Oleh:
Wayan Sunarta
(orang-orang tua metuakan di sebuah warung di Karanagsem) |
Pada
sebuah sore yang indah, di sebuah warung tuak di Karangasem, sekelompok orang
tua duduk melingkar beralaskan tikar. Di tengah-tengah lingkaran terhidang lima
botol tuak, sate babi, lawar dan camilan lainnya. Sambil meneguk tuak, mereka
tampak asyik bercengkerama tentang padi-padi yang mulai panen, tentang
kesibukan para caleg mengobral janji-janji membela rakyat jelata, tentang
situasi desa, dan sebagainya.
Para orang tua itu hampir setiap
sore datang ke warung tuak langganannya. Mereka bukan hanya melampiaskan
keinginan minum tuak, namun juga kebutuhan bertemu teman-teman sebaya dan
ngobrol berbagai hal yang menarik dibicarakan. Secara tidak tertulis mereka
telah membuat semacam sekehe metuakan,
kelompok minum tuak.
Seringkali
acara metuakan atau mesajengan (sajeng artinya tuak) telah menjadi semacam forum tidak resmi yang
menampung berbagai aspirasi yang tidak tersalurkan pada lembaga-lembaga resmi.
Berbagai macam unek-unek, keluh kesah, kritik, gosip, dan obrolan tentang
berbagai pokok persoalan yang nyangkut di pikiran mereka menemui pelepasan
dalam forum yang penuh aroma alkohol tersebut.
Tuak
dibuat dari sadapan air bunga pohon jake
(enau), nyuh (kelapa), dan ental (lontar/siwalan). Dari sana muncul
istilah tuak jake, tuak nyuh dan tuak ental. Tuak jake banyak dibuat di
Tenganan, Gumung dan Bebandem. Tuak Nyuh dibuat di daerah yang banyak pohon
kelapanya, seperti Pikat, Pidpid, Gunaksa. Sedangkan tuak ental dikenal di
daerah yang banyak ditumbuhi pohon ental, seperti Merita, Culik, Tianyar, Kubu.
Tuak jake lebih terasa enak, bersifat netral, proses dalam tubuh cepat dan
sering kencing. Tuak Nyuh kadar
alkoholnya lebih keras dari tuak jake, peminum umumnya cepat merasa pusing.
Sedangkan tuak ental lebih berat kadar alkoholnya dibanding tuak nyuh, rasanya
lebih gurih, cepat membuat mabuk. Secara umum orang-orang Karangasem lebih
menggemari tuak jake.
Proses membuat tuak jake sangat
lama, bisa memakan waktu sampai 21 hari. Dimulai dari ngayunan, bunga jake diayun-ayun sampai satu jam. Kemudian
dilanjutkan dengan proses notok,
batang bunga jake dipukul-pukul berulang-ulang setiap hari selama satu jam dan
berlangsung sampai dua minggu. Setelah dirasa cukup umur, maka dilanjutkan
dengan nimpagang, mengiris batang
bunga dan mengecek ada air atau tidak pada bunga jake itu. Kemudian dilanjutkan
dengan nadah, batang bunga jake
disadap dengan brengkong, wadah yang
dibuat dari pelepah pohon pinang. Satu batang bunga jake bisa menghasilkan satu
brengkong setiap kali menurunkan tuak
yang dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore. Kalau lagi untung
dalam sehari bisa mendapatkan dua jerigen (isi 8 botol) tuak. Dan satu pohon
jake bisa menghasilkan tuak hingga tiga bulan. Pada prinsipnya proses mencari tuak nyuh dan ental hampir sama dengan tuak jake.
Tuak yang baru turun dari pohonnya
akan terasa manis. Maka untuk membuat rasanya lebih gurih, tuak dicampur dengan
ramuan khusus yang disebut lau.
Secara umum lau berpengaruh pada rasa
dan kadar alkohol tuak. Lau yang
paling bagus diolah dari babakan
(serbuk) kayu pohon kutat dicampur
dengan serbuk kulit pohon cabe tabia bun.
Kalau cara mengolah lau kurang pas,
maka tuak akan terasa kecing atau
masam.
Berbeda dengan arak, tuak tidak
berumur panjang. Tuak paling enak diminum ketika baru diturunkan dari pohonnya.
Orang Karangasem mengenal rasa tuak yang nasak
badung, rasanya lebih tawar dan agak masam, namun masih bisa diminum. Ada
tuak yang rasanya lebih netral, tidak terlalu tua dan tidak terlalu masam, dan masih
enak untuk diminum. Tuak jenis ini disebut semedah.
Tuak wayah adalah tuak yang telah
tersimpan satu sampai dua hari. Kalau tuak telah tersimpan dua sampai tiga hari
disebut tuak bayu. Dan tuak yang
tersimpan lebih dari tiga hari akan menjadi cuka.
Di Karangasem, alat untuk menampung
atau minum tuak bermacam-macam jenisnya. Untuk menampung tuak dari pohonnya
dipakai brengkong dan kele (bumbung bambu ukuran besar dan
panjang). Sebelum morong populer, dahulu orang menyimpan tuak menggunakan cekel, bumbung bambu agak besar lengkap
dengan tutupnya dan di ujung atasnya terdapat saluran yang dibuat dari buluh
bambu kecil. Agak mirip dengan cekel
disebut ganjreng dimana saluran
tuaknya terletak di bawah/dasar wadah. Untuk tempat minum tuak dipakai bumbung (gelas bambu ukuran sedang,
setara dengan gelas jus), dasar
(cawan dari kau atau batok kelapa),
dan beruk (cawan ukuran sedang dari kau atau batok kelapa). Nama wadah tuak
ini sering berbeda-beda di tempat lainnya di Bali. Sekarang, untuk kepraktisan,
wadah tuak tradisional itu diganti dengan jerigen, morong, botol dan gelas.
Sekehe-sekehe
metuakan dengan mudah bisa ditemui di sudut-sudut jalan pedesaan di Karangasem.
Mereka membuat kelompok berdasarkan pertemanan, biasanya berjumlah antara 3-5
orang. Anggota baru agak susah bergabung ke dalam kelompok karena harus mampu
beradaptasi dan mempelajari karakter kelompok. Pada saat metuakan, orang-orang
tua berkelompok dengan sesama orang tua, anak-anak muda membuat kelompok dengan
teman-teman sebayanya. Jarang ditemui kelompok campuran, antara anak muda dan
orang tua. Karena kelompok campuran biasanya akan kesulitan pada saat ngobrol
atau diskusi. Obrolan anak-anak muda terkadang tidak nyambung dengan obrolan
orang-orang tua.
“Dalam membuat sekehe, kami mengajak
kawan-kawan akrab yang kami sudah tahu tabiat dan tingkatan mabuknya. Kami
sangat menghindari peminum yang suka bikin onar saat mabuk. Kami metuakan bukan
untuk cari ribut, melainkan untuk kumpul-kumpul dengan teman-teman dan
menghilangkan stress,” ujar Made Kaler, seorang peminum dari Jungsri, Bebandem.
Namun
seringkali sekehe metuakan juga disusupi kader-kader partai politik pada saat
musim-musim kampanye. Tujuannya jelas untuk mencari massa. Kader-kader partai
politik ini biasanya mentraktir anggota sekehe minum tuak sepuas-puasnya. Di
pertengahan acara minum, kader partai mengarahkan obrolan kepada soal-soal
partai, janji-janji partai, dan buntutnya sekehe diharapkan memilih dirinya.
Untuk masuk dan bisa diterima dalam sekehe metuakan, tentu kader-kader partai
harus mampu beradaptasi dan memilih sasaran secara tepat. Karena tidak semua
sekehe metuakan mau mendengar ocehan para kader partai atau caleg yang sekarang
berlomba-lomba mencari massa.
Tradisi metuakan di Karangasem sudah
terkenal sejak dahulu. Karangasem merupakan penghasil tuak terbesar di Bali.
Hampir di setiap desa bisa dijumpai warga yang berprofesi sebagai pembuat tuak
dan pedagang tuak. Bahkan tuak itu dikirim dan dijual hingga ke daerah-daerah
lain, termasuk Denpasar. Karangasem juga dikenal dengan kesenian Genjek dan Cakepung dimana peranan tuak sangat penting dalam kesenian
tersebut. Para pemain Genjek dan Cakepung bergiliran minum tuak sambil menyanyi
dengan musik mulut dan menari-nari di tengah lingkaran. Kesenian ini sangat
semarak dan penuh dengan nuansa pesta pora.
Sekehe
metuakan biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama
diantara anggota sekehe. Aturan-aturan tak tertulis ini terkadang berbeda-beda
antara sekehe satu dengan lainnnya, atau antara daerah satu dengan lainnya. Ada
aturan yang mewajibkan masing-masing anggota sekehe membawa tuak dari rumah
sesuai kemampuan dan keperluan minum. Kalau tempat berkumpulnya di warung tuak,
anggota sekehe akan patungan membeli tuak. Terkadang ada anggota sekehe yang
mentraktir kawan-kawannya minum tuak. Di Karangasem, harga sebotol tuak sekitar
Rp.1500. Dalam acara metuakan, satu kelompok yang terdiri dari 5 orang bisa
menghabiskan 10 botol tuak, bahkan terkadang lebih.
Acara
metuakan diatur oleh seseorang yang biasa disebut blandang (bandar). Bandar bertugas menuangkan tuak ke dalam gelas
dan membagikan secara bergiliran kepada anggota sekehe. Kadangkala kalau
terjadi diskusi atau perdebatan, bandar juga bertugas menjadi moderator. Anggota
sekehe minum secara bergiliran dengan menggunakan satu gelas. Penggunaan gelas
secara sendiri-sendiri tidak diperkenankan. Dan bahkan bisa memunculkan
ketersinggungan dari anggota sekehe lainnya. Apalagi kalau ada anggota yang
baru bergabung, lalu minum tuak menggunakan gelasnya sendiri, dianggap egois
dan tidak tahu aturan minum. Anggota baru ini bisa membuat perasaan anggota
sekehe lain tidak enak. Penggunaan satu gelas secara bersama-sama dianggap
sebagai bentuk rasa solidaritas dan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan di
antara anggota sekehe.
“Aturan lain, cara meminum tuak
harus sekali minum. Kalau ada orang minum tuak seperti minum kopi, pelan-pelan
dan sedikit-sedikit, orang itu biasanya akan jadi bahan olok-olok,” kata Ketut
Gingsir, pemuda yang suka nongkrong di warung tuak di Ababi, Karangasem.
Menurut
Made Adnyana, seorang sesepuh desa Ababi yang hobi minum tuak, dalam metuakan
ada delapan urutan minum yang dikaitkan dengan tingkat kemabukan. Secara umum
hitungan minumnya adalah bumbung atau gelas.
Pertama,
Eka Padmasari, peminum baru mulai
minum tuak satu bumbung sebagai tegukan pertama. Aliran tuak terasa nyaman
dalam tubuh, apalagi diselingi obrolan-obrolan ringan dan bersenda gurau. Acara
minum tuak masih diliputi semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Dalam minum
tuak memang harus banyak ngobrol agar uap alkohol keluar dari perut sehingga
proses mabuk menjadi lebih lambat.
Kedua,
Dwi Angemertani, peminum mengangkat
bumbungnya yang kedua. Pada tahap ini tuak merupakan amerta, air kehidupan. Biasanya setiap sore orang-orang tua akan
menyuruh anak atau cucunya membeli tuak satu botol untuk diminum sehabis makan
nasi. Minum satu atau dua gelas tuak menjadi penyempurna perut yang kenyang. Pada
tingkatan ini tuak tidak membuat mabuk.
Ketiga,
Tri Raja Busana, peminum sudah menenggak
3 bumbung tuak. Pada tahapan ini tanda-tanda awal mabuk sudah kelihatan. Wajah
menjadi bersemu merah. Peminum mulai berlagak dan bertingkah seperti raja, main
perintah sana-sini. Bahkan gaya duduknya sudah kayak sikap raja.
Keempat,
Catur Kokila Basa, ini tahapan ketika
peminum sudah meneguk 4 bumbung tuak. Tingkah lakunya sudah seperti burung
kutilang, banyak berkicau. Jika mau mengorek rahasia seseorang bisa dimulai
pada tahapan ini. Semua rahasia yang sebelumnya tersimpan rapat akan dibeberkan
dengan tanpa beban oleh si peminum yang agak mabuk. Omongan ngelantur ke
sana-sini. Acara minum menjadi ramai. Kadang kala omongan si peminum kebablasan
sehingga membuat teman jadi tersinggung.
Kelima,
Panca Wanara Konyer, tahap dimana peminum
sudah menghabiskan 5 bumbung tuak. Kepala sudah mulai pusing. Namun nafsu minum
masih bergejolak. Ingin nambah terus. Pada tahap ini perilaku peminum seperti
monyet yang lincah, nakal dan usil. Perilaku aneh-aneh juga muncul, seperti
menari-nari sendiri, ngoceh tidak jelas, atau kebut-kebutan menyerempet bahaya
di jalan. Kalau acara metuakan diikuti lebih dari lima orang, maka
tembang-tembang genjek makin
berkumandang menambah semarak suasana minum. Pada tahap ini, kadangkala terjadi
pertengkaran kecil di antara peminum karena persoalan-persoalan sepele. Alkohol
telah mengacaukan syaraf. Kata-kata yang terlontar menjadi tidak terkendali.
Keenam,
Sad Wanara Rukam, peminum sudah
memasuki tahap bumbung keenam. Perilakunya seperti monyet kena sampar atau penyakit, lebih banyak duduk
diam dan mengkerut. Selera usil dan iseng perlahan mereda. Alkohol sudah
memenuhi aliran syaraf. Kepala semakin pusing. Peminum terlihat lebih banyak
melamun dan tidak banyak bicara.
Ketujuh,
Sapta Ketoya Baya, bumbung ketujuh
telah diteguk. Inilah tahap yang rawan baya
(bahaya). Saat dimana kadar alkohol dalam tubuh dengan mudah bisa mendatangkan
malapetaka. Keributan dan perkelahian dengan mudah meledak di antara peminum. Perilaku
mabuk yang aneh-aneh pun bermunculan. Yang paling parah adalah mengamuk gelap
mata. Endapan-endapan emosi meledak, menemui pelepasan.
Kedelapan,
Asta Kebo Dangkal, peminum sudah
memasuki bumbung kedelapan. Peminum sudah benar-benar melampaui ambang mabuk. Pikiran
sehat jadi macet total. Pada tahap ini banyak peminum yang tergeletak di
sembarang tempat, tidur mendengkur seperti kerbau (kebo).
“Paling
sehat adalah minum satu sampai dua gelas tuak sehabis makan. Namun yang lebih
sehat lagi tidak minum tuak. Cukup air putih saja,” ujar Made Adnyana sembari
ketawa.
Memang,
lebih sehat tidak minum tuak. Apalagi minum tuak dengan satu gelas
beramai-ramai. Kuman atau virus penyakit menular dengan mudah berpindah tempat
melalui bibir gelas. Namun, siapa yang peduli kuman atau virus kalau sedang “on”
alias mabuk? ***
(dimuat di The Jakarta Post, Kamis, 11 Desember 2008)
ulasan keren. kapan kapan pengen main ke karangasem
ReplyDelete