Labels

Tuesday 25 October 2011

Kelompok Hitam Putih : Memandang Tradisi, Alam dan Diri


Catatan : tulisan ini adalah pengantar pameran "In The Name of Identity" di Tanah Tho Gallery, Ubud, 8 Oktober - 7 November 2011 


Oleh: Wayan Sunarta *


Prolog

(karya Anthok S.)
Hitam Putih adalah sebuah kelompok seni rupa yang didirikan pada tanggal 18 Agustus 1999 oleh sejumlah mahasiswa STSI (kini ISI) Denpasar Angkatan 1996. Anggota Hitam Putih terdiri dari sebelas perupa, yakni: Anthok Sudarwanto, Ketut Lekung Sugantika, Ni Nyoman Sani, I Gusti Ngurah Putu Buda, I Nyoman Bangbang Ariana, Anak Agung Gede Darmayuda, Rachmat Saleh, I Made Alit Suaja, I Made Sudiarta, I Wayan Susana, I Gede Pande Paramartha.

Puisi-puisi 2010

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Denpasar


denpasar, kota yang lahir
                     dari belukar
adalah akar
                 yang menjalar
di urat-urat nadimu

tertatih menahan perih
             usia yang hijau
kau memburu bayang ibu
       yang raib di ufuk barat
di senja penghabisan kata

saat bocah, jernih matamu
tak habis mereguk
                cahya purnama
membayangkan sosok ibu
          merenda kebaya di situ

namun, kau selalu
        berseteru dengan waktu
sayup-sayup tangis ibu
       menggema dalam darahmu

kini, waktu menjelma ibu
        kau menjadi sekutu
hari-harimu yang ragu

denpasar, kota yang menyusu
pada perempuan-perempuan jelata,
      ibu-ibu penjaja sayur di pasar
nanar menatap kepergianmu
      tanpa pamit pada leluhur...


 (Denpasar, Januari 2010)

Friday 21 October 2011

Puisi-puisi 2009

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Lovina


begitulah ombak pagi ini
menepi merayapi celah indah hatimu

secangkir kopi dan jiwa yang baka
mengapa mesti kau kisahkan resah
          selalu ada yang berlalu
dan kita lebih dari paham
                        untuk tidak bertanya

jukung telah menjemput
kita melaju menyibak ombak
bertukar kabar pada angin
berbagi kasih pada pekik camar
mengaca pada mata bening lumba-lumba
agar mengerti makna kedalaman cinta

di manakah akhir pelayaran
         pesisir tak tampak mata
kedalaman laut serupa jiwamu
         selalu ada yang tiada terduga

aku pasrah dalam siul angin
merasakan matahari pagi
                  berbinar di mataku
dan tahulah aku
senyummu telah melarutkan aku
dalam pusaran laut yang kucintai


(Lovina, Buleleng, Bali, Januari 2009)

Puisi-puisi 2008

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Sarkopagus Alasangker, Buleleng


mesti dengan apa lagi kukisahkan padamu
nubuat yang kubuat bagi keturunanmu
                             telah sempurna terbuka
namun kau lebih suka merayu waktu
tanpa mau menjenguk kawasanku
         masa lalu telah menyerpih
                            dan jadi abu dalam diriku
tertimbun dalam periuk tanah liat,
bersama kalung manik-manik, gelang perunggu,
                      tombak usang dan kenangan lapuk

mengapa kau tiada mampu membaca nujuman itu
aku telah guratkan segala tanda di dinding tebing
                    aku telah tatah di setiap jiwa manusia

kerajaanku akan bangkit
sebab kau memaksaku tiba pada kerinduan purba
        apa yang tiada luput dari kabut
yang menyisir perkampungan dan hutan keramat
              yang dihuni para danyang dan memedi

beri aku bunga embun
agar waktu kembali mencair
                   dari ruhku yang kelam,
sekelam kutukan batu-batu di hunian ini
          kau tak paham makna pertemuan
apa yang bisa diimpikan sepasang kijang
yang terpanah di tengah hutan gersang
          saat asmara mencapai ubun-ubun

kedalaman tanah moyangku  
daerah istirah yang selalu membayang
       kepayang pada pepucuk pohon lontar
                                yang kau sadap jadi tuak
dan kau guratkan aksara purba di bumbungnya
       tapi kau tak pernah usai
                                mengurai nujuman itu
senja akan musnah
dan mata tiada jenuh bergelut
                     dengan kemesraan maut

peramal tua itu telah tiba
dari jalan hidupmu yang hampa kata-kata
mengapa kau tiada ikuti kemauan jiwa
ketika hari makin genap dalam perjamuan cinta

pada akhirnya kita hanya
tumpukan kerangka tiada guna
namun aku telah menyibakkan jalan
bagi segala kenangan
               yang melintasi aliran nadimu

Alasangker menyungkupi kebisuanku
                               beribu-ribu tahun
cuaca telah membaca nubuat yang kugurat
              pada pohon-pohon dan batu-batu  
maka begitu pula aku membacamu
                           dari tidur abadiku


(Bali, 2008)

Puisi 2007 - Tilas-tilas Kecil

Sajak Wayan Sunarta


Tilas-tilas Kecil


/1/
fajar gemetar di ufuk dini
mengantar pilu lengking tangis
   mantra pertama yang digumamkan
rasa tak rela berpisah dengan ari-ari,
                       saudara setia di gua garba
      tahi lalat di pangkal paha kiri
oleh-oleh dari negeri seberang,
                dari bapa tua penunggu waktu
      sebagai bekal kali pertama  
                mengakrabi kilau matahari
merasakan hangatnya
                    sehangat dada ibuku

Puisi 2007 - Singa Bersayap Api

Sajak Wayan Sunarta

Singa Bersayap Api


singa bersayap api
     menari-nari
di atas runtuhan candi
     gerimis miris
                mengusir hari
pohon lontar kuyu
          pada basah air mata

jalan setapak berliku
                     dan berbatu itu
menuju ceruk kelabu jiwaku

aku tercekik udara dari kenangan
yang merambati liang pekat batu
ketika gugusan waktu memudar
      pada serpih-serpih tembikar

Puisi-puisi 2007

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Buai Bui
- buat ole dan onya-

 akhirnya kalian berjalan
                                memasuki bui
yang dibuai angin sepoi bulan mei
         wajah sumringah, jiwa pasrah
pada nafas cinta
yang menghembus dari lubuk hati
                  sejak bertahun-tahun lampau
ketika dermaga di utara pulau
membuka rahasia pertemuan asam gunung
                                                dan asin laut
di jalan-jalan subak
                                dan pematang sawah
yang dibasuh embun dinihari

bui itu dibangun dari buai cinta
                    sangkar keramat sang waktu
yang setiap orang ingin memasuki
                  dan menghuninya dengan rela
maka pada jiwa embun
kita berbagi untuk cinta
               yang bagai kerlip kunang-kunang
agar cahaya tidak sepenuhnya musnah
                pada hamparan kelam kehidupan


 (Desa Ababi, Karangasem, 2007)

Puisi-puisi 2006

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Surat Dari Rumah Pantai
 

wahai perempuan bertudung sepi
akhirnya aku kembali ke rumah pantai
           ombak berkali-kali membujukku
dengan desah dan lenguh memabukkan
      erang pun bergema dari cangkang kerang

wangi bunga pandan bagai aroma pipimu
       urai, urailah rambutmu agar angin garam membelainya mesra
lalu senyumlah padaku yang lenyap dalam pelukan laut
          agar tentram jiwaku menatapmu lekang
namamu, namaku, mungkin abadi di setiap dermaga

rumah pantai telah menerimaku dengan keteduhannya
aku ‘kan bermukim di situ bersama ubur-ubur dan hiu biru
             tak perlu lagi kau risaukan aku
nelayan-nelayan bermata cahaya menjadi kawan karibku
       aku telah menggadaikan jiwaku pada peri-peri laut penipu


2006

Puisi-puisi 2005

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Di Sudut Kafe


pada meja kayu
cangkir jadi dingin dan kenangan ungu
tapi kau masih berceloteh tentang puisi tak jadi
           aku terpukau lukisan kaca di dinding:
                                 empat badut main ayunan

apalagi kau risaukan?
hari akan segera surut
ke dalam cangkir kopi
            lukisan mural di sudut kafe
mengabarkan duka tukang becak
dan nenek renta penjunjung kayu bakar

aku ingin kau berkisah
perihal malam pedih
namun dari botol coca-cola
kau tuangkan dongeng negeri salju

asbak penuh puntung
tak ada guna lama-lama
merenungi sepi di sudut kafe
batuk menahun
               telah mencekik hayatmu


2005

Puisi-puisi 2004

                Sajak-Sajak Wayan Sunarta

Bukit Venus


aku tiba pada hamparan bukit venus
milikmu yang penuh pesona
pada tebing merah muda
di antara rerimbun pinus
sebuah pancuran di atas goa
mengalir air ibu bumi

seperti pertapa tua letih
mencari sumber air suci
aku berjalan tertatih
terseok keluar-masuk
menyibak lebat semak
goa gelap di tebing bukit

cahaya dari hutan pinus
seperti sorot mata ular di taman firdaus
aroma tanah sehabis gerimis

embun menghias pepucuk pinus
merembesi goa tapaku
kurasakan nikmat tertinggi
kidung persembahan ibu bumi


2004

Puisi-puisi 2003

Sajak-sajak Wayan Sunarta

Pilar Senja

    

pada pilar senja
      rahasia hari tertera
akhirnya garis tanganmu membuka
         nubuat yang telah dikekalkan
ingin aku merengkuhmu
      tanpa mesti ada ruh lain
atau pendaman rahasia

di mana kau peram benih kelam
        entah serupa apa kau kenang aku
wujud yang kemilau sebelum kau ada
          ilahi pun menyusun puisi untukmu
ketika waktu tiba di muka gapura
        usap wajahku hingga sempurna ruhku


2003

Thursday 20 October 2011

Puisi-puisi 2002

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Pijar Duka


pada matamu muram
waktu tiba-tiba padam

parasmu. parasmu
di biru laut. di biru langit
di biru jiwaku
tuntas sudah abu

bulan terpukau
pada suara duka
yang meracau
di telaga matamu

kerling
hening

parasmu. parasmu
usia yang harum bunga pandan
larik-larik sajakku luruh
dari kelam merajam subuh

pijar duka
bertahanlah dalam bara
karena  kau hanya
unggunan api yang fana


2002

Puisi-puisi 2001

Sajak-sajak Wayan Sunarta


Bhisma


sebab kutuk dan janji
aku bertahan pada takdir ini
akulah bhisma
yang menatap hampa pada senja

beribu gagak
menggumpal hitam
di langit kurusetra
dan senja
muara abadi segala keluh

seperti abadi kesepianku
srikandhi, bentangkan busur panahmu
amba, bidikkan muram dendammu
biar melesat beribu anak panah biru
menyangga ragaku
mengukir takdir akhir

mengapa harus ada duka?
telah tumpas segala suka
saat surya rebah ke utara
aku pun tiba pada hampa


2001

Puisi-puisi 2000

Sajak-sajak Wayan Sunarta

                Selamat Pagi


selamat pagi secangkir kopi
sehisap sigaret, sebutir embun, selusin mimpi
yang hanyut saat hujan malam, separuh ilusi
                         yang menuntunku pada hari

selamat pagi udara
bau pegunungan, bau tubuhmu
wajah anak-anak riang
bermain layang-layang
pada bau humus

selamat pagi pada segala
yang bernama asa
pada segala lagu, segala puisi
dan juga mati

selamat pagi


2000

Puisi-puisi 1999

                Sajak-sajak Wayan Sunarta
                      Lorosae

namun senja
seakan enggan
menghapus air mata
               pada cuaca

kudengar lengking camar kehilangan ibu
buih mengeluh
                garis pantai cemas
seorang bocah berlari ke arah malam
menyongsong bintang biduk
               yang hendak lapuk

(seperti aku mengenal wajahnya yang fana
menyembul dari gundukan candi candi pasir
seakan ingin berucap: jangan biarkan langit kembali merah!)

angin timur mengalir dari pantai
pasir pasir buyar
            bau anyir
pembantaian di musim semi
kerang kerang mendadak kering
terbuka dengan daging yang meleleh
dan lokan buta menangis
                      udara amis

senyummu, maria, seperti bunga bungur
kuntum yang dipatahkan paksa

prahara akan kembali tiba
segera bergegas. berlindung
ke dalam mercusuar di ujung tanjung
di situ mungkin masih tersisa
                        penawar duka

jerit anak camar
menggigil
melihat kabut pecah
jadi buih darah
pada rongga mata
seorang serdadu tua

dalam udara amis
langit menangis
kata kata kusam
lumer dari grafiti
yang ditera dengan darah
di tembok mercusuar

kau tak akan pernah tahu
di lorosae
waktu yang setia itu
adalah seteru
`           yang diam diam menyusun
rencana
penghianatan
untukmu

cahaya cinta dari hatimu, maria
telah jadi ragi
hancur seperti remah roti
dan anggur yang dulu kau peras
dari tetes air matamu
telah memabukkan mereka


1999

Puisi-puisi 1998

                Sajak-sajak Wayan Sunarta

BirahiBiru


                   malam tiba
purnama mengurai rambut di jendela
      aku susuri pesona suara serangga
sayap sayap malaikat bergetar
perjalanan kau guratkan
             pada tapak tanganku

         aku rindu kau
         aku jauhi kau

                       kupahami ngilu
memusar dalam darah adamku

             purnama jatuh
separuh digigit kelelawar buah
separuh hanyut membawa hayatku
 aku termangu
menghitung rindu yang tak henti gugur
sejauh perjalanan memburumu

kelelawar memuntahkan remah purnama
serbuk sari telah terbenam di kepala putik
    perkawinan?
kau tak jenuh meneliti gurat keningku
                 di situkah muara rahasiaku
belum seluruh lekukmu kupahami
              aku rebah pada altar suci

apa lagi yang rahasia
o, birahi biru. altar suci
aku terkapar dalam nikmat
                        dalam sakit
                   gerigi waktu beradu
kau seperti ada. aku seperti tiada

mawar mekar
kau hablur
aku lebur


1998

Puisi-puisi 1997

                Sajak-sajak Wayan Sunarta


Situs Candi Gunung Kawi


Bayangan candi:
wujud masa silam yang meleleh
ke dalam genang kenangan seorang bocah gembala
Penggalan kepala patung terjatuh
Menilik senja
Menebar pesona wangi yang aneh
Menjalar dalam alir nadiku
Sungguh terasa sunyi
Menelusuri jalan setapak berliku,
setapak masa silam
yang meranggaskan aku ke bumi
               beribu ribu kali
Seperti penggalan kepala patung itu,
menjelma Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra, bahkan Paria. Kulakoni semua itu
Hingga tiba pada sebuah telaga,
aliran tiga mata air dewa
ke situ Kau tuntun aku
bagai keledai dungu
Membasuh wajah, tangan, kaki. Melebur jiwa
dalam wangi bunga, harum dupa, hening tirta
Hingga mite Mayadenawa, dewa dewi, bianglala
menguap bersama gemerincing uang kepeng dan
taburan dolar para peziarah
Sungguh terasa sunyi
Sendiri menciumi wangi tubuhmu, Batu Padas
Pahatan purba yang bangkitkan sayup sayup kenangan
Nelangsa doa:
aku asing di mataMu
Kau asing di mataku
Namun selalu kita saling belit
Serupa sepasang Naga kasmaran
Tunggal
Hening

Di antara gurat dan retak candi
Bayang bayang tubuhMu meleleh
Di sebuah jalan setapak
Menjelma embun
Memisahkan dunia gaib kita
Satu hal yang mutlak:
Aku terperangkap dalam ruang dalam waktu
karena karma
karena punarbhawa
Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini
Tapi yakin,
kerinduan kepada Ibu,
mula denyut waktu
Lebih suci dari beribu sajen beribu upacara
yang menuntaskan wujudmu,
O, candi candi tua
Arca arca dewa
Semua meleleh bagai cairan darah tabuh rah
Meleleh ke palung paling kasih
dari hidupku.


1997

Puisi-puisi 1996

                Sajak-sajak Wayan Sunarta

Pesisir  Jimbaran


di tanah cuaca tanah tropika
kita terlahir
menuntun perjalanan sebuah sejarah

ayu, terlalu banyak saudara kita
yang jadi berjiwa budak
   terlalu banyak
tak henti angin asing datang gemuruh
    menggusur tanahmu rawabakaumu
               bukitkapurmu pasirputihmu

mereka renggut
purnama yang terbit
dari indah mata bersitatap
redup saat laut surut:
di rawarawa di bakaubakau
di karangkarang di pasirpasir
hotelhotel menjalar bagai parasit

terlalu banyak
yang tak bisa hidup sahaja

di pesisir ini, ayu, kita rindu nelayan berlagu
          pulang dari laut jauh
kita kenang penyu bertelur saat bulan penuh
kita kangen manggang ikan di bawah gemintang
bercengkerama dengan angin garam
                                    di malam langit jimbaran

kita hanya bisa kangen
tak mampu berbuat apa

namun ada kupunya mimpi
          menjaga tanah bali
dalam rangkuman kasih puisi


1996

Puisi-puisi 1995

                Sajak-sajak Wayan Sunarta        
      

Kusamba


deru laut luruh
memucat batinku

pesisir hanya angin
gerai rambutmu bergulung biru
jukung kecilku berkayuh di situ
           ada yang sirna
jerit anak camar gemetar menunjuk kelam
           melempar sunyiku ke gubug garam

dalam dadamu muara lenyap
kau pasir yang lupa tanah
ombak merangkak
memulung sisa kenangan
yang membuih di licin tubuhmu

sia
sia

nafasku sesak dicumbu waktu
duka mengental
melukis langit wajahmu

senja surut
tubuhmu
tubuhku
menguap
jadi garam


1995

Puisi-puisi 1994

                 Sajak-sajak Wayan Sunarta

Amsal Batu Apung


dari atas bukit
terlempar aku
ke sungai

di muara
anak anakmu
memunguti diriku
mengusungku
ke atas bukit itu
lalu melemparku
kembali
ke sungai ini

selalu aku
terdampar
pada muara
yang sama


1994

Puisi-puisi 1993

                Sajak-sajak Wayan Sunarta


Tubuhku Hilang


senja pucat
matahari
lenyap
di pusar kabut

dari atas bukit
bocah bocah
mengusung bulan

aku bersorak girang
tubuhku hilang
ruang remang


1993

Puisi-puisi 1992

                Sajak-sajak Wayan Sunarta                
                 Kasih


sepi rambah malam
bulan menglupas
samaran kalam

bunga bunga gugur
serangga kidungkan
kematian alam
dan kelelawar
tarikan tarian purba

sembari mereguk kasih
di tungku api perapian
kupersembahkan cinta ilahi


1992

Cakra Punarbhawa



Cerpen: Wayan Sunarta


Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
   
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun tahta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu,  kupanggil ayah.

Puncak Ketujuh


cerpen : Wayan Sunarta


            Kami mendaki. Masih terus mendaki. Puncak ketujuh, yang kami rindukan selama hidup kami, belum juga terlihat. Kakiku terasa gemetar. Tubuhku menggigil menahan dingin yang dihembus angin kabut. Aku baru tiba di lambung gunung. Puncak ketujuh masih jauh, teramat jauh, seakan tak mampu kami jangkau. Namun, kami terus mendaki.
            Saudara seperjalananku yang berjumlah lima orang tampak tertinggal di belakangku. Mereka seakan tidak mampu mengikuti jejak dan jalan setapak yang telah kurintis. Tenaga mereka seperti terkuras dalam pendakian yang menjenuhkan. Pada setiap langkah yang kami tempuh, sering kami berpikir, apa yang ingin kami capai dalam pendakian ini? Ketenaran? Cita-cita? Atau, tidak untuk apa-apa?

Laut Kelabu


cerpen : Wayan Sunarta


            Laut itu masih selalu kelabu, sejak berabad-abad lalu. Warna langit yang biru dan sedikit kelam terpantul di lautan kelabu. Pasir yang menghampar hitam seperti tersepuh warna muram. Angin menyisir pohon-pohon nyiur. Jiwaku berdesir…
            Entah apa yang memedihkan hatiku ketika menatap lautan kelabu itu? Selalu saja kakiku ingin melangkah ke situ, duduk di sebuah warung kopi sederhana, dan seakan tak jenuh menatap lautan yang tenang, meskipun kelabu.

Kembar Buncing

cerpen : Wayan Sunarta
 

Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski melahirkan di rumah sakit di kota kabupaten, tapi berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.
Kelahiran bayi kembar buncing dianggap membawa aib yang akan mencemari desa. Menurut awig-awig setempat, orang tua dan bayinya harus diasingkan selama 42 hari di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarganya juga diwajibkan menggelar upacara bersih desa di perempatan desa yang menelan biaya tidak sedikit.

Jimat Tikus

cerpen : Wayan Sunarta


            Walau agak ragu, namun akan saya kisahkan pada Anda, sepenggal pengalaman saya menjadi tikus cerurut. Sejenis tikus yang tampangnya paling tidak menarik, tidak lucu atau imut seperti tikus rumah atau tikus sawah, tidak bersih dan putih seperti tikus percobaan di laboratorium, apalagi menawan dan memesona seperti tikus kantor. Saya hanyalah tikus yang sangat menjijikkan, yang hidup dan mencari sisa-sisa makanan di comberan berbau busuk. Namun siapa yang menyangka, kalau saya adalah pemegang rahasia rencana-rencana busuk dari sejumlah tikus…

Penggalan Kepala Patung


cerpen : Wayan Sunarta


Pada sebuah pelataran candi tua di tepian sungai yang juga tua, aku menyaksikan patung tua berlumut. Patung setinggi tubuhku itu mencitrakan sosok dewi (atau bidadari?). Meski berlumut dan nyaris lapuk, wajah patung itu begitu anggun dengan mahkotanya yang terukir indah. Kedua tangannya di dada mencakup kendi yang terus mengucurkan air bening, mengairi sebuah telaga di bawahnya yang ditumbuhi seroja berbagai warna.

Rumput Liar



cerpen : Wayan Sunarta


Sepanjang sejarah Kecamatan A, baru kali ini dijumpai kejadian yang betul-betul tidak masuk akal. Pak Camat bingung. Seluruh pegawai kecamatan gundah.. Masyarakat resah dan panik. Pangkal dari kejadian aneh itu hanya perkara rumput. Rumput-rumput tumbuh sangat subur dan liar. Rumput tumbuh di mana-mana. Juga kantor-kantor pemerintahan, tak luput dari serangan rumput liar itu. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan rumput, mengalahkan tumbuhan lainnya. Kecamatan A tampak seperti bentangan karpet berwarna hijau. Rumput-rumput liar itu seakan ingin memproklamirkan kemerdekaannya.

Ratih


Cerpen: Wayan Sunarta


Lebih dari lima kali Ratih menatap jam tangannya, namun wisatawan yang ditunggunya belum juga tiba. Kini jam di pergelangan tangannya telah menunjuk angka dua dini hari. Mestinya pesawat yang mengangkut wisatawan itu telah mendarat di Bali sejam lalu. Ah, mungkin ada gangguan teknis atau keterlambatan pemberangkatan, gumam Ratih lirih.

Penjaga Kamar Mayat


Cerpen: Wayan Sunarta


Sudah lebih dua puluh lima tahun Pak Tabah bekerja sebagai penjaga kamar mayat. Rentang waktu yang lumayan panjang itu, dia lewati dengan penuh ketekunan, kegembiraan serta rasa tanggung jawab sebagai penjaga kamar mayat. Ia pun telah menerima penghargaan atas pengabdiannya yang lama dari rumah sakit tempatnya bekerja. Penjaga-penjaga kamar mayat yang junior bangga dan hormat kepadanya. Mereka telah menganggap Pak Tabah sebagai bapak mereka sendiri.

Menunggu


cerpen : Wayan Sunarta


Lelaki itu duduk bertopang dagu di bangku kayu di sebuah taman rumah sakit. Di langit barat, senja baru saja selesai menarik kuas terakhirnya, membubuhkan warna merah keemasan. Dan seperti biasa, burung-burung yang letih pulang ke pembaringannya, di pucuk-pucuk pohon yang berderet di jalan menuju taman rumah sakit itu.

Kutukan



Cerpen: Wayan Sunarta
                       

Langit masih mendung. Sejak sore tadi hujan turun tiada hentinya. Di jalanan sampah-sampah berserakan akibat got-got yang meluap. Sambil sedikit menggigil Pastika mengendarai motor bebeknya, membonceng kekasihnya, Maya. Mereka mampir di sebuah warung jagung bakar yang banyak bertebaran di sepanjang jalan di kawasan Renon. Dingin-dingin begini pasti asyik makan jagung bakar, apalagi bersama kekasih tercinta, pikir Pastika.

Kematian Ayah


 Cerpen: Wayan Sunarta


Dini hari tadi ketika kabut masih bergelayut di ujung-ujung daun kopi, di dahan-dahan cengkeh, di pucuk-pucuk pohon duren, Ayah akhirnya berhasil menyelesaikan hembusan nafasnya yang penghabisan. Ayah pergi dengan sangat tenang, meninggalkan dua istri (satu sudah meninggal), sepuluh anak, lima cucu.

Birgit


cerpen : Wayan Sunarta


          Pantai Kuta. Malam Minggu. Hampir jam delapan. Beberapa pasangan kekasih asyik bercumbu. Pasir masih menyisakan hangat matahari senja.
          “Dika, tolong antar aku ke Legian, ya.”
        Dengan perasaan berdebar lelaki gondrong itu menatap mata biru Birgit yang bagai lautan musim panas. Dalam mata itu, terbayang kamar hotel yang sederhana, namun hangat. Birgit mengambil bir dari kulkas. Minum bersama sambil bercengkerama sampai sedikit mabuk. Kemudian, dengan kepala agak berdenyut, wanita putih berusia 23 tahun itu melepas gaun. Mata biru yang sayu dan penuh gairah itu menghunjam bola matanya yang tiba-tiba saja mau meloncat dari cangkangnya. Lalu wanita yang dikarunia pinggul bagus itu melorotkan celana. Lalu menerkam dengan buas. Berguling-gulingan di kasur empuk. Saling pagut dalam aroma alkohol. Lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi! Bukankah malam ini adalah malam perpisahan? Besok siang, sesuai agenda, Birgit sudah harus terbang ke Jerman.

Anjing dan Dendam


Cerpen: Wayan Sunarta


Jimi seekor anjing lucu, peliharaan keluargaku. Ia termasuk jenis anjing pendek berbulu lebat dengan tampang sangat menggemaskan. Setahun lalu, Ibu membelinya dari penjaja anjing yang sering lewat di depan rumah. Persis seperti memperlakukan anak kecil, Jimi dirawat sangat telaten oleh Ibu dan adik bungsuku. Anjing lucu itu biasa diberi makan teratur dalam sebuah piring khusus yang bersih, diberi minum susu hampir setiap hari, diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan kenalan Ibu. Jimi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami.