Oleh: Wayan Sunarta
Bukan kematian benar
menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima
segala tiba
(Chairil Anwar)
![]() |
(I Gusti Ayu Kadek Murniasih, foto oleh Hardiman) |
Rabu
malam, 11 Januari 2006, saya dikejutkan oleh SMS yang dikirim seorang teman: Berita
duka-telah meninggal dunia teman tercinta kita, perupa Murniasih, petang tadi
jam 6 wita. Semoga mendapat tempat yang mulia dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Saya
masih belum percaya dengan rentetan kata-kata yang tertera di layar ponsel.
Secepat itukah pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih meninggalkan kita? Bagai
sebuah gulungan film, dalam benak saya kembali melintas senyum dan tawanya yang
lebar dan lepas, seakan tanpa beban derita. Saya kembali terkenang sepasang
alisnya yang lebat hitam dan tajam. Sepasang alis yang nyaris menyatu itu
selalu mengingatkan saya pada alis Frida Kahlo yang digambarkan begitu dramatis
oleh Goenawan Mohamad dalam sebuah puisinya untuk pelukis Meksiko itu: di
alismu langit berkabung dengan jerit hitam
dua burung.
Sejak
kanak-kanak, Murni—begitu pelukis kelahiran Jembrana, 4 Juli 1966 itu akrab
disapa—telah bersahabat akrab dengan kemiskinan dan penderitaan. Orang tuanya
hanya bekerja sebagai petani, yang kemudian menjual sawahnya dan memutuskan
bertransmigrasi ke Sulawesi. Di situ Murni kecil bekerja sebagai pembantu pada
sebuah keluarga Cina yang kemudian menyekolahkannya, meski kandas sampai kelas
2 SMP. Murni kemudian diajak keluarga itu hijrah ke Jakarta dan bekerja di
garmen sebagai tukang jahit. Karena tidak betah hidup di Jakarta, pada paruh
1987 Murni memutuskan pulang ke Bali dan bekerja sebagai pengerajin perak di
Celuk. Di sini Murni bertemu lelaki dari Payangan, Gianyar, yang kemudian
mengajaknya menikah. Pernikahan itu tidak membuahkan keturunan, malah berujung
pada perceraian karena suaminya yang mendambakan anak ingin kawin lagi.
![]() |
(karya Murniasih) |
Setelah
perceraian yang menyakitkan itu, Murni hijrah ke Ubud dan mengasah bakat
melukisnya di sana sambil bekerja di sebuah toko kerajinan. Dia belajar melukis
gaya Pengosekan yang pada saat itu terkenal dengan tema flora dan faunanya.
Kemudian Murni berguru pada Dewa Putu Mokoh, pelukis Pengosekan yang suka
menggubah lukisan-lukisan bertema erotika dengan gaya jenaka. Dari Mokoh, Murni
banyak menyerap teknik dan keberanian menuangkan visual-visual dan tema-tema
lukisan yang oleh kebanyakan orang dianggap nyleneh dan jaruh
atau cabul. Tapi dengan gaya lukisan yang melanggar pakem dan tabu itulah Murni
merasa menemukan ruang ekspresi sebebas-bebasnya bagi derita batin yang
dipendamnya.
![]() |
(karya Murniasih) |
Lukisan-lukisan
Murni menjadi semacam diary bagi kisah perjalanan hidupnya yang kelam, terutama
yang berkaitan dengan kekerasan tubuh dan seks yang selalu memposisikan
perempuan sebagai korban. Melalui media lukisan dia juga berkisah tentang
keinginannya memiliki anak dari rahimnya sendiri, suatu harapan yang
disadarinya tidak akan pernah menjadi nyata. Karena suatu tumor ganas, rahim
Murni terpaksa diangkat dalam sebuah operasi—kira-kira enam tahun yang
lalu—yang terus menyisakan derita sepanjang hidupnya.
Di
Pengosekan pula Murni bertemu Mondo, pelukis Italia yang sepenuh jiwa
mencintainya. Mereka akhirnya sepakat tinggal bersama dalam sebuah rumah di
tengah tegalan di Pengosekan yang dikontrak Mondo. Di tegalan luas yang
dikelilingi pohon kelapa dan semak belukar itu, Murni membangun studio bambu
sederhana, tidak jauh dari studio Mondo. Mondo adalah kekasih sekaligus guru
yang banyak mengajari Murni teknik melukis dan komposisi ala Barat.
Untuk mencapai
studio Murni, kita harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak berliku, sekitar
300 meter dari jalan raya. Jalan setapak itu sendiri bagai menggambarkan jalan
hidup Murni yang penuh lika-liku. Sekali waktu kita bisa memergoki ular kobra
dan sanca yang melintas di tegalan itu. Murni sendiri pernah diintip ular kobra
kecil ketika sedang asyik melukis. Beruntung gerakan refleks Murni masih bagus
sehingga kobra yang kepalanya sudah mengembang di dekat kaki Murni mati
dikepruk tangkai kuas panjang yang kebetulan sedang dipakainya melukis.
![]() |
(I Gusti Ayu Kadek Murniasih, foto oleh Hardiman) |
Murni
dalam kesehariannya senantiasa nampak bersahaja. Kalau tidak sedang bepergian,
dia melukis di studionya hanya dengan mengenakan kain dan kaos oblong yang
kusam dengan rambut tidak tersentuh sisir. Murni menyambut setiap tamu dan
kenalan yang berkunjung ke studionya dengan wajah sumringah dan senyumnya yang
hangat bersahabat. Pergaulan Murni sangat luas. Karena kepribadiannya yang
hangat, Murni sangat dicintai oleh para sahabatnya. Kalau sedang terlibat dalam
obrolan santai, Murni suka bicara apa adanya, blak-blakan, bahkan untuk masalah
yang sangat pribadi. Tawanya renyah menyelingi obrolan membuat wajah-wajah yang
bertamu nampak sumringah.
Saya
pernah beberapa kali mengunjungi studio Murni dan ngobrol ngarol-ngidul
dengannya. Pada sebuah siang yang cerah, 8 Juli 2004, empat hari setelah ulang
tahunnya yang ke-38, saya mengunjungi studionya. Dan kini pertemuan itu telah menjadi
kenangan terakhir akan kehangatan persahabatannya.
Saat
itu, seperti biasa, Murni menyambut kami dengan luapan rasa gembira yang
membayang pada wajahnya. Dia menjamu kami dengan kue-kue dan minuman hangat
yang dilanjutkan dengan makan siang bersama, tentu saja dibarengi dengan
ngobrol ngarol-ngidul yang diselingi tawa-canda. Saat itu dia baru saja menyelesaikan
beberapa lukisan bertema erotika yang getir dan satir. Dia mempersilakan kami
mengapresiasi lukisan-lukisan yang baru dibuatnya. Saya masih ingat sebuah
lukisannya yang luar biasa satir mengenai ketertindasan kaum perempuan: sosok
tubuh perempuan terikat erat di batang penis raksasa. Melalui
lukisan-lukisannya yang inspiratif, Murni adalah seorang feminis yang sepanjang
kariernya sebagai pelukis tak pernah berhenti mendobrak tabu dan terus melawan
penindasan terhadap perempuan.
![]() |
(karya Murniasih) |
Pada
sebuah pameran pelukis perempuan bertema Lifestyles di Denpasar
(Februari 2005) Murni tidak hadir dalam pembukaan pameran yang diikutinya itu.
Dia sedang mengobati kanker rahimnya di Bangkok bersama Mondo, dan pada
akhirnya harus operasi dan opname di sana hingga November. Sempat pula berobat
ke Italia, tapi penyakitnya tidak juga sembuh. Selama berobat itu berat
badannya menyusut 25 kg, dari 67 menjadi 42 kg. Akhir November, dalam kondisi
kurus kering dan menderita, dia minta pulang ke Bali.
Di rumahnya
yang sederhana di Pengosekan, Murni dirawat oleh Mondo, anak angkat dan
pembantu setianya. Sejumlah sahabat menjenguknya dengan wajah sedih dan berurai
airmata karena tidak tahan melihat penderitaannya. Murni hanya tersenyum, meski
dia susah mengenali sahabat-sahabatnya karena kondisinya yang sangat kritis.
Tanggal 7 Januari 2006 dia sempat dilarikan ke RSUP Sanglah karena pendarahan
pada bekas operasinya. Hanya sebentar opname di Sanglah karena Murni minta
dibawa pulang. Mungkin Murni ingin memandang lukisan-lukisannya untuk terakhir
kalinya, sebelum pada sebuah senja yang muram Sang Pelukis Agung menjemputnya
dalam usia yang belum penuh 40 tahun.
Murni, betapa
sunyi jalan itu…***
(Dimuat di Media Indonesia, 15 Januari 2006)
Bli, minta fotonya Murni ya pakai ilustrasi cerpen di blog saya
ReplyDeletehttps://suara-sakingbali.blogspot.co.id/
indah sekali tulisannya, aku ikut terhanyut akan kisah dari Murni
ReplyDelete