(Tulisan
pengantar pameran tunggal Anthok S. bertajuk “Transformation”, di HitamPutih
Art Space, Sangeh, Bali, 28 Oktober – 28 November 2010)
Oleh:
Wayan Sunarta*
![]() |
(Anthok dan Wayan Sunarta, saat pembukaan pameran Transformation) |
Melalui
karya-karyanya, Anthok mempresentasikan betapa manusia memang tidak pernah puas
dengan apa yang telah dimilikinya. Selalu muncul keinginan-keinginan baru, untuk
terus menerus minta dipuasi. Hal inilah yang sering membuat manusia gamang menjalani
kehidupannya. Dan, pada akhirnya memunculkan guncangan budaya. Godaan aneka
iklan sering menjerumuskan manusia ke jurang gaya hidup konsumtif. Diperparah
lagi dengan tayangan-tayangan sinetron yang tidak mendidik, dan seringkali
dipakai sebagai acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semua itu
bercampur aduk dengan impian-impian manusia untuk menjadi yang terbaik,
terutama demi penampilan dan citra diri yang seringkali bersifat semu.
Gaya hidup modern
kini telah menjadi acuan banyak orang, baik di pedesaan maupun perkotaan. Berbagai
jenis iklan telah menjadi sarana ampuh untuk mendukung lifestyles atau gaya hidup, demi menunjukkan kemoderenan. Iklan
menjadi corong kapitalisme dan budaya industri, yang tak henti-hentinya mengumbar
janji-janji, yang perlahan-lahan meracuni akal sehat dan menguliti kesejatian
manusia. Iklan telah ikut andil dalam membangun “budaya citra” (image culture).
Dan, sasaran iklan kebanyakan adalah wanita. Sebab, umumnya wanita yang paling
cepat tanggap mengikuti arus mode atau trend terbaru dari aneka produk yang
ditawarkan, terutama yang berkaitan dengan lifestyles.
Mungkin, itu juga sebabnya mengapa lukisan-lukisan Anthok banyak berkisah
tentang wanita beserta problema yang melingkupinya.
![]() |
(Lihatlah Aku, karya Anthok) |
Trend juga merambah
ke berbagai bentuk busana, dari pakaian luar hingga pakaian dalam. Dalam
lukisan berjudul “Celana Dalam dan Sekuntum Mawar”, Anthok menampilkan figur
seorang bocah wanita yang sedang menempelkan jari telunjuk di bibir, menandakan
isyarat untuk diam. Di sebelahnya, nampak sosok tubuh wanita dewasa mengenakan
celana dalam warna putih dengan renda-renda menggoda. Dalam hal ini, celana
dalam tidak hanya berfungsi untuk menutupi kemaluan, melainkan telah menjadi bagian
dari mode. Dalam lukisan ini, nampak juga setangkai mawar merah menggelantung
di atas perut ramping sosok wanita dewasa itu, tidak jauh dari pusar yang
ditindik. Dan lihatlah posisi tangan kiri wanita itu, jemarinya seakan hendak
membuka celana dalamnya. Lukisan ini mengesankan kenakalan, dan menegaskan
bahwa sosok wanita memang senantiasa menggoda dan penuh diliputi rahasia.
Iklan yang banyak
mengumbar trend dan mode produk-produk terkini begitu menyihir wanita. Tak ada
yang lebih mematikan daripada sihir iklan. Bahkan wanita-wanita pedesaan yang
dianggap sangat menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai leluhur menjadi
meluap-luap hasratnya di bawah bayang-bayang sihir iklan. Di jaman kontemporer
ini, televisi begitu atraktif menebarkan sihir iklan hingga ke pelosok-pelosok
desa terpencil. Kekuatan sihirnya semakin mengerikan ketika jaringan internet
dan pemakaian ponsel juga meluas hingga ke daerah pedalaman. Dengan mudah para
remaja menyaksikan ribuan trend dan mode terbaru yang menggiurkan melalui
website, blog pribadi, facebook. Tentu saja apa yang disuguhkan dunia maya
internet tidak selalu positif. Tayangan-tayangan dan iklan-iklan berbau negatif
pun semakin intens mencekoki pikiran para pengguna internet.
![]() |
(Selamat Tinggal, Tradisi..karya Anthok) |
Atau, pada lukisan
“Garis Merah Impian”, menampilkan sosok wanita muda Desa Tengenan dalam balutan
busana tradisional khas desanya, begitu terpukau (tersihir) menyaksikan sosok
tubuh wanita modern dalam balutan busana yang serba glamour dan mencitrakan sensualitas. Garis merah yang menghubungkan
dua bidang dimana masing-masing wanita itu berada, menjadi simbol impian yang
saling berkait, bahkan mungkin paradoks: wanita tradisional mengimpikan gaya
hidup modern, sedangkan wanita modern mengimpikan keanggunan masa silam.
Dalam dua lukisan
ini, Anthok secara gamblang mempresentasikan apa yang sedang melanda kebudayaan
Bali. Tarik menarik antara dua kekuatan, modern dan tradisi, begitu sangat
terasa di Bali. Menjadi ironi yang tak berkesudahan. Gaya hidup modern dari
hari ke hari berupaya melibas gaya hidup tradisional. Nilai-nilai dari dunia
modern yang mementingkan sikap praktis, pragmatis, individualis, berlomba-lomba
menginjak-injak nilai-nilai dunia tradisi yang mementingkan kolektivitas atau
kebersamaan, kekeluargaan, tata krama, sopan-santun. Pada akhirnya, perlahan
namun pasti, pewaris tradisi meninggalkan leluhurnya, sedangkan pemburu gaya
hidup modern makin gamang dengan kehidupan yang dijalaninya. Yang tercipta
kemudian adalah sebuah dunia yang chaos,
penuh benturan hasrat dan kepentingan, semuanya demi citra diri.
Lukisan berjudul
“Lamunan di Balik Tirai” bisa mewakili kegamangan yang dihadapi wanita dari
dunia tradisi. Di sini nampak sosok wanita muda dalam balutan busana tradisi
duduk termenung di balik tirai. Entah apa yang menggelayuti benaknya. Bisa
jadi, wanita muda ini gamang dengan tekanan dan tuntutan dari dunia
tradisional. Mungkin dia merindukan dunia modern yang menjanjikan kebebasan.
![]() |
(Kasih Sayang, karya Anthok) |
Kalau dicermati
lebih mendalam, lukisan-lukisan Anthok tidak hanya menyajikan keindahan visual
dan eksotika, namun sejatinya banyak mengisyaratkan pesan dan renungan. Anthok
tidak sekedar menampilkan keindahan dan kemolekan tubuh wanita, namun lebih
mengungkapkan dan melukiskan perasaan-perasaan yang dialami wanita ketika
berada di tengah-tengah benturan budaya yang akhir-akhir ini makin mencemaskan.
Dengan penguasaan teknis melukis yang cukup memadai, Anthok meramu kecemasan,
harapan, impian, kegetiran, kehampaan, kegamangan yang banyak dialami wanita di
dalam menjalani kehidupannya. Wanita-wanita yang letih menyusuri jalan tradisi
maupun kebingungan merambah modernitas.
* penulis adalah lulusan Antropologi
Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah mengenyam pendidikan Seni
Rupa di ISI Denpasar. Menulis karya sastra, artikel budaya dan ulasan seni rupa
di berbagai media massa di Indonesia.
No comments:
Post a Comment