(Pengantar kuratorial pameran “Polusi Rasa” Atmi Kristiadewi di Ten Fine Art
Gallery, Sanur, 4 - 14 Juni 2011)
Polusi Rasa : Atmi
dan Dunia Anak-anak
Oleh: Wayan Sunarta *
Anak-anakmu
bukanlah milikmu
Mereka
adalah putra-putri kehidupan
Yang
rindu pada dirinya sendiri...
(Kahlil Gibran)
![]() |
(salah satu karya Atmi) |
Dunia anak-anak adalah suatu dunia yang polos, riang, senang bermain, selalu
ingin tahu, namun terkadang menjengkelkan para orang tua. Anak-anak ibarat
kertas putih yang siap menerima goresan warna apa saja. Kalau salah memberi
warna, maka anak-anak akan tumbuh dewasa dengan warna yang salah itu.
Kesalahan terbesar para orang tua adalah mereka seringkali menganggap anak-anak
sebagai miliknya yang absolut. Mereka mencekoki otak anak-anak dengan berbagai keinginan
yang seringkali bertabrakan dengan keinginan anak-anak itu sendiri. Misalnya,
anak-anak disuruh les ini-itu, dijejali pelajaran-pelajaran yang belum perlu,
diarahkan menjadi ini-itu, sehingga anak-anak depresi dan mencari pelampiasan
dengan hal-hal yang membahayakan.
Karena rasa ingin tahunya yang tinggi, anak-anak sangat riskan dengan
berbagai pengaruh dari luar dirinya, baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh
negatif tentu sangat berbahaya bagi
pertumbuhan mental anak-anak. Pengaruh negatif itu bisa langsung datang dari
lingkungan keluarga, pergaulan sosial, siaran-siaran televisi yang tidak layak
ditonton anak-anak, playstations atau
video game, dunia maya internet (web,
facebook, twitter, dsb-nya).
Karena pengaruh-pengaruh negatif itu pula, ada bocah lelaki yang tega memerkosa
teman perempuannya karena mencontoh adegan film biru di layar ponselnya. Atau,
bahkan tersebar film biru 3GP yang melibatkan anak-anak sebagai subjek maupun
objeknya. Di tempat lain, seorang anak tega membunuh teman bermainnya hanya
persoalan sepele. Atau, anak menembak temannya dengan senapan angin. Kasus
kenakalan anak-anak di luar batas toleransi makin merebak akhir-akhir ini.
Kecanggihan teknologi turut menjadi penyebab kekacauan mental anak-anak.
Banyak di antara mereka yang dewasa sebelum waktunya, alias matang dikarbit.
Tentu saja semua ini terjadi karena kurangnya kontrol dari para orang tua, baik
orang tua di rumah, guru di sekolah, maupun pemerintah yang kurang memberi
ruang aktivitas yang positif untuk perkembangan anak-anak.
Keadaan ini akan semakin parah bagi anak-anak yang tumbuh dalam keluarga
berantakan alias broken home. Di
rumah, tak ada tempat baginya untuk bertanya, mengadu, atau sekedar mendapatkan
curahan kasih sayang, maka mereka memilih jalanan, televisi dan dunia internet
sebagai orang tuanya. Ketika para orang tua tak memberikan cinta dan kasih
sayang, mereka menyerap kasih sayang dari pergaulan di facebook. Maka sering terjadi kasus penculikan anak-anak dengan
menggunakan facebook sebagai modus
operandi. Anak-anak juga banyak belajar pada siaran-siaran dan berbagai jenis
iklan di televisi karena guru-guru di sekolahnya telah banyak kehilangan
wibawa. Anak-anak menjadi seperti anak-anak ayam kehilangan induk, kebingungan
menentukan arah hidupnya.
Atmi dan
Anak-anak
![]() |
(Atmi dan karya trimatranya) |
Dunia anak-anak beserta problemanya inilah yang menarik perhatian Ni
Komang Atmi Kristiadewi untuk dituangkannya ke bidang kertas, kanvas, dan
medium lainnya, menjadi karya seni rupa yang menarik perhatian. Atmi, begitu
gadis kelahiran Denpasar, 24 Juni 1990 ini biasa disapa, belumlah menjadi
seorang ibu. Meski dia sering dipanggil “ibu guru” oleh anak-anak didiknya. Sambil
menyelesaikan kuliah seni rupanya di IKIP PGRI Bali, Atmi juga mengabdi menjadi
guru honorer untuk pelajaran menggambar di SDN 1 Kesiman. Pengalaman menjadi
guru ini pula yang makin membuka wawasannya tentang dunia anak-anak beserta
problem-problemnya.
Melalui karya-karya
seni rupanya, Atmi ingin membagi pengalamannya tentang dunia anak-anak.
Bertempat di Ten Art Gallery, Sanur, Atmi menggelar pameran tunggal perdananya,
bertema “Polusi Rasa”. Dalam karya-karya Atmi, terlihat persoalan-persoalan
dunia anak-anak berkelindan dengan persoalan yang lebih luas, seperti kritik
lingkungan, teknologi, budaya, sosial, dan sebagainya. Bagi Atmi, tema “Polusi
Rasa” dilatari oleh berbagai hal yang mengganggu pikiran dan perasaannya ketika
berinteraksi dengan berbagai persoalan dalam ruang lingkup pergaulan sosial dan
pekerjaan sebagai guru, maupun berita-berita di televisi yang menyentuh ruang
benak dan batinnya.
Polusi-polusi
pikiran dan perasaan yang “mengganggu” atau “menggelisahkan” itu dituangkannya
dalam bentuk karya-karya seni rupa, baik lukisan, sketsa, drawing, maupun karya
tri matra. Nada-nada yang muncul dalam karyanya juga beraneka rupa, seperti
cemas, sedih, senang, kesal, kecewa. Polusi-polusi ini menjadi energi kreatif
dalam kegelisahannya sebagai perupa muda.
“Melukis bagi saya
sama seperti menulis buku harian. Setiap karya atau lukisan mengandung kisah
tersendiri, yang terkadang seperti mosaik perasaan-perasaan, harapan-harapan,
kegelisahan-kegelisahan yang muncul ketika berinteraksi dengan berbagai
persoalan di dalam diri maupun di luar diri saya,” tutur Atmi menjelaskan
konsep berkeseniannya.
Secara visual, Atmi
memilih naivisme untuk mengekspresikan kegelisahan batinnya. Kecenderungan
naivisme adalah kepolosan, kesederhanaan, tidak peduli dengan komposisi,
perspektif, proporsi objek, pewarnaan, dan tetek bengek teknik seni rupa yang
diajarkan di bangku akademik. Seni naif merupakan cara melukis yang meniru gaya
anak-anak melukis, atau melukis sesuatu dengan kaca mata anak-anak. Semua itu
untuk mengembalikan seni pada kemurniannya, yakni ekspresi pikiran dan
perasaan. Pilihan Atmi terhadap cara ungkap naif dilatari oleh kesenangannya
pada dunia anak-anak yang penuh keceriaan, kepolosan, rasa ingin tahu,
kenakalan, penuh imajinasi. Atmi sendiri melewati masa kanak-kanaknya dengan
gembira.
“Masa kanak-kanak
bagi saya merupakan suatu masa yang sangat menyenangkan. Saya sendiri melewati
masa kanak-kanak dengan penuh keceriaan,” ujar Atmi mengenang masa
kanak-kanaknya.
Salah satu kenangan tentang masa kanak-kanak yang menyenangkan itu
diungkapkan Atmi melalui lukisan bernada riang berjudul “Taman Impian”. Lukisan
ini diilhami kenangan Atmi ketika diajak orang tuanya berwisata ke kebun
binatang. Atmi terkagum-kagum menyaksikan
berbagai macam binatang, dari yang jinak dan lucu hingga yang buas dan
menjijikkan. Dalam lukisan ini, dia menampilkan jerapah, gajah, lembu, burung,
kupu-kupu, ular, tikus, dan sebagainya. Namun, tidak semua jenis binatang itu
disukai Atmi. Beberapa diantaranya malah membuatnya ketakutan, misalnya ular,
laba-laba, tawon.
“Biasanya, hewan-hewan yang tidak saya sukai, saya lukis dalam bentuk
robot atau bentuk yang lucu-lucu,” ujar Atmi.
Kecemasan Atmi
Masa kanak-kanak memang menyenangkan. Namun, dalam sejumlah karya Atmi,
kita bisa merasakan kecemasan Atmi tentang nasib anak-anak sekarang yang
dikelilingi dan didikte oleh berbagai benda teknologi canggih, seperti
televisi, handphone, komputer, internet. Atmi pun sering menyaksikan anak-anak
didiknya membawa handphone ke sekolah, atau bahkan pernah memergoki mereka
sedang asyik menonton film biru di layar ponselnya.
“Saya cemas melihat anak-anak sekarang. Memakai kecanggihan teknologi
untuk hal-hal yang belum pantas bagi mereka. Apa jadinya mereka nanti ketika
menginjak usia remaja?” ujar Atmi dengan nada cemas.
Atmi menumpahkan
kecemasannya itu dalam lukisan berjudul “Deman Teknologi”. Dalam karya dengan
latar blok-blok warna-warni itu, Atmi menampilkan sosok lelaki berkacamata yang
mengenakan jas dan dasi. Tangan lelaki itu terentang seperti sedang menjajakan
balon mainan anak-anak. Namun, yang dijajakan bukanlah balon warna-warni,
melainkan benda-benda teknologi mutakhir, seperti handphone, laptop, televisi,
radio. Nampak bocah lelaki dan perempuan tergiur dengan benda-benda yang
dijajakan oleh lelaki perlente itu. Melalui lukisan ini, Atmi berupaya mengritisi
peranan orang tua yang tak mampu menjadi pengayom yang baik bagi anak-anaknya.
“Saya melihat
justru orang tua yang seringkali memanjakan dan mengajari anak-anaknya dengan
benda-benda teknologi yang belum pantas, seperti menggunakan handphone atau facebook,
membuka situs-situs internet, dan sebagainya. Kalau tidak diawasi, ini tentu
berbahaya bagi anak-anak,” tutur Atmi.
Kecemasan Atmi
terhadap anak-anak tidak hanya pada bahaya teknologi, melainkan juga pada
berbagai jenis makanan dan minuman instan yang justru banyak digemari anak-anak
sekarang. Tanpa sadar, anak-anak pun diberi pupuk racun berlebihan sehingga
bisa memengaruhi pertumbuhan otak dan tubuhnya. Misalnya, karya berjudul “Ibu”
menggambarkan para ibu muda lebih suka memberikan bayi dan balitanya susu
buatan pabrik (susu kaleng) ketimbang ASI. Kurangnya asupan ASI berakibat pada
lemahnya daya tahan tubuh si balita dan kurang terjalinnya hubungan batin
antara ibu dan anak.
Melalui karya-karyanya, Atmi juga mengritisi kehidupan masyarakat Bali jaman
sekarang. Atmi berpendapat bahwa masyarakat Bali sekarang telah dikepung oleh
mesin dan teknologi canggih. Bahkan, seolah-olah otak dan anggota badan sudah
menjadi bagian dari mesin. Sibuk bekerja siang-malam demi mengumpulkan uang,
sehingga seringkali mengesampingkan dan menyepelekan urusan agama, adat, sosial-budaya,
yang telah menjadi bagian dari Bali itu sendiri.
Hal itu diungkapkan Atmi dalam lukisan berjudul “Mesin
Teknologi” yang menggambarkan suasana runyam dalam silang sengkarut manusia dan
mesin. Dalam lukisan ini terlihat pipa-pipa mesin yang melintang sana-sini,
berbaur dengan cerobong-cerobong asap yang banyak menyebabkan polusi, manusia-manusia
stress, tikus-tikus gendut yang berseliweran mencari mangsa. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti otak
orang-orang Bali akan menjadi mesin. Dan budaya Bali akan berubah menjadi
budaya mesin, yang lebih mementingkan sisi materi, praktis dan pragmatis.
Kecemasan Atmi
terhadap Bali juga terlihat dalam karya berjudul “Polusi”, yang menggambarkan
Bali dikerubungi berbagai jenis limbah, baik limbah pabrik, asap kendaraan,
tata ruang yang kacau balau, sungai-sungai kotor dicemari limbah rumah tangga
dan pabrik. Semua ini jelas akibat ulah manusia sendiri. Dan yang jadi korban
tentu juga anak-anak. Selain kurangnya tempat bermain yang kondusif, anak-anak
berkembang dan tumbuh dalam sebuah dunia yang penuh polusi. Terlihat dalam
lukisan ini tiga bocah perempuan disemburkan asap-asap pabrik yang tebal
bergulung-gulung. Hal ini menjadi suatu tragedi bahwa anak-anak, generasi
penerus kehidupan, yang menjadi korban paling parah dari berbagai jenis polusi
ini.
Kecanggihan mesin
dan teknologi tetap saja tak mampu melawan kehendak alam. Misalnya, Jepang yang
dilanda tsunami dahsyat baru-baru ini. Bencana itu menelan korban ribuan jiwa
dan harta benda tak terhitung. Bencana makin parah ketika reaktor nuklir yang
dibangga-banggakan meledak. Manusia tak mampu berbuat apa di bawah kuasa alam.
Dalam hal ini, sesungguhnya bukan manusia yang menguasai alam, melainkan
alamlah yang menguasai manusia. Atmi mengritisi tragedi tsunami Jepang ini
dalam lukisan berjudul “Di Balik Senyum Matahari Terbit”, senyum ceria Negara
Matahari Terbit yang berubah seketika menjadi kesedihan mendalam ketika tsunami
melanda negara yang terkenal dengan kecanggihan teknologinya itu.
Secara umum, melalui
karya-karyanya, Atmi ingin menyampaikan suatu pesan agar hati-hati dengan
teknologi, terutama ketika menyentuh dunia anak-anak. Secanggih apa pun
penguasaan manusia terhadap teknologi, kalau tidak disikapi dengan bijaksana,
maka kehancuran akan menanti di depan mata kita.
Meski tergolong
pelukis muda usia, namun Atmi telah menjajal kemampuannya dalam sejumlah
pameran bersama. Di antaranya adalah Pameran Tugas Akhir SMKN 1 Sukawati
(2008), Pameran Bersama Komunitas Suka-Suka
bertajuk “minia[r]ture” di Museum Pendet, Nyuh Kuning, Ubud (2010), Pameran
Seni Rupa Perempuan Indonesia-Perancis di Demensi Gallery, Surabaya (2011).
Dan, pada tanggal
17 Juli 2011, Atmi bersama pelukis Made Wiradana, Made Duatmika, Pande Alit
Wijaya Suta dan Uuk Paramahita, akan mewakili Indonesia dalam “Sabah
International Folklore Festival (SIFF)” di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Dalam festival yang melibatkan 26 negara ini, Atmi adalah pelukis termuda dari
Indonesia.
* penulis adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra,
Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Rupa di ISI Denpasar. Karya-karya
sastra dan tulisan-tulisan seni rupanya dimuat di sejumlah media massa
lokal dan nasional.
Menarik !!!
ReplyDelete