Labels

Monday 30 January 2012

Membaca Mindscape S.Teddy D



Oleh : Wayan Sunarta

S. Teddy D. adalah salah satu perupa kontemporer Indonesia yang selalu gelisah mengritisi dan mengeksplorasi persoalan-persoalan sosial, politik, ekologi, bahkan perang. Pada masa “Orde Baru” dia juga banyak membuat karya yang berisi sindiran terhadap kekuasaan. Pada tahun 2009, lewat pameran parodinya yang cukup fenomenal bertema “Love Tank” di Museum Nasional Singapura, dia menyindir dan mengritisi perang yang terjadi di banyak belahan dunia.

Perupa yang lahir di Padang, 25 Agustus 1970 ini pernah dikenal sebagai seniman underground, hidup di jalanan, suka mabuk, anti kemapanan dan sebagainya. Namun kini seiring bertambahnya usia, kehidupan Teddy menjadi lebih tertib, yang ternyata juga berimbas pada karya-karya mutakhirnya. Sebagian besar karyanya juga menjadi lebih “tertib”, lebih kompromis.  Meski sesekali masih bisa ditemui riak-riak keliaran dan pemberontakan pada beberapa karya terbaru yang dipamerkannya di Kendra Gallery, Basangkasa, Seminyak, Kuta, Bali, sejak 28 Desember 2011 hingga 28 Januari 2012.

Kurator pameran, Jim Supangkat, lewat tulisan di katalog menerangkan bahwa pameran bertema “Mindscape”  ini didasarkan pada pengalaman bawah sadar Teddy yang merasakan kepalanya membesar terus menerus hingga tak mampu dikendalikannya. Sementara itu, mindscape sendiri adalah istilah yang dipakai (alm) Omi Intan Naomi untuk menggambarkan pengalaman bawah sadar Teddy yang mirip mimpi atau semacam halusinasi. Teddy sendiri menganggap bahwa pengalaman yang mirip mimpi ini adalah pertanda datangnya semacam kesadaran baru, terutama untuk proses kreatifnya.

Pameran ini menyuguhkan sejumlah karya lukis Teddy yang menggambarkan figur manusia cebol dengan kepala besar, manusia yang tak proporsional secara fisik, menyerupai mahkluk alien. Bahkan ada figur manusia cebol yang berkaki-ekor ikan. Secara umum, figur-figur manusia ciptaan Teddy ini mengingatkan saya pada patung-patung primitif yang sengaja dibuat kasar dan tak proporsional, namun mengandung aura magis. Mungkin inilah representasi pengalaman bawah sadar Teddy yang merasakan dirinya menjadi manusia cebol dengan kepala yang terus menerus membesar. Selain lukisan, Teddy juga menampilkan karya seni instalasi bernuansa metaforis berjudul “Food Finding, Being Eaten” yang mengisahkan segerombolan ikan besar dan kecil terbuat dari alumunium berenang mencari makan.

Seperti pengakuan Teddy dalam tulisan yang mirip “kredo” di katalog pameran, melukis bagi Teddy adalah memusatkan pikiran atau menganalisa sebuah masalah, baik masalahnya sendiri atau masalah di luar dirinya. Karya-karya seni rupanya sarat dengan semangat parodi yang mengandung ironi, satire, atau kritik terhadap diri sendiri maupun berbagai fenomena yang mengusik perhatiannya. Dia melukis sesuka hatinya, karena dia menikmati proses melukis itu sendiri. Dalam banyak karyanya terjadi pergumulan antara imajinasi, fantasi, ilusi dan realitas. 

Pada beberapa karya yang dipamerkan Teddy kali ini, misalnya, kita masih bisa merenungi muatan yang ingin disampaikannya, baik melalui visual figuratif maupun simbol-simbol yang metaforis. Visual figuratif yang ironis itu, misalnya, bisa dilihat pada lukisan berjudul “Smile, Smile into the Bone” (2011, oil on canvas, 240 x 85 cm) yang menampilkan seorang perempuan cebol tersenyum lebar duduk anggun di atas sebongkah tengkorak. Atau, pada lukisan “Stylish” (2011, oil on canvas, 240 x 85 cm) yang menampilkan seorang lelaki cebol dengan kepala gundul sedang berdiri santai sambil menyilangkan kaki, namun leher lelaki itu dililit rantai dengan bandul menyerupai kepala manusia. Dua lukisan bernada satir ini jelas ditujukan untuk mengritisi situasi sosial yang penuh dengan ironi. Ada manusia yang tersenyum lebar di atas penderitaan atau kematian orang lain. Ada pula manusia yang suka pamer gaya, namun kebebasannya dirantai. 

Karya-karya Teddy yang bernuansa metaforis bisa dinikmati pada lukisan berjudul “Megaphone” (2011, oil on canvas, 100 x 100 cm), “Stay Connected” (2011, acrylic and charcoal on canvas, 150 x 100 cm). Dua lukisan Teddy ini berbeda dengan lukisan-lukisan yang berkisah tentang manusia cebol dengan kepala besar. Pada lukisan “Megaphone”, Teddy menampilkan megaphone yang telah dimodifikasi, lubang corong berbentuk kepala manusia dengan kuping besar dan gagang berbentuk gagang senapan mesin lengkap dengan pelatuknya. Pada lukisan “Stay Connected”, di sebidang warna hijau terlihat dua kursi berdampingan dengan sandaran berbentuk kuping besar. 

Dua lukisan ini menggunakan kuping sebagai metafora untuk mengritisi situasi mutakhir di berbagai lini kehidupan, dimana orang lebih banyak bicara ketimbang mendengar. Memang, di negeri kita ini telah lama terjangkiti penyakit sulit “mendengar”. Yang banyak muncul adalah kerakusan untuk “berbicara”, terutama berbicara yang tak perlu.***




No comments:

Post a Comment