Oleh Wayan Sunarta*
Malam itu, 26 Agustus 2012, halaman
Tonyraka Fine Art Gallery, Mas, Ubud, Bali, dipenuhi seratusan lebih orang dari
berbagai profesi. Tampak hadir sejumlah perupa, kurator, musisi, film maker, penari,
kolektor, wartawan, sastrawan, fotografer, dan para pecinta seni. Pikiran
mereka seakan disedot oleh “Salvation of the Soul”, sebuah gebrakan mutakhir
perupa Nyoman Erawan dalam kancah seni rupa yang carut marut ini. Banyak yang
bertanya-tanya, apa gerangan yang akan ditampilkan dalam performance art pembukaan pameran, dan karya-karya terbaru macam
apa yang dipamerkan Erawan, setelah sekian tahun menghilang ditelan hiruk pikuk
seni rupa tanah air.
Malam itu, di hadapan seratusan lebih
hadirin, Erawan menggoreng wajah. Dalam aksi performance art-nya kali ini, dia
membuat sejumlah replika wajahnya sendiri. Layaknya juru masak profesional,
dibantu tiga asisten dia mengolah adonan tepung warna-warni yang biasa
digunakan untuk membuat kue. Adonan itu kemudian dimasukkan dan dicetak di
dalam wadah logam berbentuk topeng wajah Erawan. Sekian menit kemudian, satu
per satu cetakan wajah Erawan selesai dibuat, dan kemudian digoreng di dalam
wajan besar, mirip seperti menggoreng pisang goreng. Layaknya acara masak memasak
di televisi, di sela-sela membuat cetakan wajah dan menggoreng, Erawan
diwawancarai oleh moderator acara, perihal konsep performance art-nya itu.
Moderator juga mewawancarai beberapa tokoh yang hadir perihal pandangan mereka
terhadap kesenimanan Erawan. Moderator mengemas wawancara itu dalam suasana
“sersan”, serius-santai.
Wajah-wajah yang siap saji itu kemudian
ditaruh dengan gerakan teaterikal di atas meja-meja kecil dan nampan berisi
tepung beras. Tak selesai sampai di situ. Di bawah cahaya lampu warna warni,
Erawan yang tadinya banyak bercanda dalam sejumlah sesi wawancara dengan
moderator, kini mulai tampak serius. Dia menari-nari di sela-sela meja kecil, memainkan
musik dari perkakas memasak, mengigaukan mantra tak jelas, menarikan satu per
satu topengnya dan memainkan serbuk tepung. Di bawah cahaya temaram, Erawan tampak
mistis dalam balutan jubah putih dan kepala botak bertorehkan tapak dara, simbol tolak bala
Hindu-Bali.
“Ritus Wajah Digoreng-goreng” itu adalah
performance art terbaru Nyoman Erawan, perupa yang selama ini dikenal banyak
melahirkan seni instalasi, performance art dan happening art, yang selalu
memadukan ikon dan nilai tradisional Bali dengan ikon-ikon kontemporer. Dalam performance art-nya kali ini, Erawan
secara simbolik melakukan autokritik dan melancarkan kritik pada berbagai
fenomena goreng-menggoreng dan kasus-kasus pemalsuan lukisan yang mewabah dalam
jagad seni rupa Indonesia. Autokritik dan kritik ini merupakan bagian dari
proses pembebasan jiwa Erawan, yang selalu merindukan kemurnian dalam
berkesenian. Sebab baginya, kesenian yang terkontaminasi berbagai kepentingan
praktis dan pragmatis, selalu tidak akan pernah sampai pada hakikat kesenian
itu sendiri.
Selain performance art, Erawan juga
memamerkan beberapa seni instalasi, video art, sketsa, dan sejumlah lukisannya
dari periode awal hingga yang terkini. Dalam pameran yang berlangsung hingga 16
September ini, para apresian bisa menyaksikan perkembangan kesenimanan dan
totalitas Erawan dalam berkesenian. Erawan yang dilahirkan di Sukawati, 1958,
adalah sosok seniman yang multi talent dan tak pernah berhenti mengeksplorasi berbagai
kemungkinan dan medium baru dalam berkesenian.
Sebagai contoh, lukisan-lukisan
terbarunya, seperti serial “Fathoming Cosmos” (2012) menunjukkan perkembangan
mutakhir dari proses kepelukisan Erawan sejak lima tahun terakhir. Dari abstrak
ekspresionisme yang merupakan ciri khas awal karir kepelukisannya, kini dia
merambah ke perpaduan abstrak ekspresionisme dan figurative. Metode kerjanya
pun berbeda. Dulu, dalam melukis, Erawan lebih mengutamakan kecerdasan intuitif
yang mewujud dalam pilihan warna, cipratan dan lelehan cat, tarikan garis,
takikan tekstur. Kini, dia memadukan kecerdasan intuitif dengan kecanggihan
teknologi, misalnya menggunakan alat bantu foto dan proyektor, sehingga memunculkan
kesan tiga dimensi dalam banyak lukisan terbarunya.
Erawan sengaja menampilkan
lukisan-lukisan periode awal hingga terkini, yang tentu saja berbeda gaya dan
metode kerja, dengan maksud menunjukkan kepada publik perkembangan dari proses
berkeseniannya yang panjang. Baginya, menjadi seniman haruslah terus tumbuh dan
berkembang, setidaknya untuk ukuran dirinya sendiri. Meski Erawan pernah dicaci
maki dan dicap sebagai salah satu biang hegemoni gaya abstrak ekspresionisme dalam
pameran “Mendobrak Hegemoni” tahun 2001 yang digelar Kamasra STSI Denpasar, dia
tetap rendah hati dan selalu berhasrat untuk melawan kemandekan dan kemacetan
kreativitas.
Pada saat pembukaan pameran, alumni ISI
Yogyakarta dan anggota senior Sanggar Dewata Indonesia (SDI) ini juga
meluncurkan sebuah buku mewah dwi bahasa (Indonesia dan Inggris) yang memuat
foto-foto karya dan proses kreatif berkeseniannya. Buku bertajuk “MUKTI: Salvation
of the Soul” itu ditulis oleh kurator pameran, Rizki A Zaelani dan I Wayan
Seriyoga Parta. Dalam ajaran Hindu, Mukti berarti penyucian jiwa, kesadaran
memaknai kehidupan abadi dan kefanaan. Moksa semasa hidup disebut “Jiwan Mukti”,
diraih dengan cara membebaskan diri dari keterikatan duniawi, mengatasi
suka-duka, bekerja (berkesenian) dengan ketulusan kasih demi keselamatan dunia.
Filosofi “Jiwan Mukti” inilah yang mendasari proses berkesenian Erawan.
Jika “Salvation of the Soul” dimaknai
sebagai moksa, semoga pameran akbar yang cukup banyak menyedot perhatian
apresian ini bukan menjadi pameran terakhir Erawan. Publik seni rupa masih akan
menunggu gebrakan-gebrakan berikutnya.
*penulis adalah sastrawan dan pemerhati
seni rupa.
No comments:
Post a Comment