Labels

Sunday 3 January 2021

“Pandora Paradise” di Tengah Pandemi

 

Oleh Wayan Jengki Sunarta

 

 


Di penghujung tahun 2020 yang murung karena dirubung pandemi Covid-19, seniman patung Ketut Putrayasa menampilkan seni instalasi bertajuk “Pandora Paradise” di titik Nol Kilometer Kota Denpasar yang berlokasi di alun-alun Puputan Badung. “Pandora Paradise” merupakan sebuah metafora yang menggambarkan kekacauan dunia.

Seni instalasi berukuran 660 x 270 x 180 cm itu dipajang sejak 15 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021. Sebagai sebuah seni publik (public art), karya tersebut dirancang interaktif di mana orang bisa mengamati secara dekat, menyentuh. atau mendengar gaung suara dari buluh-buluh bambu sintetis warna-warni yang menembus kotak transparan.

Bambu-bambu runcing warna-warni yang menembus kotak transparan itu merupakan simbol berbagai kekacauan yang menyeruak dari kotak Pandora. Namun ada tiga bambu yang tidak menembus kotak yang disimbolkan sebagai harapan. Formasi bambu-bambu sintetis itu tampak melayang di dalam kotak. Di bawah terpaan cahaya lampu, warna-warni yang memukau dari bambu tampak saling bersaing dan mengarah pada suasana chaostik.

Kurator pameran, Tatang Bsp, menjelaskan bahwa Ketut Putrayasa hendak menyodorkan satire: yang tampak warna-warni itu jadi palsu. “Pandora Paradise” seakan medan tarung antara keindahan dan kengerian yang menghujam. Warna psychedelic pada bambu-bambu itu menenggelamkan rasa ngeri ujung runcing bambu. Warna psychedelic adalah warna-warna ramai, mencolok, menyala-nyala di mata, dan saling bertabrakan. Ini mengingatkan kita pada psychedelic art yang berkembang di tahun 1970-an. Sebuah aliran seni yang mengusung efek ketidaksadaran dan halusinasi pengalaman psychedelic.

“Pandora Paradise” adalah sebuah metafora yang memaparkan kegelisahan Ketut Putrayasa tentang berbagai persoalan yang terjadi selama masa pandemi. Perekonomian yang hancur, orang-orang kehilangan pekerjaan, utang menumpuk di sana-sini, kesulitan membayar aneka jenis cicilan, kesulitan membeli sembako, kengerian, ketakutan, kematian, stress dan depresi berkepanjangan. Semua persoalan tersebut berkelindan dan menumpuk dalam sebuah kotak raksasa yang dipegang oleh “Pandora”. Siapakah “Pandora” yang sebenarnya di dunia ini? Siapakah pencipta “kotak kegelapan” itu?

Dalam mitologi Yunani, kisah Pandora terkait erat dengan kegelapan dan kengerian. Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan Dewa Zeus. Dikisahkan Prometheus mencuri api milik para dewa dan diberikan kepada umat manusia. Zeus murka dan menghukum Prometheus dengan mengikatnya di tebing karang dan seekor elang mematuki jantungnya; namun dia tidak pernah mati. Zeus juga menghukum umat manusia dengan menciptakan Pandora.

Pandora kemudian dinikahkan dengan Epimetheus, saudara Prometheus. Pada hari pernikahan mereka, Zeus memberi hadiah berupa sebuah kotak yang indah. Prometheus memperingatkan Pandora agar tidak membuka kotak tersebut. Namun, karena penasaran, Pandora melanggar peringatan Prometheus. Ketika Pandora membuka kotak, maka bermunculan berbagai macam keburukan, kejahatan, penyakit, penderitaan. Semua malapetaka itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Hanya satu hal yang tersisa dalam kotak, yakni: harapan.

“Pandora Paradise” menjadi semacam renungan di ujung tahun betapa manusia senantiasa tergoda segala bentuk keindahan duniawi, namun luput mengantisipasi berbagai bentuk kegelapan yang menyertainya. Seperti kerumunan laron yang jumawa dengan sayap-sayap rapuh dan merasa mampu meraih cahaya kemilau. Metafora Pandora dalam konteks seni instalasi yang diciptakan Putrayasa terasa sangat tepat untuk melukiskan situasi dan kondisi tahun 2020 yang penuh kerunyaman, kengerian, dan ketakutan. Namun, dari kegelepan itu, selalu tersisa secercah cahaya harapan untuk memulai kehidupan yang lebih baik saat mengisi lembaran tahun 2021.

Tidak hanya berhenti di titik Nol Kilometer Kota Denpasar, Putrayasa juga akan menampilkan seni instalasinya di seluruh kabupaten di Bali. Pada masing-masing kabupaten dia menampilkan seni instalasi yang berbeda sesuai dengan konteks wilayah setempat. Namun, Putrayasa tetap menerapkan konsep seni publik yang bersifat interaktif untuk seni instalasinya tersebut. Pemajangan seni instalasi ini adalah pemanasan menuju ajang akbar “Kuta Sunrise Project Art 2021” yang akan dirancang Putrayasa di Pantai Kuta.


    “Pandora Paradise” yang dipajang di alun-alun Puputan Badung itu pada Sabtu sore, 26 Desember 2020, direspon oleh koreografer dan penari Jasmine Okubo dengan tari memukau yang menguarkan kepedihan dari setiap gerakan-gerakan lembut. Selain itu, penyair Wayan Jengki Sunarta, Gm Sukawidana, dan Hartanto juga merespon “Pandora Paradise” dengan pembacaan puisi. Orang-orang yang kebetulan berolah raga di alun-alun tampak membentuk kerumunan kecil menyaksikan pertunjukan tersebut.

Putrayasa termasuk seniman yang gelisah menciptakan karya-karya fenomenal. Dia didukung oleh tim yang solid untuk mewujudkan konsep-konsep seninya. Di tengah sepinya penggarapan karya-karya patung/kriya/instalasi kontemporer di Bali, kehadiran seniman muda yang sangat berbakat ini memberi warna tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan seni rupa di Bali.

Ketut Putrayasa adalah seniman kelahiran Kerobokan, Badung, Bali, 15 Mei 1981. Pada tahun 2019, dalam rangka “Berawa Beach Arts Festival”, dia menghebohkan Pantai Berawa dengan karya instalasinya berupa gurita raksasa yang dibuat dari bambu. Dalam acara bertajuk “Deep Blue Spirit” itu, puluhan seniman dari lintas seni merespon gurita raksasa itu dengan pertunjukan musik, tari, puisi, video art. Masih pada tahun 2019, Putrayasa diundang oleh Company Arsitektur and Interior Design menggarap Project Comision Artwork di Paris, Perancis.

Ketut Putrayasa menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar hingga Program Pascasarjana Penciptaan Seni. Dia meraih karya Tugas Akhir (TA) Terbaik dari ISI Denpasar tahun 2014. Dia sering mengikuti pameran bersama, antara lain pameran patung kelompok “BIASA” di Museum Pendet, Ubud (2004), “Sign of Art” di Belgia (2008), “Kuta Art Chromatic” di Kuta (2003), “Articulation” di Kuta (2014), “Chronotope” di Rich Stone Bali (2015), trienale patung “Skala” di Galeri Nasional Jakarta (2017), “Art Unlimited” di gedung Gas Negara Bandung (2018), “Bali Megarupa” di Bentara Budaya Bali (2019), dan sebagainya. Selain aktif berkarya, Putrayasa juga bergabung dengan “MilitanArt”, salah satu komunitas seni yang menggerakkan kehidupan seni rupa di Bali.