Selamat Pagi
selamat pagi secangkir kopi
sehisap sigaret, sebutir embun, selusin
mimpi
yang hanyut saat hujan malam, separuh
ilusi
yang menuntunku pada
hari
selamat pagi udara
bau pegunungan, bau tubuhmu
wajah anak-anak riang
bermain layang-layang
pada bau humus
selamat pagi pada segala
yang bernama asa
pada segala lagu, segala puisi
dan juga mati
selamat pagi
Aku
Memahat Maut
kau bangkit dari mimpi
cahaya menyilau mata
bercermin pada bayangan hari
serasa seperti luka
aliran waktu,
cahaya adalah kegaiban
hari-hari luruh seperti daun-daun letih
perahu kertas yang dihanyutkan
anak-anakmu
di sungai
masa kecilku
tersangkut entah di mana
mungkin dalam ingatan lumut
atau pada kenangan batu-batu
kabar tiba dari pesisir selatan
ombak dan sekuntum mawar
membagi resah pada pantai
pesisir telah jadi hamparan kapur
kau betah membuka mata
larut-larut malam
menjaga sepi puisi
bersama nelayan tua,
arak dan selinting tembakau
pada lambung perahu
aku memahat maut
bunga bakau tanpa suara
menyerah pada panggilan angin
2000
Galungan
menenggak bersloki-sloki arak
aku mekar dalam rimbunan mawar
langit kembali warna ungu
bau laut, angin garam, aroma sate penyu
berbaur dengan pikuk jalan sibuk
kau masih menembang kidung dewa
ketika aku tiba menjenguk kenangan
canangsari di altar batu
yang kau racik dari kulit tanganmu
masih setia membawa mimpi ke langit bali
selalu saja aku menemu dangau
bagi sekelumit perjalanan
penjor-penjor telah dihias janur
sanggah
cucuk penolak bala di lebuh puri
telah pula ditancapkan
namun aku masih setia mengembara
pada hamparan sabana sajak
yang direntangkan lelaki tua itu
sebumbung arak bekal perjalananku
apa kau tak letih menjaga kesucian puri
yang hampir hancur diserbu angin barat?
gubug-gubug garam telah lama
aku tinggalkan bersama gairah laut
di mana kau simpan bunga yang pernah
mekar itu
aku ingin kembali merangkainya
jadi karangan kematian bagi sejarah ayah
kita
agar tak ada kuwariskan duka padamu
sarang merpati telah jatuh dari pohonnya
aku paham bahasa matamu
yang bagai gerimis turun seharian
namun aku harus menjaga kehangatan
tubuhku
selimut yang dibentangkan malam ialah
kabut
yang telah melindapkan
pohon-pohon yang kurindu
2000
Hotel
Rama, Yogyakarta
dua ruh diperam
samun malam
di kejauhan
deru sepur
pada ranjang
terkapar gairahmu
pada jernih pagi
aku bercermin
wajah yang murni
seperti bocah kembali
habis minum kopi
siang datang
menggiringku
ke rumah senja
2000
Malioboro
dari stasiun tugu
aku susuri jejak waktu
berjalan ke selatan
dinihari dingin
tukang becak tertidur
asmarandana gemetar
dari radio transitor
tiba di depan vreedeburg
pasar beringharjo
kantor pos besar
aku gagu
berpusar
di kota revolusi
kota gerilya masa lalu
dinihari ini
aku hanya ingin
mengenang kembali
wangi tubuhmu
2000
Kupu-kupu
kupu-kupu kecil itu
tersesat ke dalam kamarku
di antara hiasan tanduk rusa
dan rak-rak buku ia meliuk-liuk
seperti tak tahu arah berpijak
sebuah potret masa muda
dalam figura hitam yang tua
menatap fana padaku
kupu-kupu kecil itu menari
di atas huruf-huruf kaku mesin ketik
keningku membentur almari
saat aku ingin menyentuh
warna-warni sayapnya
keindahan di sebuah kamar
terbuka seperti taman musim semi
daun-daun bunga bungur
diam-diam gugur ke dalam belukar
malam mengendap di balik tingkap
sebentuk bibir di kaca jendela
kupu-kupu kecil itu menguap
ke senyap yang tiba-tiba lindap
2000
Tangan Mungil Pada Altar Tua
hujan yang menisik ujung dedaun
berusaha paham jalan kecil itu
tujuan atau mungkin arah yang berkelindan
tangan mungil memungut kelopak kamboja
pada susunan batu altar tua
tanda legam ingatan
yang mendedah waktu dalam tubuh
masihkah pohon-pohon
memeram nafas muram
burung-burung usiran?
cahaya matamu
selalu rahasia
mencoba bersetia
pada senja
2000
Bali, Beri Kami Rumah
mereka bicara hal yang sia-sia
tak sadar malam mengepungnya
malam adalah hutan keramat
yang menyungkup jantung kita
sebongkah tengkorak purba
telah kau siapkan di depan altar tua
mari sempurnakan perjamuan
sebelum hutan, sawah dan kebun kita
jadi isi ensiklopedia dunia
"bali…bali…bali
beri kami rumah agar kami bisa kembali!"
pembawa warta letih
sejenak minum dari alas daun
kabar dari jauh
mengelupas selapis demi selapis
kulit dalam jiwa kita
2000
Kadal Musim
Panas
pada hamparan batu-batu
kadal musim panas mengulum pasir
angin berdesir
kabar turun dari gurun
hutan-hutan tropis
telah jadi baris-baris sabana
kadal musim panas
menjulurkan lidah
menjilati tubuh legammu
yang seperti batu pualam
di atas karang laut selatan
aku temukan bongkahan perahu Nuh
siapa akan membawa kita
pada suatu daerah yang entah
kadal musim panas
menjilati jejak hitam
bayang-bayang yang enggan jadi cahaya
yang jatuh seperti rintik embun
pada lebam tubuhmu
kadal musim panas
mengulum pasir
matahari tabir paling rahasia
pada matamu
aku temukan negeri-negeri runtuh
bangsa-bangsa negeri dingin
menghancurkan diri sendiri
2000
Pada Teduh
Matamu
aku menemu cahaya
pada teduh matamu
aku menyelam
dalam samudera cahaya
hari-hari mengalir
seperti sungai
yang tabah akan garis takdir
bertahun-tahun kususuri
hingga bermuara di teduh matamu
kabut biru muda
merayap turun
seperti selimut malam
membungkus tubuhmu
ke dalam hangat
matahariku dan mataharimu
sesungguhnya satu ibu
orang-orang tolol memilahnya
dengan keyakinan konyol
cahaya di teduh matamu
membawaku pulang dari kembara
kaulah purnama itu
yang menerangi setapak jalanku
lentera malam bagi muram gubugku
2000
Puisi
XXV
tetap saja aku melingkar
pada akar serabut
kau pinjamkan ruh
yang mengantarku ke barat
biar saja luntur jari-jariku
tak usah kau bebal
membentukku untuk kekal
hari-hari seperti semut
beriringan ke liang lahat
seperti kaktus
dengan duri-duri tumpul
apalah sepi
jika tak membuatku kembali
apalah duka
jika tak bermata
tetap saja aku melingkar
pada akar serabut
hingga tiba saat
kau mencabutku
diam-diam
2000
Kebun
Mawar
hanya seutas jalan setapak
guguran bunga semak
perlahan membusuk
hanya seliku kali kecil
hanya sekuncup muram
hanya sebiji tanya
yang tumbuh lalu melata
seperti akar pohon ara
aku jalan berliku
menujumu
lalu kutemukan juga kau
cahaya yang terjaga
merambati puncak derita
tafakur aku di tugu batu
senja menunggu
di kebun mawar
2000
Fragmen Kota
kabut yang melipat tubuhmu
telah kupaham pedihnya
cahaya yang kujaga
telah jadi kalam dalam zikir malam
kau makin jauh
bumi telah yatim-piatu
bulan yang lama kuidam
hanya sebentuk bundar bayang
pada tempayan keramik retak
kuragukan jalan langit
sebab malaikat tak lagi punya mata
pengemis buta melata
di tepi jalan kota
seorang pelacur tua
menelan berbutir pil tidur
sebab pupur tak terbayar
masihkah puisi berarti
pada kertas merangmu?
manusia menolak cahaya
ular-ular melingkar
dalam kegelapan lubuk-lubuk jiwa
2000
Pada Parasmu
pada parasmu
rahasia duka
menjelma
pagi putih
apalah jarak
antara kita
seperti pijakan waktu
yang ragu
seperti kurasakan mimpi
pada legam rambutmu
seperti sunyi yang bertahan
bagiku. bagimu
hampir menghampiri
selalu ragu akan arti rindu
hanya mawar
hanya pagi putih
membias
pada parasmu
2000
Parangtritis
di
tali kutangmu
gunung
gunung murung
angin
jalang
menyibak
serumpun kenang
yang ranggas
dari
kusut rambut
kau
bicara
ingin
mengurai cuaca
butir
butir kata menyerpih
di
lingkar merah putingmu
aku
coba mengukur jarak bulan
dan matahari
senja
pudar di tiang layar
camar
camar berputar
berpusar
pada
hamparan cuaca
bibirmu
kandaskan mimpi
kusam,
muram, merajam hari
kutemukan
hanya
perahu perahu lapuk
melayari
rapuh tubuhmu
terjebak.
terbujuk
pusar liar ombak
o,
lenguh
yang
mendedah tubuh
lokan
lokan meresap
ke
dalam pasir
gunungan pasir
unggunan
api
kandaskan
mimpi
2000
Tanah Lot
ombak yang meludah
meniti gigir cadas
camar yang sendiri
penyap pada warna pagi
sepasang turis
sepasang bibir
di muka gapura candi
seekor anjing kumal
melintas
tak lagi kutemukan Kau
hanya warna pagi
muram
dengan lutut gemetar aku bertamu
ke sebuah kafe tepi pantai
seorang ibu menyeduhkan kopi untukku
aku
terkenang si penyair tua itu
yang menulis puisi pada sebongkah cadas
di laut lepas
yang merasa jantungnya tertanam
dan tumbuh diantara bunga pandan
sepasang turis
dengan raut kusut
perlahan masuk
ke mulut ombak
waktu merambat
liat dan lambat
2000
Upacara
Kelahiran
bulan kesembilan
mataku ditumbuhi lumut
hujan rancu
pada batang alangalang
aku tiba
cahaya yang tergenggam
adalah tangis bayi
pada kusam pagi
rintihmu
merasuk ke pelepah pelepah pohon
ke serat serat daun
ke akar akar yang tak sabar
kali kecil itu mengalir
ke hulu nadimu
kutemukan gua tua
dua sumber air
dan belukar yang lebat
saat musim kawin
waktu luntur
dalam gema tambur
yang ditabuh bocah bocah
kendi pecah
mendedah jantungku
anak anakku nanti
pemilik keabadian
aku hanya cahaya
yang fana
2000
Upacara
Lingga
bulan menjerit lirih
gumpalan awan pecah
di lingkar lingga
membasuh rumah siput
yang lunak dan basah
irama suci datang membandang
memenuhi parit parit yang kejang
dan susut ke dalam darah
kau menyeru nama nama dewa
di reranting pohon ara
berpesta daging gurih
wangi ratus dan juga birahi
aku hanya punya benih dalam darah
yang menyanyi saat kau tiba
yang meratap saat kau tiada
sebab curah air matamu
pada hamparan kebun anggur
hausku adalah siksa terakhir
sebelum akhirat
2000
Dan
Malam Kian Mendalam*
aku tak tahu
cangkir kopi itu
bicara apa
pada malam
sekeping kata
yang jatuh
berdenting
sekotak kota
dalam bayang
kemarau
untuk pergi
atau kembali
aku tak tahu
pohon jati yang berbaris
seperti membentuk selarik mimpi
jendela, kaca retak, rel kereta api
dan kau yang tertunduk tanpa kata
hanya angin di luar
mengantar sesamar kabar
hanya angin di dalam
memendam hari muram
beri suara pada yang tiada
pada desis puntung rokok di sisa kopi
pada mungkin yang seperti puisi
yang meluntur perlahan
perlahan
2000
*baris
terakhir Bab IV novel "Bukan Pasar Malam"
karya
Pramudya Ananta Tour
Fort Vreedeburg
-bagi r.t.b-
kau dipukau lukisan biru langit
tujuh cemara, sebentang kolam bening,
rumpun alangalang, burung burung
kecil dengan kepak sayap kecil
aku dipukau lumut pada tembok
tebal dan bebal, mungkin juga kekal
aku lihat waktu membuka peta
sebuah sejarah dan juga darah
mengental, menebal, nempel pada tembok
pada meja marmer kudengar
senja menangis samar samar
seperti sekawanan arwah
serdadu yang tertangkap
mungkin juga terperangkap
pada tembok tebal benteng
"arwah melekat pada tembok!" bisikmu
kau bilang aku mengigau
aku dengar derap sepatu serdadu
kau sebut aku melamun
aku dengar senja menangis
samar samar menjalar
ke degup jantungmu
2000
Haya
kugambar parasmu pada
pasir
suara harmonika, laju perahu
ke arah senja mengalir
angin garam
meniup usia diam diam
waktu, apakah aku?
senja surut
kabut susut
perahu luput
hanya angin
melambai lamban
di pucuk pandan
2000
Kamar
kunyalakan kembali lilin
dalam kamar yang bertahun muram
angin yang membawa hujan
hampir memadamkannya
aku hanya bisa bertahan
hanya pada rambatan cahayamu
pintu kubiarkan terbuka
agar kau dapat menjenguk rasa sakitku
atau sesekali bermain kau dalam kamarku
mencoret dinding dengan warna warna
yang terkadang tak kusuka
tapi tak kuasa aku menolak kenakalanmu
saatnya tiba
lilin perlahan meleleh di meja kayu
namun cahaya selalu bertahan
di udara yang lain
di udara yang lain…
2000
No comments:
Post a Comment