ludes disulap jadi hotel, restaurant, villa dan bungalow. Para wong samar, tonya, memedi, dedemit, jin, harus rela tergusur dari sarang mereka. Kawasan jalur hijau disulap jadi bangunan ruko (rumah toko) dan kafe. Persawahan dikavling-kavling untuk perumahan. Kawasan hutan lindung banyak yang gundul, karena pohonnya ditebangi, kayunya dicuri dan dijual secara illegal. Begitu pun kasus penggalian dan pencurian pasir pantai makin marak.


Di kawasan kota, seperti Denpasar dan Kuta, kemacetan semakin memprihatinkan. Jalan-jalan yang sempit tak mampu menampung jumlah kendaraan yang makin membludak. Kemacetan makin diperparah dengan proyek-proyek perbaikan pipa air, kabel, saluran limbah, serta kerusakan jalan. Pasar rakyat berhadapan dengan hypermarket, warung-warung bersaing dengan Circle K, MiniMart. Sampah plastik, limbah rumah tangga, pabrik dan hotel mencemari saluran-saluran irigasi, sungai-sungai dan pantai. 

Dalam bidang sosial, budaya, agama juga terjadi kegoncangan. Pratima dan benda sakral di sejumlah Pura dicuri,  justru oleh orang Bali sendiri, dan dijual sebagai barang antik. Persoalan batas desa/banjar, rebutan tanah kuburan, sengketa tanah pelaba pura, rebutan lahan parkir, sanksi adat yang melanggar HAM, polemik tata ruang dan aturan ketinggian bangunan, pergolakan partai politik, korupsi, keculasan oknum pejabat pemerintah, seringkali menjadi berita hangat di media massa. Bahkan, tak jarang, persoalan-persoalan ini menimbulkan korban jiwa dan harta benda. 

Begitu pula dengan  bidang kesenian. Batas antara sakral dan profan semakin tipis. Ritual sakral dengan mudah dipermak untuk hiburan bagi para turis. Misalnya, ritual Makare-kare di Desa Tenganan, Karangasem, dijadikan daya tarik pariwisata dan dikemas dalam brosur yang memikat. Seniman-seniman tradisional dibayar murah, diangkut dengan truk layaknya sapi, dipentaskan di hotel-hotel berbintang. Penari-penari joged bumbung makin berani menampilkan atraksi vulgar, seperti bergoyang sambil mempertontonkan selangkangan. Semua bisa dikemas demi pariwisata. Demi pariwisata pula, Bali dieksploitasi habis-habisan.

Budaya agraris dan maritim bergeser menjadi budaya urban dan kosmopolitan. Pergeseran ini mencuatkan berbagai konflik. Terjadi benturan antara agama, tradisi, budaya di satu kubu dengan kubu lain berupa ekonomi (kapitalisme) dan gaya hidup perkotaan (urban, kosmopolitan). Manusia Bali kebingungan berada di persimpangan jalan. Kebingungan antara upaya-upaya mempertahankan dan menjalankan nilai-nilai tradisi dan godaan globalisasi. 

Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyak persoalan dan kenyataan yang terjadi di Bali. Namun hingga kini di benak banyak orang, Bali masih tercitrakan sebagai Pulau Surga. Bahkan, citra itu telah melenakan orang Bali sendiri sehingga kurang peduli dengan berbagai persoalan yang menimpa tanah kelahirannya. 

Ketidakpedulian, kurangnya sikap kritis terhadap Bali, juga merambah benak banyak perupa Bali. Pelukis-pelukis lulusan perguruan tinggi seni, misalnya, kebanyakan memilih jalan aman dan nyaman sebagai “pengerajin” lukisan. Sehingga karya-karya yang hanya mengejar keindahan, “made to order”, dan berbau turistik mendominasi seni rupa Bali. Karya-karya yang lahir dari fantasi ini turut andil mengekalkan kebohongan tentang Bali. 

Di Bali, idealisme berkesenian menjadi “barang langka”. Tak mudah mencari perupa Bali yang peka terhadap berbagai persoalan yang menimpa Bali dan mengekspresikannya secara intens ke dalam karya. Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dan asyik meladeni selera pasar. Sibuk mengorek estetika yang formalistik, namun melupakan eksplorasi gagasan dan konten karya. Pendek kata, mereka asyik masyuk masturbasi dengan estetika, dan melupakan berbagai persoalan yang bersliweran di depan hidungnya. 

Setelah cukup lama sibuk menggali identitas ke-Bali-an, dibuai dan dibui selera/trend pasar seni rupa, kini saatnya harus muncul gerakan baru di Bali. Suatu gerakan yang berani melawan arus, yang mampu bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang terjadi di Bali, yang berani melawan kebijakan-kebijakan yang timpang dari kekuasaan. Suatu gerakan seniman yang cerdas dan memiliki gagasan bernas, yang mampu beropini, baik melalui karya maupun lewat forum-forum diskusi dan media massa (media cetak maupun internet). Sebuah gerakan seniman yang terus menerus mengritisi berbagai persoalan di Bali.

Komitmen Gubernur Bali yang menggunakan strategi budaya (di dalamnya termasuk kesenian) untuk “Bali Mandara” perlu kembali dikritisi. Misalnya, apakah kreativitas berkesenian telah terakomodasi lebih baik? Apakah telah tersedia anggaran dana yang cukup untuk memajukan seni dan budaya, dan sampai dengan selamat kepada yang berhak, tanpa sunatan atau potongan ini-itu? Apakah seni dan budaya hanya menjadi pelengkap penderita atau “barang dagangan” yang dijual demi kepentingan industri pariwisata? Contoh yang paling nyata, misalnya, Taman Budaya Bali, apakah telah mampu mewadahi kegelisahan seniman di Bali? Apakah Taman Budaya Bali telah menyediakan diri sebagai dapur kreatif bagi seniman di Bali? Atau, hanya sebatas menjadi ajang Pesta Kesenian Bali? Ke depan, Taman Budaya Bali, harus membuka diri selebar-lebarnya untuk berbagai bentuk kegiatan seni dan budaya. Taman Budaya Bali harus mampu menjadi “rumah” bagi kegelisahan kreatif para seniman.

Kegiatan “Entitas Nurani #2” merupakan suatu upaya untuk menggedor pintu kesadaran jajaran pejabat pemerintah di Bali. Tanpa seni dan budaya, Bali hanyalah pulau biasa. Kesenian bukan untuk dijual layaknya komoditi. Fungsi terpenting kesenian adalah untuk membuka kesadaran nurani, bahwa dengan menghayati kesenian manusia lebih mampu mangasah kepekaan kalbu. Termasuk peka terhadap berbagai persoalan yang terjadi di Bali. Sebab, kesenian bukan hanya urusan pencapaian keindahan (estetika), melainkan juga sebagai entitas gerakan penyadaran. Kesenian adalah wahana bagi seniman untuk bersikap kritis, tidak hanya terhadap estetika kesenian, melainkan juga terhadap permasalahan-permasalahan dan isu-isu yang berkembang di tanah kelahirannya.***



               





1 comment:

  1. hm, *hela napas dulu*
    bukan pekerjaan mudah, berkesenian sebagai kontrol sosial, namun bukan bermaksud pesimis, selama ini mereka yg bergelut di bidang seni benar adanya seperti yg dipaparkan diatas,semua elemen harus berkontribusi,jika ingin mengubah keadaan,termasuk saya dan bli jengki :)

    ReplyDelete