Labels

Wednesday 28 November 2012

Perjuangan Melawan Lupa


Oleh : Wayan Sunarta

Suatu hari, seseorang mengirimi saya anggrek dalam pot. Angrek itu belum berbunga, masih kuncup. Orang misterius itu juga mengirimi saya sebuah buku, berjudul “Memory: Trik Jitu Meningkatkan Daya Ingat” karangan S. Hagwood. Kiriman itu diterima oleh Ibu saya. Saya bertanya siapa yang mengirim? Ibu saya menjawab tidak tahu. Di amplop coklat yang berisi buku tak ada identitas pengirim. Tak juga ada tanda tangan si pengirim di buku itu. Jelas, orang misterius itu mengupah kurir untuk mengirimnya.


Tak berapa lama, seseorang mengirimi saya pesan singkat lewat ponsel. Isinya kira-kira begini, “jika kau tak sudi mengingatku, tolong ingatlah selalu apa yang kukirimkan untukmu. Tolong kabari aku jika kuncup anggrek itu berbunga.” Setelah membaca pesan itu, akhirnya menjadi jelas identitas si pengirim anggrek dan buku itu. Si pengirim menginginkan saya selalu mengingatnya melalui dua simbol yang diberikan, buku yang berkaitan dengan memori (ingatan) dan anggrek yang mengungkapkan perasaannya. Saya berpikir, si pengirim ini termasuk cerdas, dan cenderung obsesif untuk selalu ingin diingat dan dikenang. Saya terharu dengan jerih payahnya. Saya memutuskan untuk menyimpan anggrek dan buku itu.

Tiba-tiba saya kembali teringat pernyataan Milan Kundera dalam novelnya The Book of Laughter Forgetting, bahwa perjuangan manusia adalah melawan lupa. Bahwa manusia mudah lupa, dan juga mudah dikelabui oleh ingatannya. “Manusia harus selalu berjuang melawan lupa jika tak ingin dikuasai penguasa,” ujar peraih Nobel Sastra kelahiran Ceko, 1929 itu. 

Lalu, siapakah penguasa yang disebut oleh Kundera? Bagi saya, penguasa bisa siapa saja. Bisa pemerintah, investor, politikus, iklan, reklame, media massa, internet, simbol-simbol tertentu, dan sebagainya. Setiap manusia berpotensi menjadi penguasa atas manusia lainnya. Setiap ingatan juga berpotensi menjadi penguasa atas ingatan lainnya. Saya merenung, apakah si pengirim anggrek dan buku itu, ingin menguasai saya? Ataukah, dia hanya ingin, saya selalu ingat padanya, meski dia tak mampu menguasai saya? Entahlah.

Sesungguhnya, melawan lupa adalah perjuangan manusia seumur hidupnya. Di tengah kepungan dan jejalan informasi yang datang bertubi-tubi dari berbagai arah, kita cenderung mudah lupa terhadap banyak hal. Misalnya, ketika hanyut dalam obrolan tak penting di facebook, kita lupa menyelesaikan pekerjaan kita di kantor. Ketika larut dalam cinta romantis dan picisan, kita lupa bahwa hidup adalah kenyataan, dan cinta bisa saja menjadi patah kalau tak dirawat. Kita mudah lupa dengan peristiwa sebelumnya, ketika banyak peristiwa baru bermunculan membetot perhatian kita.

Ada banyak peristiwa yang telah menimpa kita, baik suka maupun duka. Namun, seringkali kita lupa memetik hikmah dan pelajaran berharga dari berbagai peristiwa itu. Akhirnya, kita kembali tersandung batu yang sama, bahkan berkali-kali jatuh. Ini menunjukkan betapa dungunya kita sebagai manusia yang tak mau belajar dari peristiwa dan sejarah yang pernah kita alami. 

Ketika bom meledak di Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang, banyak orang panik, tak percaya, bingung, dan akhirnya mengecam, memaki, mengutuk para pelaku teror itu. Namun, tak lama kemudian masyarakat Bali, bahkan yang paling dekat dengan peristiwa yakni masyarakat Kuta, begitu saja melupakan tragedi mengerikan itu. Mereka kembali hanyut dalam hingar bingar pariwisata, dan kewaspadaan makin melonggar. Beberapa tahun kemudian bom meledak lagi di Jimbaran dan Kuta, pada 1 Oktober 2005, yang menewaskan 23 orang dan 196 luka-luka.

Dalam tataran yang lebih luas, ada banyak peristiwa berdarah melanda Indonesia, baik yang berkaitan dengan pertikaian politik, perebutan kekuasaan, rekayasa militer, perang suku, konflik etnis, pencaplokan lahan dengan jalan kekerasan oleh investor, dan masih banyak lagi. Kita terkesiap dengan banyak peristiwa itu, dan tak lama kemudian melupakannya. Tragedi lumpur Lapindo, suatu contoh kasus bencana akibat kelalaian manusia, lewat begitu saja dari ingatan kita diganti pemberitaan-pemberitaan yang dianggap lebih penting. 

Kematian tragis buruh Marsinah, lenyapnya penyair Wiji Thukul, tragedi 27 Juli 1996, aksi bakar diri aktivis Sondang Hutagalung di depan Istana Negara, seakan semuanya itu menjadi peristiwa yang biasa-bisa saja, tak begitu membekas dalam ingatan kita. Belum lagi tragedi 1965, yang menyebabkan puluhan ribu orang meregang nyawa, pasca G30S. Bahkan, hingga sekarang pun pemerintah Indonesia belum sudi mengeluarkan pernyataan minta maaf sebagai upaya rekonsiliasi atas tragedi nasional paling berdarah itu.

Melawan lupa adalah kewajiban kita semua sebagai manusia. Mengenang dan merenungi segenap peristiwa yang telah terjadi adalah upaya kita memahami sejarah. Sebab sejarah selalu mengajari kita banyak hal, sehingga kita tak jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Bung Karno pernah berujar dengan lantang, “Jas Merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” Begitulah semestinya.  



(dimuat di Jawa Pos, 25 November 2012)

No comments:

Post a Comment