Labels

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 2000

Sajak-sajak Wayan Sunarta

                Selamat Pagi


selamat pagi secangkir kopi
sehisap sigaret, sebutir embun, selusin mimpi
yang hanyut saat hujan malam, separuh ilusi
                         yang menuntunku pada hari

selamat pagi udara
bau pegunungan, bau tubuhmu
wajah anak-anak riang
bermain layang-layang
pada bau humus

selamat pagi pada segala
yang bernama asa
pada segala lagu, segala puisi
dan juga mati

selamat pagi


2000


 Aku Memahat Maut


kau bangkit dari mimpi
cahaya menyilau mata 
bercermin pada bayangan hari
serasa seperti luka

aliran waktu,
cahaya adalah kegaiban
hari-hari luruh seperti daun-daun letih

perahu kertas yang dihanyutkan anak-anakmu
                                     di sungai masa kecilku
          tersangkut entah di mana
mungkin dalam ingatan lumut
atau pada kenangan batu-batu

kabar tiba dari pesisir selatan
ombak dan sekuntum mawar
membagi resah pada pantai
pesisir telah jadi hamparan kapur

kau betah membuka mata
larut-larut malam
menjaga sepi puisi
bersama nelayan tua,
arak dan selinting tembakau

pada lambung perahu
aku memahat maut
bunga bakau tanpa suara
menyerah pada panggilan angin


2000


Galungan


menenggak bersloki-sloki arak
aku mekar dalam rimbunan mawar
langit kembali warna ungu
bau laut, angin garam, aroma sate penyu
berbaur dengan pikuk jalan sibuk

kau masih menembang kidung dewa
ketika aku tiba menjenguk kenangan
canangsari di altar batu
yang kau racik dari kulit tanganmu
masih setia membawa mimpi ke langit bali

selalu saja aku menemu dangau
bagi sekelumit perjalanan
penjor-penjor telah dihias janur
sanggah cucuk penolak bala di lebuh puri
telah pula ditancapkan
namun aku masih setia mengembara
pada hamparan sabana sajak
yang direntangkan lelaki tua itu
sebumbung arak bekal perjalananku

apa kau tak letih menjaga kesucian puri
yang hampir hancur diserbu angin barat?
gubug-gubug garam telah lama
aku tinggalkan bersama gairah laut

di mana kau simpan bunga yang pernah mekar itu
aku ingin kembali merangkainya
jadi karangan kematian bagi sejarah ayah kita
agar tak ada kuwariskan duka padamu

sarang merpati telah jatuh dari pohonnya
aku paham bahasa matamu
yang bagai gerimis turun seharian
namun aku harus menjaga kehangatan tubuhku
selimut yang dibentangkan malam ialah kabut
yang telah melindapkan
pohon-pohon yang kurindu


2000



Hotel Rama, Yogyakarta


dua ruh diperam
samun malam
di kejauhan
deru sepur
pada ranjang
terkapar gairahmu

pada jernih pagi
aku bercermin
wajah yang murni
seperti bocah kembali

habis minum kopi
siang datang
menggiringku
ke rumah senja


2000



Malioboro


dari stasiun tugu
aku susuri jejak waktu

berjalan ke selatan
dinihari dingin
tukang becak tertidur
asmarandana gemetar
dari radio transitor

tiba di depan vreedeburg
pasar beringharjo
kantor pos besar
aku gagu
berpusar
di kota revolusi
kota gerilya masa lalu

dinihari ini
aku hanya ingin
mengenang kembali
wangi tubuhmu


2000


 Kupu-kupu


kupu-kupu kecil itu
tersesat ke dalam kamarku
di antara hiasan tanduk rusa
dan rak-rak buku ia meliuk-liuk
seperti tak tahu arah berpijak

sebuah potret masa muda
dalam figura hitam yang tua
menatap fana padaku
kupu-kupu kecil itu menari
di atas huruf-huruf kaku mesin ketik
keningku membentur almari
saat aku ingin menyentuh
warna-warni sayapnya

keindahan di sebuah kamar
terbuka seperti taman musim semi
daun-daun bunga bungur
diam-diam gugur ke dalam belukar
malam mengendap di balik tingkap
sebentuk bibir di kaca jendela

kupu-kupu kecil itu menguap
ke senyap yang tiba-tiba lindap


2000


Tangan Mungil Pada Altar Tua


hujan yang menisik ujung dedaun
berusaha paham jalan kecil itu
tujuan atau mungkin arah yang berkelindan

tangan mungil memungut kelopak kamboja
pada susunan batu altar tua
tanda legam ingatan
yang mendedah waktu dalam tubuh

masihkah pohon-pohon
memeram nafas muram
burung-burung usiran?

cahaya matamu
selalu rahasia
mencoba bersetia
pada senja


2000

 Bali, Beri Kami Rumah


mereka bicara hal yang sia-sia
tak sadar malam mengepungnya
malam adalah hutan keramat
yang menyungkup jantung kita

sebongkah tengkorak purba
telah kau siapkan di depan altar tua
mari sempurnakan perjamuan
sebelum hutan, sawah dan kebun kita
jadi isi ensiklopedia dunia

"bali…bali…bali
beri kami rumah agar kami bisa kembali!"

pembawa warta letih
sejenak minum dari alas daun
kabar dari jauh
mengelupas selapis demi selapis
kulit dalam jiwa kita


2000

      

Kadal Musim Panas


pada hamparan batu-batu
kadal musim panas mengulum pasir
angin berdesir
kabar turun dari gurun
hutan-hutan tropis
telah jadi baris-baris sabana

kadal musim panas
menjulurkan lidah
menjilati tubuh legammu
yang seperti batu pualam

di atas karang laut selatan
aku temukan bongkahan perahu Nuh
siapa akan membawa kita
pada suatu daerah yang entah

kadal musim panas
menjilati jejak hitam
bayang-bayang yang enggan jadi cahaya
yang jatuh seperti rintik embun
pada lebam tubuhmu

kadal musim panas
mengulum pasir
matahari tabir paling rahasia
      pada matamu
aku temukan negeri-negeri runtuh
bangsa-bangsa negeri dingin
menghancurkan diri sendiri


2000



Pada Teduh Matamu


aku menemu cahaya
pada teduh matamu
aku menyelam
dalam samudera cahaya

hari-hari mengalir
seperti sungai
yang tabah akan garis takdir
bertahun-tahun kususuri
hingga bermuara di teduh matamu

kabut biru muda
merayap turun
seperti selimut malam
membungkus tubuhmu
ke dalam hangat

matahariku dan mataharimu
sesungguhnya satu ibu
orang-orang tolol memilahnya
dengan keyakinan konyol

cahaya di teduh matamu
membawaku pulang dari kembara
kaulah purnama itu
yang menerangi setapak jalanku
lentera malam bagi muram gubugku


2000


Puisi XXV


tetap saja aku melingkar
pada akar serabut
kau pinjamkan ruh
yang mengantarku ke barat

biar saja luntur jari-jariku
tak usah kau bebal
membentukku untuk kekal
hari-hari seperti semut
beriringan ke liang lahat
seperti kaktus
dengan duri-duri tumpul

apalah sepi
jika tak membuatku kembali
apalah duka
jika tak bermata
tetap saja aku melingkar
pada akar serabut
hingga tiba saat
kau mencabutku
diam-diam



2000



Kebun Mawar


hanya seutas jalan setapak
guguran bunga semak
perlahan membusuk
hanya seliku kali kecil
hanya sekuncup muram
hanya sebiji tanya
yang tumbuh lalu melata
seperti akar pohon ara

aku jalan berliku
menujumu

lalu kutemukan juga kau
cahaya yang terjaga
merambati puncak derita
tafakur aku di tugu batu

senja menunggu
di kebun mawar


2000


 Fragmen Kota


kabut yang melipat tubuhmu
telah kupaham pedihnya
cahaya yang kujaga
telah jadi kalam dalam zikir malam

kau makin jauh
bumi telah yatim-piatu

bulan yang lama kuidam
hanya sebentuk bundar bayang
pada tempayan keramik retak
kuragukan jalan langit
sebab malaikat tak lagi punya mata

pengemis buta melata
di tepi jalan kota
seorang pelacur tua
menelan berbutir pil tidur
sebab pupur tak terbayar

masihkah puisi berarti
pada kertas merangmu?

manusia menolak cahaya
ular-ular melingkar
dalam kegelapan lubuk-lubuk jiwa


2000


 
Pada Parasmu


pada parasmu
rahasia duka
menjelma
pagi putih 

apalah jarak
antara kita
seperti pijakan waktu
yang ragu

seperti kurasakan mimpi
pada legam rambutmu
seperti sunyi yang bertahan

bagiku. bagimu
hampir menghampiri
selalu ragu akan arti rindu

hanya mawar
hanya pagi putih 
membias
pada parasmu


2000



Parangtritis


di tali kutangmu
gunung gunung murung
angin jalang
menyibak serumpun kenang
                        yang ranggas
dari kusut rambut

kau bicara
ingin mengurai cuaca

butir butir kata menyerpih
di lingkar merah putingmu
aku coba mengukur jarak bulan
                            dan matahari

senja pudar di tiang layar
camar camar berputar
        berpusar
pada hamparan cuaca
bibirmu kandaskan mimpi
kusam, muram, merajam hari

kutemukan
hanya perahu perahu lapuk
melayari rapuh tubuhmu
terjebak. terbujuk
           pusar liar ombak

o, lenguh
yang mendedah tubuh
lokan lokan meresap
ke dalam pasir
gunungan pasir
unggunan api
kandaskan mimpi


2000



Tanah Lot


ombak yang meludah
meniti gigir cadas
camar yang sendiri
penyap pada warna pagi
sepasang turis
sepasang bibir
di muka gapura candi
seekor anjing kumal
melintas

tak lagi kutemukan Kau
hanya warna pagi
muram

dengan lutut gemetar aku bertamu
ke sebuah kafe tepi pantai
seorang ibu menyeduhkan kopi untukku
        aku terkenang si penyair tua itu
yang menulis puisi pada sebongkah cadas
                                              di laut lepas
yang merasa jantungnya tertanam
dan tumbuh diantara bunga pandan

sepasang turis
dengan raut kusut
perlahan masuk
ke mulut ombak
waktu merambat
liat dan lambat


2000

  
Upacara Kelahiran


bulan kesembilan
mataku ditumbuhi lumut
hujan rancu
pada batang alangalang

aku tiba
cahaya yang tergenggam
adalah tangis bayi
pada kusam pagi

rintihmu
merasuk ke pelepah pelepah pohon
ke serat serat daun
ke akar akar yang tak sabar

kali kecil itu mengalir
ke hulu nadimu
kutemukan gua tua
dua sumber air
dan belukar yang lebat
saat musim kawin

waktu luntur
dalam gema tambur
yang ditabuh bocah bocah
kendi pecah
mendedah jantungku

anak anakku nanti
pemilik keabadian
aku hanya cahaya
yang fana


2000

  
Upacara Lingga


bulan menjerit lirih
gumpalan awan pecah
di lingkar lingga
membasuh rumah siput
yang lunak dan basah

irama suci datang membandang
memenuhi parit parit yang kejang
dan susut ke dalam darah
      kau menyeru nama nama dewa
di reranting pohon ara
berpesta daging gurih
wangi ratus dan juga birahi

aku hanya punya benih dalam darah
yang menyanyi saat kau tiba
yang meratap saat kau tiada
sebab curah air matamu
pada hamparan kebun anggur
       hausku adalah siksa terakhir
sebelum akhirat


2000

  
Dan Malam Kian Mendalam*


aku tak tahu
cangkir kopi itu
bicara apa
pada malam
sekeping kata
yang jatuh
berdenting
sekotak kota
dalam bayang
kemarau
untuk pergi
atau kembali
aku tak tahu

pohon jati yang berbaris
seperti membentuk selarik mimpi
jendela, kaca retak, rel kereta api
dan kau yang tertunduk tanpa kata

hanya angin di luar
mengantar sesamar kabar
hanya angin di dalam
memendam hari muram

beri suara pada yang tiada
pada desis puntung rokok di sisa kopi
pada mungkin yang seperti puisi
yang meluntur perlahan
perlahan


2000


*baris terakhir Bab IV novel "Bukan Pasar Malam"
karya Pramudya Ananta Tour


  
Fort Vreedeburg
       -bagi r.t.b-


kau dipukau lukisan biru langit
tujuh cemara, sebentang kolam bening,
rumpun alangalang, burung burung
kecil dengan kepak sayap kecil

aku dipukau lumut pada tembok
tebal dan bebal, mungkin juga kekal
aku lihat waktu membuka peta
sebuah sejarah dan juga darah
mengental, menebal, nempel pada tembok

pada meja marmer kudengar
senja menangis samar samar
seperti sekawanan arwah
serdadu yang tertangkap
mungkin juga terperangkap
pada tembok tebal benteng

"arwah melekat pada tembok!" bisikmu

kau bilang aku mengigau
aku dengar derap sepatu serdadu
kau sebut aku melamun
aku dengar senja menangis
samar samar menjalar
ke degup jantungmu


2000


 Haya


kugambar parasmu pada pasir
suara harmonika, laju perahu
ke arah senja mengalir

angin garam
meniup usia diam diam
waktu, apakah aku?

senja surut
kabut susut
perahu luput

hanya angin
melambai lamban
di pucuk pandan


2000


Kamar


kunyalakan kembali lilin
dalam kamar yang bertahun muram

angin yang membawa hujan
hampir memadamkannya
aku hanya bisa bertahan
hanya pada rambatan cahayamu

pintu kubiarkan terbuka
agar kau dapat menjenguk rasa sakitku
atau sesekali bermain kau dalam kamarku
mencoret dinding dengan warna warna
                     yang terkadang tak kusuka
tapi tak kuasa aku menolak kenakalanmu

saatnya tiba
lilin perlahan meleleh di meja kayu
namun cahaya selalu bertahan
di udara yang lain
                                                di udara yang lain…


2000

 

 

 












No comments:

Post a Comment