Oleh : Wayan ‘Jengki’
Sunarta
Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
…….
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan
(Sajak Pulau Bali, WS Rendra, 23 Juni 1977)
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan
(Sajak Pulau Bali, WS Rendra, 23 Juni 1977)
![]() |
(Made Kaek, Gubernur Bali Mangku Pastika, dan Wayan Redika saat pembukaan pameran) |
Seperti biasa, masyarakat Bali menaruh
begitu banyak harapan dan impian di pundak dan benak gubernur yang baru
terpilih. Tidak hanya harapan dan impian dari kalangan seniman dan budayawan,
melainkan juga dari industri pariwisata, lembaga pendidikan, lembaga adat,
pers, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan Bali. Sementara itu, harapan
dan impian rakyat jelata mungkin dianggap angin lalu, sebab tak memiliki akses
langsung pada jejaring kekuasaan.
Pencitraan merupakan upaya-upaya kuno
yang hingga kini masih dipratekkan manusia untuk berbagai kepentingan dan
kekuasaan. Selain itu, pencitraan selalu berkaitan dengan konspirasi yang
melibatkan banyak elemen. Jargon “Bali Mandara”, misalnya, tak jauh berbeda
dengan jargon “Bali Pulau Surga”. Yang ditonjolkan selalu fantasi-fantasi Bali
yang indah, eksotis, tentram sentosa, gemah
ripah loh jinawi, seakan tak ada persoalan gawat yang terjadi. Pencitraan
semakin membuat masyarakat Bali terlena. Sebab, kenyataan yang terjadi begitu
jauh berbeda dengan jargon yang didengungkan, yang melahirkan gambaran yang
paradoks dan kontradiktif.
Suatu kali, saya membuat status di
Facebook: “Apakah Bali masih layak disebut Pulau Surga? Atau telah menjadi
Pulau Neraka?” Ternyata komentar yang muncul sungguh beragam, baik dari orang
yang sudah pernah melancong ke Bali maupun yang belum. Kebanyakan menganggap
Bali adalah Pulau Surga, dengan keindahan alam yang memikat, kesemarakan seni
budaya adiluhung, perilaku yang ramah tamah dan sopan santun. Namun, ada juga
beberapa komentar yang berupaya mengritisi Bali, terutama persoalan sampah,
kriminalitas, kasus sosial, budaya, dan sebagainya.
Sebelum dicitrakan sebagai Pulau Surga,
Pemerintah Hindia Belanda menganggap Bali sebagai salah satu pulau primitif,
barbar dan biadab. Kebarbaran dan kebiadaban itu tercermin dari berbagai ritual
yang menggunakan daging dan darah hewan kurban (seperti ritual nyambleh, tabuh rah), pemakan daging mentah dan peminum darah (tercermin dari
masakan lawar, komoh), janda-janda raja yang bunuh diri di dalam kobaran api (ritual
mesatya), perampasan dan perampokan
kapal-kapal dagang yang karam (dengan istilah Hak Tawan Karang), perdagangan budak dan opium terbesar, perang puputan yang lebih menyerupai bunuh diri
massal, pusat ilmu sihir (leak, dukun),
perempuan telanjang dada, dan sejumlah citra primitif lainnya.
Perang Puputan yang terjadi silah
berganti di awal abad ke-19, membuat citra Pemerintah Kolonial Belanda
tercoreng. Eropa mengecam Perang Puputan itu sebagai ladang pembantaian, Untuk
memulihkan citranya, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian membuat citra baru, mempropagandakan
dan mempromosikan Bali sebagai Pulau Surga. Melalui perusahaan pelayaran
Belanda, KPM (Koninkklijk Paketvarrt Maatschapij), Bali dipropagandakan sebagai
daerah tujuan wisata yang unik dan eksotis.
Revolusi mesin cetak semakin
menyemarakkan pencitraan Bali sebagai bagian dari Mooi Indie. Brosur, poster, kartu pos, perangko, buku, foto, dan
film yang mencitrakan Bali sebagai Pulau Surga tersebar di belahan benua Eropa
dan Amerika. Turis dan seniman berbondong-bondong melancong ke Bali. Mereka
ingin menyaksikan langsung perempuan telanjang dada, teater dan tari yang
eksotis, keindahan pegunungan, persawahan dan pantai yang permai. Sejak itu,
Bali menjadi daerah tujuan wisata yang paling diminati. Para penulis dan
fotografer Eropa dan Amerika secara simultan turut andil mencitrakan Bali
sebagai Pulau Surga, seperti Covarrubias, Gregor Krause.
Begitulah. Pencitraan Bali sebagai Pulau
Surga merupakan salah satu warisan Pemerintah Kolonial Belanda yang hingga kini
masih terus dilestarikan dan dikembangkan oleh Pemerintah Bali melalui Dinas
Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Pencitraan ini membuat Bali bergelimang
dollar, turut andil mendongkrak devisa negara, konon mampu memakmurkan dan
menyejahterakan masyarakat Bali.
Memang harus diakui, melalui industri pariwisata
beberapa gelintir daerah di Bali menjadi makmur, seperti Ubud, Sanur, Nusa Dua,
Kuta, Tuban, Amed, Lovina. Namun, kemakmuran itu tidaklah merata. Sebab masih
banyak daerah di Bali yang menderita kemiskinan, miskin materi, miskin
pendidikan, dan tak tersentuh gebyar pariwisata. Bahkan ada beberapa wilayah di
Karangasem yang belum terjamah listrik, misalnya Kedampal di lambung Gunung
Agung.
Kemajuan industri pariwisata Bali lebih
banyak dinikmati para investor dan konglemerat (pemilik modal) yang berasal
dari luar Bali, bahkan luar negeri. Orang Bali sendiri kebanyakan menjadi kuli
di dalam industri pariwisata itu. Sembilan puluh sembilan persen dari
masyarakat Bali belum bisa merasakan lezatnya kue pariwisata. Angka
pengangguran makin meningkat. Sogok menyogok untuk diterima jadi PNS sudah
menjadi rahasia umum. Bantuan-bantuan dana untuk kepentingan masyarakat,
termasuk untuk kegiatan seni dan budaya, disunat oleh oknum-oknum pejabat
pemerintah yang doyan korupsi.
Para pemegang kekuasaan dan kebijakan
yang berkepentingan dengan pariwisata Bali selalu menggembar-gemborkan
upaya-upaya pelestarian seni dan budaya Bali sebagai aset terpenting pariwisata
Bali selain keindahan alamnya. Namun pada saat yang sama terjadi perusakan dan
penghancuran besar-besaran terhadap tata ruang, alam, seni dan budaya Bali. Kerusakan
dan dekadensi ini dianggap sebagai imbas negatif pariwisata dan pengaruh buruk
globalisasi, tanpa upaya-upaya yang signifikan untuk memperbaiki keadaan.
![]() |
(karya Nyoman Erawan) |
Tragedi Bom Kuta membuka mata dunia
bahwa Bali Pulau Surga hanyalah fantasi. Bali telah banyak berubah. Bali makin
tidak aman. Dan tidak sedikit turis yang mengeluh melihat kenyataan yang
terjadi di Bali, seperti kasus kriminalitas, kemacetan, sampah, dan sebagainya.
Dan, banyak turis yang merasa dibohongi dengan pencitraan-pencitraan yang
terlalu berlebihan terhadap Bali. Angka kunjungan wisatawan pun sempat
mengalami penurunan yang signifikan yang membuat banyak pihak di dalam industri
pariwisata panik.
Namun, dengan kecanggihan teknologi, pencitraan
Bali sebagai Pulau Surga atau Pulau Dewata terus menerus diproduksi hingga
kini, baik melalui brosur-brosur dan buku pariwisata, film, video clip, foto,
kartu pos, media massa (majalah pariwisata), internet (web site, facebook), dan
sebagainya. Demi meraup keuntungan yang lebih besar, komponen-komponen pariwisata
“bergotong royong” menampilkan Bali dalam frame Mooi Indie. Dunia kembali
dicekoki oleh bayangan Bali yang indah dan molek, Bali dengan seni dan budaya
adiluhung, sawah-sawah terasering hijau permai,
pantai yang asri, ombak yang aduhai, hutan yang lebat, gunung yang
anggun, perempuan-perempuan seksi berkebaya, pura yang meruapkan wangi dupa,
tari-tari yang eksotis dan gemulai, dan sebagainya. Citra-citra Bali yang Mooi ini kembali membuat para wisatawan mancanegara
bergairah untuk melancong ke Bali. Orang-orang luar Bali berlomba-lomba meraup rejeki
dan mengadu peruntungan di Bali. Tak ketinggalan para cukong dan konglemerat
dengan sigap mencaplok setiap peluang yang ada di Bali.
![]() |
(karya Ari Winata) |
Di kawasan kota, seperti Denpasar dan
Kuta, kemacetan semakin memprihatinkan. Jalan-jalan yang sempit tak mampu
menampung jumlah kendaraan yang makin membludak. Kemacetan makin diperparah
dengan proyek-proyek perbaikan pipa air, kabel, saluran limbah, serta kerusakan
jalan. Pasar rakyat berhadapan dengan hypermarket, warung-warung bersaing
dengan Circle K, MiniMart. Sampah plastik, limbah rumah tangga, pabrik dan
hotel mencemari saluran-saluran irigasi, sungai-sungai dan pantai.
Dalam bidang sosial, budaya, agama juga
terjadi kegoncangan. Pratima dan
benda sakral di sejumlah Pura dicuri, justru oleh orang Bali sendiri, dan dijual
sebagai barang antik. Persoalan batas desa/banjar, rebutan tanah kuburan, sengketa tanah pelaba pura, rebutan
lahan parkir, sanksi adat yang melanggar HAM, polemik tata ruang dan aturan
ketinggian bangunan, pergolakan partai politik, korupsi, keculasan oknum pejabat
pemerintah, seringkali menjadi berita hangat di media massa. Bahkan, tak
jarang, persoalan-persoalan ini menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Begitu pula dengan bidang kesenian. Batas antara sakral dan
profan semakin tipis. Ritual sakral dengan mudah dipermak untuk hiburan bagi
para turis. Misalnya, ritual Makare-kare
di Desa Tenganan, Karangasem, dijadikan daya tarik pariwisata dan dikemas dalam
brosur yang memikat. Seniman-seniman tradisional dibayar murah, diangkut dengan
truk layaknya sapi, dipentaskan di hotel-hotel berbintang. Penari-penari joged
bumbung makin berani menampilkan atraksi vulgar, seperti bergoyang sambil
mempertontonkan selangkangan. Semua bisa dikemas demi pariwisata. Demi
pariwisata pula, Bali dieksploitasi habis-habisan.
Budaya agraris dan maritim bergeser
menjadi budaya urban dan kosmopolitan. Pergeseran ini mencuatkan berbagai
konflik. Terjadi benturan antara agama, tradisi, budaya di satu kubu dengan
kubu lain berupa ekonomi (kapitalisme) dan gaya hidup perkotaan (urban,
kosmopolitan). Manusia Bali kebingungan berada di persimpangan jalan.
Kebingungan antara upaya-upaya mempertahankan dan menjalankan nilai-nilai
tradisi dan godaan globalisasi.
Contoh-contoh di atas hanya sebagian
kecil dari banyak persoalan dan kenyataan yang terjadi di Bali. Namun hingga
kini di benak banyak orang, Bali masih tercitrakan sebagai Pulau Surga. Bahkan,
citra itu telah melenakan orang Bali sendiri sehingga kurang peduli dengan
berbagai persoalan yang menimpa tanah kelahirannya.
Ketidakpedulian, kurangnya sikap kritis
terhadap Bali, juga merambah benak banyak perupa Bali. Pelukis-pelukis lulusan
perguruan tinggi seni, misalnya, kebanyakan memilih jalan aman dan nyaman
sebagai “pengerajin” lukisan. Sehingga karya-karya yang hanya mengejar
keindahan, “made to order”, dan berbau turistik mendominasi seni rupa Bali.
Karya-karya yang lahir dari fantasi ini turut andil mengekalkan kebohongan
tentang Bali.
Di Bali, idealisme berkesenian menjadi
“barang langka”. Tak mudah mencari perupa Bali yang peka terhadap berbagai
persoalan yang menimpa Bali dan mengekspresikannya secara intens ke dalam karya.
Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dan asyik meladeni selera pasar. Sibuk
mengorek estetika yang formalistik, namun melupakan eksplorasi gagasan dan
konten karya. Pendek kata, mereka asyik masyuk masturbasi dengan estetika, dan
melupakan berbagai persoalan yang bersliweran di depan hidungnya.
Setelah cukup lama sibuk menggali
identitas ke-Bali-an, dibuai dan dibui selera/trend pasar seni rupa, kini
saatnya harus muncul gerakan baru di Bali. Suatu gerakan yang berani melawan
arus, yang mampu bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang terjadi di
Bali, yang berani melawan kebijakan-kebijakan yang timpang dari kekuasaan.
Suatu gerakan seniman yang cerdas dan memiliki gagasan bernas, yang mampu
beropini, baik melalui karya maupun lewat forum-forum diskusi dan media massa
(media cetak maupun internet). Sebuah gerakan seniman yang terus menerus mengritisi
berbagai persoalan di Bali.
Komitmen Gubernur Bali yang menggunakan strategi
budaya (di dalamnya termasuk kesenian) untuk “Bali Mandara” perlu kembali dikritisi.
Misalnya, apakah kreativitas berkesenian telah terakomodasi lebih baik? Apakah
telah tersedia anggaran dana yang cukup untuk memajukan seni dan budaya, dan
sampai dengan selamat kepada yang berhak, tanpa sunatan atau potongan ini-itu? Apakah
seni dan budaya hanya menjadi pelengkap penderita atau “barang dagangan” yang
dijual demi kepentingan industri pariwisata? Contoh yang paling nyata,
misalnya, Taman Budaya Bali, apakah telah mampu mewadahi kegelisahan seniman di
Bali? Apakah Taman Budaya Bali telah menyediakan diri sebagai dapur kreatif
bagi seniman di Bali? Atau, hanya sebatas menjadi ajang Pesta Kesenian Bali? Ke
depan, Taman Budaya Bali, harus membuka diri selebar-lebarnya untuk berbagai
bentuk kegiatan seni dan budaya. Taman Budaya Bali harus mampu menjadi “rumah”
bagi kegelisahan kreatif para seniman.
Kegiatan “Entitas Nurani #2” merupakan
suatu upaya untuk menggedor pintu kesadaran jajaran pejabat pemerintah di Bali.
Tanpa seni dan budaya, Bali hanyalah pulau biasa. Kesenian bukan untuk dijual
layaknya komoditi. Fungsi terpenting kesenian adalah untuk membuka kesadaran
nurani, bahwa dengan menghayati kesenian manusia lebih mampu mangasah kepekaan
kalbu. Termasuk peka terhadap berbagai persoalan yang terjadi di Bali. Sebab,
kesenian bukan hanya urusan pencapaian keindahan (estetika), melainkan juga
sebagai entitas gerakan penyadaran. Kesenian adalah wahana bagi seniman untuk
bersikap kritis, tidak hanya terhadap estetika kesenian, melainkan juga
terhadap permasalahan-permasalahan dan isu-isu yang berkembang di tanah
kelahirannya.***
hm, *hela napas dulu*
ReplyDeletebukan pekerjaan mudah, berkesenian sebagai kontrol sosial, namun bukan bermaksud pesimis, selama ini mereka yg bergelut di bidang seni benar adanya seperti yg dipaparkan diatas,semua elemen harus berkontribusi,jika ingin mengubah keadaan,termasuk saya dan bli jengki :)