Labels

Saturday 6 October 2012

“Salvation of the Soul” Nyoman Erawan


Oleh Wayan Sunarta*


Malam itu, 26 Agustus 2012, halaman Tonyraka Fine Art Gallery, Mas, Ubud, Bali, dipenuhi seratusan lebih orang dari berbagai profesi. Tampak hadir sejumlah perupa, kurator, musisi, film maker, penari, kolektor, wartawan, sastrawan, fotografer, dan para pecinta seni. Pikiran mereka seakan disedot oleh “Salvation of the Soul”, sebuah gebrakan mutakhir perupa Nyoman Erawan dalam kancah seni rupa yang carut marut ini. Banyak yang bertanya-tanya, apa gerangan yang akan ditampilkan dalam performance art pembukaan pameran, dan karya-karya terbaru macam apa yang dipamerkan Erawan, setelah sekian tahun menghilang ditelan hiruk pikuk seni rupa tanah air.


Malam itu, di hadapan seratusan lebih hadirin, Erawan menggoreng wajah. Dalam aksi performance art-nya kali ini, dia membuat sejumlah replika wajahnya sendiri. Layaknya juru masak profesional, dibantu tiga asisten dia mengolah adonan tepung warna-warni yang biasa digunakan untuk membuat kue. Adonan itu kemudian dimasukkan dan dicetak di dalam wadah logam berbentuk topeng wajah Erawan. Sekian menit kemudian, satu per satu cetakan wajah Erawan selesai dibuat, dan kemudian digoreng di dalam wajan besar, mirip seperti menggoreng pisang goreng. Layaknya acara masak memasak di televisi, di sela-sela membuat cetakan wajah dan menggoreng, Erawan diwawancarai oleh moderator acara, perihal konsep performance art-nya itu. Moderator juga mewawancarai beberapa tokoh yang hadir perihal pandangan mereka terhadap kesenimanan Erawan. Moderator mengemas wawancara itu dalam suasana “sersan”, serius-santai.

Wajah-wajah yang siap saji itu kemudian ditaruh dengan gerakan teaterikal di atas meja-meja kecil dan nampan berisi tepung beras. Tak selesai sampai di situ. Di bawah cahaya lampu warna warni, Erawan yang tadinya banyak bercanda dalam sejumlah sesi wawancara dengan moderator, kini mulai tampak serius. Dia menari-nari di sela-sela meja kecil, memainkan musik dari perkakas memasak, mengigaukan mantra tak jelas, menarikan satu per satu topengnya dan memainkan serbuk tepung. Di bawah cahaya temaram, Erawan tampak mistis dalam balutan jubah putih dan kepala botak bertorehkan tapak dara, simbol tolak bala Hindu-Bali. 

“Ritus Wajah Digoreng-goreng” itu adalah performance art terbaru Nyoman Erawan, perupa yang selama ini dikenal banyak melahirkan seni instalasi, performance art dan happening art, yang selalu memadukan ikon dan nilai tradisional Bali dengan ikon-ikon kontemporer.  Dalam performance art-nya kali ini, Erawan secara simbolik melakukan autokritik dan melancarkan kritik pada berbagai fenomena goreng-menggoreng dan kasus-kasus pemalsuan lukisan yang mewabah dalam jagad seni rupa Indonesia. Autokritik dan kritik ini merupakan bagian dari proses pembebasan jiwa Erawan, yang selalu merindukan kemurnian dalam berkesenian. Sebab baginya, kesenian yang terkontaminasi berbagai kepentingan praktis dan pragmatis, selalu tidak akan pernah sampai pada hakikat kesenian itu sendiri.

Selain performance art, Erawan juga memamerkan beberapa seni instalasi, video art, sketsa, dan sejumlah lukisannya dari periode awal hingga yang terkini. Dalam pameran yang berlangsung hingga 16 September ini, para apresian bisa menyaksikan perkembangan kesenimanan dan totalitas Erawan dalam berkesenian. Erawan yang dilahirkan di Sukawati, 1958, adalah sosok seniman yang multi talent dan tak pernah berhenti mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan medium baru dalam berkesenian. 

Sebagai contoh, lukisan-lukisan terbarunya, seperti serial “Fathoming Cosmos” (2012) menunjukkan perkembangan mutakhir dari proses kepelukisan Erawan sejak lima tahun terakhir. Dari abstrak ekspresionisme yang merupakan ciri khas awal karir kepelukisannya, kini dia merambah ke perpaduan abstrak ekspresionisme dan figurative. Metode kerjanya pun berbeda. Dulu, dalam melukis, Erawan lebih mengutamakan kecerdasan intuitif yang mewujud dalam pilihan warna, cipratan dan lelehan cat, tarikan garis, takikan tekstur. Kini, dia memadukan kecerdasan intuitif dengan kecanggihan teknologi, misalnya menggunakan alat bantu foto dan proyektor, sehingga memunculkan kesan tiga dimensi dalam banyak lukisan terbarunya.

Erawan sengaja menampilkan lukisan-lukisan periode awal hingga terkini, yang tentu saja berbeda gaya dan metode kerja, dengan maksud menunjukkan kepada publik perkembangan dari proses berkeseniannya yang panjang. Baginya, menjadi seniman haruslah terus tumbuh dan berkembang, setidaknya untuk ukuran dirinya sendiri. Meski Erawan pernah dicaci maki dan dicap sebagai salah satu biang hegemoni gaya abstrak ekspresionisme dalam pameran “Mendobrak Hegemoni” tahun 2001 yang digelar Kamasra STSI Denpasar, dia tetap rendah hati dan selalu berhasrat untuk melawan kemandekan dan kemacetan kreativitas.

Pada saat pembukaan pameran, alumni ISI Yogyakarta dan anggota senior Sanggar Dewata Indonesia (SDI) ini juga meluncurkan sebuah buku mewah dwi bahasa (Indonesia dan Inggris) yang memuat foto-foto karya dan proses kreatif berkeseniannya. Buku bertajuk “MUKTI: Salvation of the Soul” itu ditulis oleh kurator pameran, Rizki A Zaelani dan I Wayan Seriyoga Parta. Dalam ajaran Hindu, Mukti berarti penyucian jiwa, kesadaran memaknai kehidupan abadi dan kefanaan. Moksa semasa hidup disebut “Jiwan Mukti”, diraih dengan cara membebaskan diri dari keterikatan duniawi, mengatasi suka-duka, bekerja (berkesenian) dengan ketulusan kasih demi keselamatan dunia. Filosofi “Jiwan Mukti” inilah yang mendasari proses berkesenian Erawan.

Jika “Salvation of the Soul” dimaknai sebagai moksa, semoga pameran akbar yang cukup banyak menyedot perhatian apresian ini bukan menjadi pameran terakhir Erawan. Publik seni rupa masih akan menunggu gebrakan-gebrakan berikutnya.


*penulis adalah sastrawan dan pemerhati seni rupa.


No comments:

Post a Comment