Labels

Wednesday 23 January 2013

Bonuz Memburu Harmoni



Oleh : Wayan ‘Jengki’ Sunarta
 

(Putu Bonuz di depan lukisannya/foto Gus Wir)
Jangan pernah mengapresiasi lukisan-lukisan abstrak dengan logika. Sebab lukisan abstrak tak pernah menyimpan atau memberi jawaban untuk memuaskan logika. Menikmati lukisan abstrak seperti memandang keindahan alam. Ketika kita menatap sehampar laut yang tenang dan biru, atau panorama pegunungan yang hijau sejuk, kita hanya akan terdiam dan merasakan keindahan itu mengalir menjalari sel-sel tubuh kita. Di depan sehampar laut biru, tak mungkin terlontar dari mulut kita pertanyaan bodoh, seperti: “apa artinya ini?” 


Jadi, harus simpan baik-baik pertanyaan “apa artinya ini?” ketika Anda sedang berada di depan sehampar lukisan abstrak. Lukisan abstrak dibangun dari elemen garis, warna, tekstur, bidang, yang membentuk komposisi. Komposisi itu bisa terlihat harmonis, atau sebaliknya meneror batok kepala sehingga kita menjadi terganggu. Kenapa terganggu? Ya, tentu saja bisa terganggu. Misalnya, kita tak suka warna merah, lalu kita terpaksa berhadapan dengan lukisan abstrak yang dominan warna merah menyala. Jelas kepala kita langsung puyeng. 

Namun, tentu saja warna bisa dimaknai melalui berbagai macam penafsiran. Elemen terpenting lukisan abstrak adalah warna. Sebab warna adalah sesuatu yang paling mudah dilihat mata manusia yang tidak mengalami penyakit buta warna. Dan setiap manusia memiliki selera warna yang berbeda. Kesukaan pada suatu warna berkaitan dengan kepribadian manusia itu sendiri. Misalnya, manusia yang enerjik dan agresif cenderung menyukai warna merah, dan membenci warna kelabu. Manusia yang suka ketenangan dan kedamaian, biasanya lebih menyukai warna biru. 

(Putu Bonuz dan kolektornya/foto Gus Freddy)
Lebih jauh lagi, warna juga berkaitan dengan keyakinan pada hoki, feng shui, dan sebagainya. Warna bisa juga menjadi simbol dengan makna yang berbeda-beda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Misalnya, dalam kebudayaan Barat, warna hitam adalah simbol kematian dengan berbagai variannya. Sebaliknya, dalam kebudayaan Hindu Bali, warna hitam adalah simbol Dewa Wisnu yang berkarakter memelihara kehidupan.

Warna juga bisa dihubungkan dengan aura dan getaran tujuh cakra mayor dalam tubuh manusia. Warna merah berkaitan dengan cakra akar/dasar (muladhara) yang berada di pangkal tulang belakang. Oranye berkaitan dengan cakra seks (svadhisthana). Kuning berada di cakra pusar (manipura). Hijau adalah simbol cakra jantung (anahata). Biru berhubungan dengan cakra tenggorokan (visuddha). Nila bercahaya di cakra mata ketiga (ajna) yang berlokasi di dahi. Ungu menyala di ubun-ubun dan berkaitan dengan cakra mahkota (sahasrara). Warna dan cakra itu memiliki fungsi masing-masing yang berkaitan dengan tujuh lapisan tubuh, yakni tubuh fisik, emosi, mental, intuisi, atma, monad, dan ilahi. Para ahli kundalini menyadari keberadaan tujuh cakra ini dan mampu membersihkan serta mengendalikan tujuh lapisan tubuh itu. Dalam hal ini, warna berkaitan dengan terapi atau teknik penyembuhan trauma fisik maupun batin.

Begitulah. Warna sangat kaya dengan simbol dan makna. Dalam kebudayaan Hindu Bali, warna berkaitan dengan kepercayaan akan keberadaan Dewata Nawa Sanga, sembilan dewa penjaga penjuru mata angin, yang mengendalikan kosmis agar tetap harmonis. Di Timur bersthana Dewa Iswara dengan simbol warna putih. Di Timur Laut adalah kekuasaan Dewa Sambu dengan warna biru. Di Tenggara adalah Dewa Maheswara dengan warna dadu (merah muda). Di Selatan adalah kekuasaan Dewa Brahma dengan warna merah. Di Barat Daya bersthana Dewa Rudra dengan warna jingga. Di arah Barat, Dewa Maheswara dengan warna kuning. Di Barat Laut, Dewa Sangkara dengan warna hijau. Di Utara adalah kekuasaan Dewa Wisnu dengan warna hitam. Sedangkan di tengah adalah kekuasaan Dewa Siwa dengan warna brumbun (panca warna).

(Putu Bonuz dan putra kesayangannya/foto Gus Wir)
Keberadaan manusia Hindu Bali tak bisa dipisahkan dari Dewata Nawa Sanga itu. Sebab, selain berkaitan dengan keberadaan sembilan pura besar yang wajib dikunjungi, juga berhubungan dengan alam mikrokosmos (jiwa dan raga manusia). Segala jenis ritual/upacara Agama Hindu Bali, termasuk di dalamnya konsep sosial-budaya, susastra (nyastra), dan ajaran mistik (kebatinan), selalu berkaitan dengan ajaran Dewata Nawa Sanga. Di Bali, konsep dan filosofis Dewata Nawa Sanga adalah manifestasi dari keterkaitan atau harmonisasi makrokosmos dan mikrokosmos.

Sebagai seorang pemangku (pemimpin ritual Hindu Bali) dan penekun spiritual, Putu Sudiana alias Bonuz tentu memahami makna dan simbol warna-warna yang berkaitan dengan Dewata Nawa Sanga itu. Maka tak heran jika dalam kebanyakan karya lulusan ISI Denpasar ini, warna-warna bernuansa magis selalu menjadi pertimbangan penting dalam setiap komposisi lukisannya. Kini, dalam proses perjalanan spiritualnya, Bonuz berupaya memburu keharmonisan dengan mengeksplorasi warna hitam, merah, putih, kuning, dan biru. Hal itu bisa kita simak dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “Harmoni”, yang digelar di Rumah Seni Maestro, Sanur, sejak 21 Desember 2012 hingga 21 Januari 2013. 

Tentu saja sapuan-sapuan warna dalam lukisan-lukisan Bonuz masing-masing mengandung makna tertentu. Dan, kita sebagai penikmat hanya bisa memuaskan keingintahuan kita melalui penafsiran yang bisa saja berbeda-beda. Jadi, selamat menikmati karya-karya Bonuz. Semoga Anda mendapatkan pencerahan di dalamnya.


(sumber: katalog pameran tunggal Putu Sudiana Bonuz bertajuk "Harmoni")

1 comment: