S. Teddy D. adalah salah satu perupa
kontemporer Indonesia yang selalu gelisah mengritisi dan mengeksplorasi
persoalan-persoalan sosial, politik, ekologi, bahkan perang. Pada masa “Orde
Baru” dia juga banyak membuat karya yang berisi sindiran terhadap kekuasaan.
Pada tahun 2009, lewat pameran parodinya yang cukup fenomenal bertema “Love
Tank” di Museum Nasional Singapura, dia menyindir dan mengritisi perang yang
terjadi di banyak belahan dunia.
Kurator pameran, Jim Supangkat, lewat
tulisan di katalog menerangkan bahwa pameran bertema “Mindscape” ini didasarkan pada pengalaman bawah sadar
Teddy yang merasakan kepalanya membesar terus menerus hingga tak mampu
dikendalikannya. Sementara itu, mindscape
sendiri adalah istilah yang dipakai (alm) Omi Intan Naomi untuk menggambarkan
pengalaman bawah sadar Teddy yang mirip mimpi atau semacam halusinasi. Teddy
sendiri menganggap bahwa pengalaman yang mirip mimpi ini adalah pertanda
datangnya semacam kesadaran baru, terutama untuk proses kreatifnya.
Pameran ini menyuguhkan sejumlah karya
lukis Teddy yang menggambarkan figur manusia cebol dengan kepala besar, manusia
yang tak proporsional secara fisik, menyerupai mahkluk alien. Bahkan ada figur
manusia cebol yang berkaki-ekor ikan. Secara umum, figur-figur manusia ciptaan
Teddy ini mengingatkan saya pada patung-patung primitif yang sengaja dibuat
kasar dan tak proporsional, namun mengandung aura magis. Mungkin inilah
representasi pengalaman bawah sadar Teddy yang merasakan dirinya menjadi
manusia cebol dengan kepala yang terus menerus membesar. Selain lukisan, Teddy
juga menampilkan karya seni instalasi bernuansa metaforis berjudul “Food
Finding, Being Eaten” yang mengisahkan segerombolan ikan besar dan kecil
terbuat dari alumunium berenang mencari makan.
Seperti pengakuan Teddy dalam tulisan
yang mirip “kredo” di katalog pameran, melukis bagi Teddy adalah memusatkan
pikiran atau menganalisa sebuah masalah, baik masalahnya sendiri atau masalah
di luar dirinya. Karya-karya seni rupanya sarat dengan semangat parodi yang
mengandung ironi, satire, atau kritik terhadap diri sendiri maupun berbagai
fenomena yang mengusik perhatiannya. Dia melukis sesuka hatinya, karena dia
menikmati proses melukis itu sendiri. Dalam banyak karyanya terjadi pergumulan
antara imajinasi, fantasi, ilusi dan realitas.
Pada beberapa karya yang dipamerkan
Teddy kali ini, misalnya, kita masih bisa merenungi muatan yang ingin
disampaikannya, baik melalui visual figuratif maupun simbol-simbol yang
metaforis. Visual figuratif yang ironis itu, misalnya, bisa dilihat pada
lukisan berjudul “Smile, Smile into the Bone” (2011, oil on canvas, 240 x 85
cm) yang menampilkan seorang perempuan cebol tersenyum lebar duduk anggun di
atas sebongkah tengkorak. Atau, pada lukisan “Stylish” (2011, oil on canvas,
240 x 85 cm) yang menampilkan seorang lelaki cebol dengan kepala gundul sedang
berdiri santai sambil menyilangkan kaki, namun leher lelaki itu dililit rantai
dengan bandul menyerupai kepala manusia. Dua lukisan bernada satir ini jelas
ditujukan untuk mengritisi situasi sosial yang penuh dengan ironi. Ada manusia
yang tersenyum lebar di atas penderitaan atau kematian orang lain. Ada pula
manusia yang suka pamer gaya, namun kebebasannya dirantai.
Karya-karya Teddy yang bernuansa
metaforis bisa dinikmati pada lukisan berjudul “Megaphone” (2011, oil on
canvas, 100 x 100 cm), “Stay Connected” (2011, acrylic and charcoal on canvas,
150 x 100 cm). Dua lukisan Teddy ini berbeda dengan lukisan-lukisan yang
berkisah tentang manusia cebol dengan kepala besar. Pada lukisan “Megaphone”,
Teddy menampilkan megaphone yang telah dimodifikasi, lubang corong berbentuk
kepala manusia dengan kuping besar dan gagang berbentuk gagang senapan mesin
lengkap dengan pelatuknya. Pada lukisan “Stay Connected”, di sebidang warna
hijau terlihat dua kursi berdampingan dengan sandaran berbentuk kuping besar.
Dua lukisan ini menggunakan kuping
sebagai metafora untuk mengritisi situasi mutakhir di berbagai lini kehidupan,
dimana orang lebih banyak bicara ketimbang mendengar. Memang, di negeri kita
ini telah lama terjangkiti penyakit sulit “mendengar”. Yang banyak muncul
adalah kerakusan untuk “berbicara”, terutama berbicara yang tak perlu.***
No comments:
Post a Comment