Suara Akar Ilalang *
Oleh : Wayan ‘Jengki’
Sunarta
Prolog
(Ngamar Sutra, 2010, karya Laksmi Shitaresmi) |
Dalam dunia seni rupa, perempuan
seringkali hanya menjadi objek (model) untuk karya-karya yang dibuat laki-laki.
Dengan mudah kita menemui lukisan atau patung bertema perempuan, terutama dalam
pose telanjang (nude). Bagi banyak perupa laki-laki, perempuan adalah pusat
keindahan atau sumber inspirasi, oleh karenanya sering dieksploitasi atas nama
kesenian. Namun, sesungguhnya perempuan juga memiliki hak untuk menyuarakan
dirinya lewat karya-karya seni rupa, meski masih sering dianggap angin lalu.
Posisi perempuan sebagai
kreator seni rupa boleh dikatakan sangat marginal. Bahkan sejarah seni rupa di
Indonesia pun tak begitu banyak mencatat kiprah perempuan perupa. Keadaan ini
diperparah lagi dengan minimnya jumlah perempuan perupa di Indonesia. Bahkan,
banyak yang tak berkarya lagi karena didera berbagai kesibukan rumah tangga
(domestik). Seni rupa di Indonesia dikuasai sistem patriarki yang kurang
memberi kesempatan kepada perempuan perupa untuk mengembangkan talenta,
imajinasi dan kreasinya. Misalnya, minimnya kesempatan untuk memamerkan karya,
kurangnya penghargaan terhadap karya perempuan perupa, dan sebagainya. Padahal
kalau diberi kesempatan untuk berkreasi, kualitas karya-karya perempuan perupa
bisa diadu dengan karya-karya laki-laki perupa.
(Laksmi Shitaresmi) |
Sejumlah data tercecer
menyebutkan bahwa sejak awal 1900-an hingga detik ini para perempuan perupa
telah ikut mewarnai dan menyemarakkan dunia seni rupa kita. Misalnya, R.A.
Kartini berserta dua adiknya, Rukmini dan Kardinah, pernah belajar melukis pada
pelukis naturalis Belanda. Kemudian, pada1930-1950-an, tercatat Emiria Soenassa
(anggota PERSAGI) dan Mia Bustam (anggota SIM). Pada tahun 1960-an, muncul
Kartika Affandi, Umi Dachlan, Rita Widagdo, Farida Srihadi, Erna Pirous, Ida
Hadjar. Tahun 1970-1980-an ada Nunung WS, Yanuar Ernawati, Nanik Mirna, Edith
Ratna, Heyi Mamun, dll. Era 1990-2000-an tercatat nama Dolorosa Sinaga, Astari
Rasjid, Arahmaiani, Lucia Hartini, Yani Mariani Sastranegara, Dyan Anggraeni, IGK
Murniasih. Era selanjutnya mencuat nama-nama seperti Tita Rubi, Erica Hestu
Wahyuni, Tintin Wulia, Wara Anindyah, Laksmi Shitaresmi, Bunga Jeruk, Ni Made
Sani. Nama-nama di atas hanya untuk menyebut contoh eksistensi perempuan perupa
di Indonesia.
Tema-tema yang digarap perempuan
perupa itu sangat beragam, mulai dari keindahan alam, kehidupan sehari-hari,
persoalan sosial, urusan domestik, konflik batin, hingga persoalan
ketidakadilan gender. Tema yang disebut terakhir ini lebih banyak muncul pada
periode 1990-an, kemudian semakin intens di tahun-tahun selanjutnya. Perempuan
perupa semakin menyadari bahwa melalui media seni rupa mereka bisa
mengungkapkan berbagai persoalan gender yang mereka alami, baik di dalam rumah
tangga maupun dalam pergaulan sosial budaya lebih luas. Hal ini juga berkaitan
dengan makin maraknya pembahasan feminisme dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya,
yang pada akhirnya masuk ke dalam wacana seni rupa.
Ketidakadilan Gender
(Wara Anindyah) |
Gender bukanlah kodrat, bukan pula sesuatu yang biologis. Gender adalah
suatu konstruksi sosial-budaya yang membedakan laki-laki dengan perempuan yang
dibentuk berabad-abad dalam ideologi patriarki, suatu ideologi yang
mengutamakan laki-laki. Perbedaan gender ini seringkali melahirkan
ketidakadilan gender, berupa stereotype,
kekerasan, beban ganda, marginalisasi, subordinasi. Dalam bidang seni rupa,
misalnya, perempuan seringkali dianggap tak mampu menciptakan karya masterpiece, karya-karya perupa
perempuan kurang diakui dan kurang mendapat tempat yang layak (marginalisasi),
dan sebagainya.
Gender dengan berbagai efek
yang merugikan perempuan sering menjadi wacana dan perjuangan feminisme di
berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Gender merasuk ke dalam berbagai
sistem sosial dan budaya. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, terkandung filosofi,
nilai, norma, yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan sering
dianggap “konco wingking” (teman belakang). Ada pula ungkapan “swarga nunut,
neraka katut” (ke sorga ikut, ke neraka juga ikut) yang menyebabkan perempuan
tak punya pilihan lain, tak boleh melampaui suami, bahkan tak berdaya dan tak
berkuasa atas dirinya sendiri. Perempuan ideal bagi masyarakat Jawa adalah manak (harus bisa memberi keturunan), macak (berdandan), masak (memasak) bagi suaminya. Atau istilah lainnya, perempuan
identik dengan dapur (memasak), pupur (berdandan), kasur (urusan ranjang),
sumur (mencuci).
(Dyan Anggraini) |
Pencitraan perempuan dalam
konteks gender ini dikonstruksi berabad-abad dalam sistem sosial dan budaya
Jawa, bahkan diwarisi hingga sekarang. Banyak perempuan tak menyadari bahwa
konstruksi pencitraan ini, merupakan sumber berbagai ketidakadilan gender.
Bahkan, kata lain dari perempuan adalah “wanita”, yang berarti “wani ditata”,
berani diatur hidupnya oleh laki-laki. Sehingga, perempuan harus hidup dalam
“nrimo ing pandhum”, harus ikhlas menjadi pembantu/pendamping laki-laki,
seberat apa pun bebannya. Banyak obsesi pribadi yang harus diredam demi
memuaskan dan membahagiakan suami. Sebab suami adalah “sigaran nyawa” (belahan
jiwa), suatu konstruksi gender yang ikut melemahkan posisi perempuan.
Gerakan feminisme Barat tak
bisa disamakan dengan gerakan atau pun perjuangan perempuan di Timur, termasuk
Jawa. Perempuan Jawa memiliki kemampuan untuk mengolah sikap pasrah dan nrimo menjadi kekuatan yang luar biasa
hebat. Perempuan Jawa menjalani peran sebagai istri, mengasuh anak, mengurus
rumah tangga, dan bekerja untuk ikut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Melalui sikap pasrah dan nrimo, perempuan Jawa mampu bertahan dan mengatasi berbagai
kesulitan hidupnya.
Suara Akar Ilalang
(Lucia Hartini) |
Pameran ini menampilkan
karya-karya lima perempuan perupa berbeda generasi yang tergabung dalam
Kelompok Akar Ilalang. Nama mereka sudah tak asing lagi dalam kancah seni rupa
di Indonesia. Mereka adalah Lucia Hartini, Dyan Anggraini, Wara Anindyah,
Laksmi Shitaresmi dan Juni Adhitia Wulandari. Tema-tema karya mereka cenderung
berkutat pada persoalan yang dihadapi perempuan, berkelindan dengan dunia
fantasi. Karya-karya mereka adalah suara dari ruang kalbu yang terdengar
sayup-sayup, namun mampu memberi makna bagi kehadirannya.
Para perempuan perupa ini
sejak lahir telah dibentuk dalam kehidupan sosial budaya Jawa yang sangat
kental menganut ideologi patriarki. Di dalam budaya patriarki ini, secara
disadari atau pun tidak, mereka telah mengalami banyak ketidakadilan gender.
Budaya patriarki membuat laki-laki mendominasi struktur sosial, dari tingkat
keluarga hingga yang lebih luas. Laki-laki dianggap sebagai penentu arah
kebudayaan, bahkan kehidupan. Sementara itu, perempuan seringkali hanya
dianggap pelengkap keutuhan kekuasaan laki-laki.
Juni Wulandari |
Meski hidup dalam budaya
patriarki Jawa, lima perempuan perupa ini tidaklah secara frontal menampilkan
karya-karya yang melawan atau memberontak terhadap hegemoni patriarki tersebut.
Kalau pun karya mereka mengandung nuansa pemberontakan terhadap kekuasaan
laki-laki, cenderung diungkapkan secara metaforis, simbolis, bahkan dengan
parodi jenaka. Baiklah, untuk memberi gambaran yang lebih lengkap, selanjutnya
saya akan membahas mereka satu per satu.
Lucia Hartini
(Hati yang Menang, 2010, karya Lucia Hartini) |
Karya-karya Lucia Hartini
berpijak pada surealisme. Kritikus seni rupa, Sanento Yuliman, menggolongkan
Lucia sebagai salah satu penekun “Surealisme Yogya”. Kekuatan lukisannya
terletak pada penggarapan objek dengan sangat detail, semisal buih-buih ombak,
kerut merut batu karang. Lukisan-lukisannya yang metaforis dan surealis penuh
dengan filosofi kehidupan yang digalinya dari perenungan demi perenungan. Lucia
memiliki kemampuan memadukan realitas dengan alam bawah sadar, sehingga kebanyakan
lukisannya mengesankan suasana ambang mimpi yang mencekam.
Hal itu, misalnya, bisa
dilihat pada lukisan “Hati yang Menang” yang merupakan ungkapan pengalaman
Lucia yang telah mampu menjinakkan beringasnya badai kehidupan. Lucia telah
mengecap begitu banyak pahit getir kehidupan, terutama persoalan rumah tangga.
Dia dua kali menikah, dan keduanya gagal. Dia telah berusaha menurut dan patuh
pada suami, namun tetap saja menerima kekerasan fisik maupun psikis. Akhirnya
dia memutuskan bercerai dan tidak menikah lagi. Dan saat itulah dia merasa
jiwanya menang karena mampu menentukan arah hidupnya sendiri tanpa perlu lagi
ditata (diatur) atau berkonfrontasi dengan laki-laki (suami).
Sementara itu, lukisan
“Hancurlah Bunganya” berkisah perihal perempuan (dilambangkan sebagai bunga)
yang tak diberi kesempatan untuk berkembang. Di tengah budaya patriarki,
perempuan selalu mengalami banyak ketidakadilan gender. Lucia pun mengalami
banyak kekerasan dan diskriminasi di dalam rumah tangga, maupun di dalam
pergaulan sosial. Lucia pernah mengalami trauma hebat yang sempat membuat
jiwanya terganggu. Lukisan ini mengungkapkan bahwa ketika perempuan terus
menerus dikekang untuk mengembangkan kemampuannya, suatu waktu dia akan
memberontak dan meledak, menghancurkan dirinya sendiri maupun sekitarnya.
Wara Anindyah
(Biografi Cakrawala Menghilang, 2010, karya Wara Anindyah) |
Wara termasuk sosok pelukis
yang sangat pendiam, cenderung introvert. Namun jiwanya selalu bergejolak, ada
benih-benih pemberontakan yang selalu dipendamnya. Banyak karya periode awalnya
yang menggambarkan ketertekanan batinnya. Namun, karya-karya periode tahun
2000-an sungguh jauh berbeda. Dia banyak menggarap figur Tionghoa yang ironis,
wajah-wajah seperti hantu, namun selalu senyum dan sumringah dengan hiasan
warna-warni yang meriah.
Karya-karya yang dipamerkan kali
ini berbeda dengan karya periode Tionghoa. Karya-karya ini menggunakan warna
hitam putih, tidak ada figur-figur Tionghoa, suasana yang dibangun sangat suram
dan mencekam. Lukisan-lukisan yang dibuat dengan tinta cina di atas kanvas ini
lebih banyak menggambarkan penderitaan, kesakitan, renungan tentang kematian. Di
sini Wara kembali menemukan kejujuran hatinya, semacam dialog batin, tentang
makna hidup dan mati.
Misalnya, lukisan “Simfoni
Bianglala Memudar” berpijak dari pengalaman pribadi Wara ketika bergulat dengan
tumor selama lebih dua tahun. Selama menderita sakit itu, dia merenungi
perjalanan hidupnya, masa lalu, masa kini, masa depan. Dia berupaya membaca
rahasia kehidupan yang terpendam, menyibak kabut mimpi, menerobos dinding
harapan dan penipuan diri. Saat tumor di lehernya dioperasi dia merasa berada
di ambang batas hidup dan mati. Segalanya memudar. Kesunyian menyengat. Tetapi
anehnya naluri, intuisi dan imajinasi menghangat. Menurut Wara, rahasia hidup
terpahami hanya dengan membaca rahasia kematian. Sedang hakekat kematian hanya
mungkin terkuak dengan memasuki rahasia hidup terdalam.
Pada “Biografi Cakrawala
Menghilang”, Wara merenungi hidup hanyalah perjalanan kosong. Wara menyadari
bahwa masa lalu tak terhapus dan masa depan adalah masa kini yang harus
dipahami dan diberi makna. Ke mana arah hidup kalau bukan menuju ke sebuah
pertanyaan besar? Manusia dilahirkan dengan menggendong kematiannya sendiri. Sedangkan,
pada lukisan “Tak Ada yang Abadi”, Wara menganggap manusia lebih hebat dari
dewa karena manusia bisa mati. Kematian akan memahkotai hidup. Penyempurnaan terjadi
dengan adanya kematian. Segala sesuatu memang pasti musnah. Tapi tidak setiap
kemusnahan merupakan kematian. Tak ada yang abadi. Itulah renungan-renungan
yang ingin disampaikan Wara melalui lukisan-lukisannya yang mencekam.
Dyan Anggraini
(Red White, 2011, karya Dyan Anggraini) |
Selama ini karya-karya Dyan
Anggraini dikenal melalui representasi figur-figur perempuan bertopeng,
terkadang dikaitkan dengan figur-figur wayang. Jelaslah bahwa di dalam berbagai
interaksi sosial, manusia cenderung memakai topeng untuk berbagai tujuan, baik
eksistensi diri, pencitraan, maupun penipuan diri. Selain itu, manusia hanyalah
wayang di dalam melakoni kehidupan ini. Itulah sekelumit filosofi yang bisa
dibaca pada karya-karya terdahulu Dyan.
Namun, pada pameran ini,
Dyan menampilkan karya-karya dimana dirinya sendiri sebagai subjek maupun
objek. Sebagai subjek, perempuan perupa harus mampu hadir dan ikut aktif
memberi warna pada perkembangan seni rupa, termasuk ikut menyuarakan
persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Dengan demikian perempuan memiliki
arti bagi kehadirannya. Sehingga, perempuan tak hanya sibuk berkutat pada
persoalan di ranah rumah tangga (domestik).
Lukisan “Berpikir”,
misalnya, merepresentasikan figur Dyan Anggraini yang duduk bertopang dagu. Figur
itu berkostum merah, sedangkan bayangannya berkostum putih. Warna kostum ini
merupakan simbol bendera merah putih. Dalam pose berpikir atau melamun ini,
berbagai rupa persoalan menyergap benak sang tokoh. Perempuan pun ikut terlibat
memikirkan persoalan bangsa dan negara yang makin tak jelas arahnya.
Posisi perempuan di tempat kerja juga sering bergesekan dengan
ideologi patriarki, yang tak jarang menimbulkan ketidakadilan gender. Perempuan
berupaya bertahan, atau melindungi dirinya, bila perlu melancarkan
pemberontakan. Lukisan “Berlindung” adalah ungkapan keresahan Dyan terhadap
posisi perempuan di tengah berbagai persoalan yang dihadapinya di tempat kerja.
Selain pelukis, Dyan Anggraini adalah seorang PNS. Dia menjabat sebagai Kepala
Taman Budaya Yogyakarta. Jelaslah interaksi di tempat kerja seringkali muncul menjadi
inspirasi untuk karya-karya terkininya.
Laksmi Shitaresmi
(Monggo Pakne..., 2010, karya Laksmi Shitaresmi) |
Laksmi termasuk perempuan
perupa yang kenyang dengan penderitaan hidup. Dia keturunan ningrat Jawa. Sejak
kanak-kanak dia telah terbiasa menerima kekerasan fisik dan psikis dari ayah
dan adik lelakinya, dari dunia patriarki Jawa. Dia pernah mengalami goncangan
jiwa yang hebat. Trauma berkepanjangan. Usia remaja dia kabur dari rumah dan
hidup di jalanan. Dia berjuang untuk mempertahankan kehidupannya. Karya-karya
periode awalnya banyak melukiskan tentang penderitaan perempuan. Mirip Frida
Kahlo, dia menggunakan dirinya sendiri sebagai model lukisan dengan pose-pose
yang ironis dan mengenaskan. Keindahan dan kepiluan campur baur dalam banyak
lukisan awalnya.
Laksmi adalah perupa termuda
dari Kelompok Akar Ilalang. Meski usia muda, Laksmi intens mengeksplorasi
berbagai kemungkinan dalam dunia seni rupa. Selain melukis, dia juga membuat
patung dan seni instalasi. Karya-karyanya banyak terinspirasi dari filosofi dan
ikon budaya Jawa yang dipadu dengan berbagai isu sosial yang lagi hangat.
Selain itu, pada sejumlah karyanya juga tersembunyi persoalan-persoalan
ketidakadilan gender dari ranah domestik (rumah tangga) yang pada akhirnya
berkembang menjadi persoalan perempuan pada umumnya.
Karya-karya Laksmi cenderung
dekoratif, namun terkandung keberanian mengungkapkan suatu yang tabu. Misalnya,
karya “NgamarSutra” menampilkan adegan coitus seorang perempuan dengan kuda
jantan berbadan separuh manusia. Karya ini bersumber dari fantasi Laksmi
terhadap hubungan intim suami-istri, yang semestinya dipenuhi kenikmatan lahir
dan batin, sehingga terwujud kedamaian dan ketentraman dalam rumah tangga.
Laksmi menyimbolkan laki-laki sebagai kuda jantan. Namun, dalam karya ini,
posisi perempuan yang ditindih kuda jantan, jelas masih menggambarkan perempuan
Jawa yang pasrah dan nrimo, suatu watak yang dibentuk oleh budaya patriarki.
Agak berbeda dengan karya
Laksmi yang berjudul “Monggo Pakne Ayo Bukne” yang menggambarkan sepasang tikus
bermain tali. Di sini tampak tikus betina yang memegang kendali permainan.
Tikus betina tampak asyik menarik atau memainkan tali yang terpatok di kepala
tikus jantan yang bermahkota. Tikus jantan ini dalam posisi sungsang, kepala di
bawah kaki di atas. Secara simbolis, karya ini mengandung suatu pemberontakan
terhadap dunia laki-laki yang selama ini sering mengendalikan perempuan. Namun,
dalam karya ini, pemberontakan itu diungkapkan dengan jenaka.
Juni Adhitia Wulandari
(Suara Ratan, 1998, karya Juni Wulandari) |
Juni mengaku bahwa dirinya
bukanlah penganut feminisme, meski beberapa karyanya seringkali dikait-kaitkan
dengan gerakan feminisme. Namun, di sisi lain Juni mengatakan bahwa laki-laki
dan perempuan Jawa sesungguhnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dan
keharmonisan keluarga akan lebih indah jika ada perbedaan, tanpa perlu melawan.
Baginya, suami adalah sigaran nyawa (belahan jiwa) sehingga berbakti pada suami
adalah suatu keharusan sebagai pribadi yang tahu budi pekerti Jawa. Juni
termasuk beruntung karena suaminya sangat mendukung kariernya sebagai pelukis.
Juni menganggap melukis
sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia mengatakan karya-karya yang
diciptakannya adalah untuk memberi makna pada kehidupan, menembus ruang dan
waktu untuk menuju keutamaan hidup. Inspirasi lukisan-lukisannya lebih banyak digali
dari dunia fantasi, cenderung naivisme, tidak proposional dan bertaburan
warna-warni meriah. Sebelum beralih ke naivisme, Juni pernah cukup lama menggarap
lukisan-lukisan figuratif bertema perempuan. Karya-karya terkininya menyiratkan
kebahagiaan dunia anak-anak. Namun selalu terkandung pesan-pesan tertentu yang
ingin disampaikannya. Terkadang pada sejumlah karyanya mencuat
persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang menjadi keprihatinannya.
Misalnya, terlihat pada lukisan yang bertema pergolakan dan reformasi Mei 1998.
Epilog
Karya-karya lima perempuan
perupa ini memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa masing-masing mengusung
persoalan yang berbeda. Keinginan untuk menyuarakan diri begitu kuat dan
menemukan mediumnya lewat karya-karya seni rupa yang mereka ciptakan. Ada cukup
banyak perenungan yang bisa dipetik dari karya-karya mereka. Dan, tentu saja,
tergantung pada keterbukaan jiwa kita untuk mendengar suara kalbu mereka, meski
sayup-sayup. Itulah suara-suara dari Akar Ilalang.
*tulisan untuk katalog
pameran “Akar Ilalang” di Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali. Pameran
berlangsung dari 25 Mei – 27 Juli 2012.
postingnya bagus sob makasih
ReplyDeletejangan lupa berkunjung ke web kami di
http://stisitelkom.ac.id
Memang di balik kelembutannya, wanita menyimpan energi dahsyat dan kreativitas tanpa batas. Apa jadinya alam semesta tanpa wanita? Salam kagum buat para wanita perkasa dan Mas Wayan yang trampil mengulas.
ReplyDelete