Labels

Thursday, 18 August 2016

Memperjuangkan Kesetaraan Gender Melalui Kesenian


Oleh: Wayan Jengki Sunarta



Secara umum, sistem sosial-budaya di Bali menganut ideologi patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama. Ideologi ini didoktrinasi dan diwarisi secara turun temurun melalui sistem nilai, norma, aturan. Bahkan diperkuat dengan mitos, folklore, dan sistem kepercayaan. Di Bali, lelaki ditempatkan sebagai purusa, dan perempuan adalah pradana. Purusa adalah kepala keluarga, pelanjut keturuan dan pewaris tradisi. Pradana hanya dianggap pelengkap dalam keluarga. Ideologi ini pada akhirnya membentuk tradisi, budaya, serta sistem sosial yang disadari atau tidak cenderung merugikan kaum perempuan.


Ideologi patriarki terbentuk melalui sejarah yang sangat panjang dan mampu membangun peradaban manusia yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan superior di berbagai bidang kehidupan. Ideologi patriarki ini secara turun-temurun merancang dan membangun perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan dalam sistem social-budaya yang kemudian berdampak pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.

Gender bukanlah perbedaan jenis kelamin secara biologis (kodrati), misalnya, laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung, melahirkan serta menyusui dan menopause. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi social dan budaya. Atau dengan istilah lain gender adalah pembagian peran, kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Dalam hal ini gender bisa mengalami perubahan sesuai perkembangan jaman.

Perbedaan gender telah ditanamkan sejak kanak-kanak dalam sistem sosial. Misalnya perempuan harus lemah lembut, penyabar, penyayang, menjadi pengasuh anak, pengurus rumah, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis, rasional, wibawa, perkasa (macho), sebagai pencari nafkah, kepala keluarga, dan sebagainya. Sejak kanak, permainan anak laki dan perempuan selalu dibedakan. Misalnya, anak laki-laki diberikan mainan berkaitan dengan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan, pistol-pistolan, dan pedang-pedangan. Sedangkan anak perempuan bermain boneka, dapur-dapuran, rumah-rumahan, dan sejenisnya. Anak lelaki bila menangis dianggap cengeng. Anak perempuan bila suka manjat pohon dianggap tomboy. Bahkan buku pelajaran di sekolah juga banyak menggambarkan peran gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, gender cenderung diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat.

Gender sebenarnya tidak memunculkan masalah sepanjang terjadi kesetaraaan. Namun, kenyataannya dalam sistem social-budaya patriarki, gender sering dipakai oleh laki-laki untuk mendominasi perempuan, sehingga muncul diskriminasi, stereotipe, subordinasi, marginalisasi, beban kerja berlebihan, dan kekerasan berbasis gender. Hal itu terjadi pada semua bidang kehidupan, termasuk dunia kesenian.


Stereotipe

Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang, kelompok, suku bangsa hanya berdasarkan persepsi dan cenderung berupa prasangka, bahkan sering melahirkan tindakan diskriminatif. Dalam konteks gender, pandangan stereotipe seringkali menimpa kaum perempuan. Misalnya, perempuan yang pulang larut malam dianggap sebagai perempuan jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Dalam bidang seni, perempuan selalu dianggap sebagai sumber keindahan. Hal ini menempatkan perempuan hanya sebatas objek seni. Ada ribuan lukisan dan fotografi yang memvisualkan “keindahan” tubuh perempuan. Di dunia akademik, mata kuliah anatomi dan melukis model menjadi sesi yang menarik banyak perhatian mahasiswa laki-laki. Atau, pada kasus bodypainting, tampak sekali tubuh perempuan sebagai objek eksploitasi.

Tradisi melukis model telanjang sebenarnya diperkenalkan oleh seni rupa Barat. Dalam konteks Bali, bisa dilihat pada kasus Le Mayeur yang melukis tubuh Ni Pollok, model yang kemudian dijadikan istri. Bahkan, demi menjaga tubuh, Pollok tidak diijinkan hamil. Hal yang senada juga dilakukan oleh Blanco terhadap Ni Ronji. Tradisi melukis model dengan perempuan sebagai objek utama hingga kini masih terus dipertahankan dalam seni rupa. Dan,  perempuan cenderung tidak merasa keberatan, karena menjadi model dianggap sebagai profesi atau cara mendapatkan uang (bayaran).

Mengapa perempuan selalu dianggap sebagai sumber keindahan, dieksplorasi dan dieksploitasi atas nama seni? Hal ini muncul dari pandangn patriarki yang menganggap perempuan sebagai nature (elemen alam) dan laki-laki adalah culture (elemen budaya). Sebagai elemen culture, laki-laki menobatkan dirinya sebagai pencipta, pembentuk budaya, dogma, norma, aturan, dan sebagainya. Dalam terminologi budaya Bali, laki-laki dianggap langit (bapa angkasa, superior) dan perempuan adalah bumi (ibu pertiwi, inferior). Dalam karya sastra tradisi, fenomena hujan sering dimetaforkan sebagai sperma (air mani) yang membuahi bumi sehingga lahirlah tetumbuhan, kesuburan, kemakmuran.

Dalam bidang kesenian, pandangan stereotipe ini sering memosisikan perempuan sebagai mahkluk kelas dua. Maka, tidak banyak muncul perempuan yang berprofesi sebagai seniman dan penulis.


Subordinasi

Salah satu penyebab ketidaksetaran dan ketidakadilan gender adalah terjadinya subordinasi perempuan. Subordinasi muncul dari pandangan stereotipe tentang perempuan. Karena perempuan selalu diberi label mahkluk irasional, emosional, lemah, dan sebutan senada lainnya, menyebabkan  posisi perempuan selalu menjadi nomor dua setelah laki-laki. Pandangan yang lebih menyudutkan lagi adalah bahwa perempuan tidak boleh melebihi laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan selalu ditempatkan dalam urusan domestik, mengurus anak, melayani suami, atau hanya sebatas urusan kasur, sumur, dapur.

Memang, pada jaman kini telah banyak perempuan yang berkarir atau bekerja mencari nafkah. Namun, istilah yang sering dipakai untuk menyebut perempuan yang bekerja di ranah publik adalah “membantu” suami mencari nafkah atau “membantu” perekonomian keluarga. Peran perempuan mencari nafkah (bekerja) hanya dipandang sebagai bantuan, bukan hal yang utama. Lalu apabila gaji istri lebih tinggi dari gaji suami, maka muncul kecemburuan, dan persoalan psikologis lainnya, yang seringkali menyebabkan kekerasan berbasis gender. Bahkan, karena persaingan jumlah gaji, tidak jarang si istri dipaksa kembali mengurus urusan domestic. Hal ini menunjukkan bahwa suami (laki-laki) cenderung merasa superior terhadap perempuan.

Subordinasi juga menyebabkan perempuan sulit mengakses posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan. Misalnya, dalam konteks adat di Bali, rapat-rapat adat dihadiri oleh kaum laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh menghadiri rapat adat. Hak perempuan dalam komunitas adat bernama banjar hanya dalam urusan PKK (Posyandu dan sejenisnya) yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Di Bali, lelaki yang telah berkeluarga secara langsung menjadi warga adat dan terlibat dalam berbagai urusan adat. Lalu, siapa yang mewakili sebuah keluarga dalam rapat adat apabila suami sebagai kepala keluarga meninggal dan anak-anak masih kecil? Nah, ini menjadi sebuah persoalan.

Subordinasi juga terjadi dalam bidang kesenian. Misalnya, karena perempuan terlanjur dilabelkan lemah lembut, maka perempuan lebih cocok jadi penari, bukan pelukis atau pematung. Maka, di Bali, bahkan di Indonesia, jumlah perempuan yang menjadi perupa bisa dihitung dengan jari. Bahkan, di sekolah atau kampus seni, peminat seni lukis sebagian besar laki-laki. Kalau ada satu atau dua perempuan yang masuk seni lukis, dianggap aneh, dianggap tomboy, dan sejenisnya.

Perempuan cenderung lebih menekuni seni kerajinan, sebab langsung berhubungan dengan perekonomian keluarga, misalnya membatik, membuat lukisan wayang kamasan. Bahkan dalam home industri seni lukis wayang Kamasan yang umumnya dikerjakan secara keroyokan, perempuan jarang menempati posisi utama sebagai pembuat sketsa atau konsep. Perempuan lebih banyak menjadi tukang mewarnai karena berkaitan dengan kelembutan dan kehati-hatian.

Di Bali, perempuan yang menjadi pelukis bisa dihitung dengan jari. Di antara jumlah yang segelintir itu adalah IGAK Murniasih, Nyoman Sani, Citra Sasmita. Lalu, kemana yang lainnya? Lebih parah lagi, perempuan cenderung berhenti menjadi seniman ketika sudah menikah. Mereka mengorbankan bakat dan potensinya demi urusan domestik, yakni menjadi ibu rumah tangga.

Perempuan yang menjadi kurator atau kritikus seni juga bisa dihitung dengan jari. Bahkan di Bali belum ada perempuan yang muncul sebagai kurator. Semoga dalam waktu dekat bermunculan perempuan yang merintis karir sebagai kurator. Sebab selama ini pameran seni rupa di Bali umumnya dikurasi oleh laki-laki, termasuk pameran yang melibatkan perempuan perupa.

Bidang seni lain, kecuali tari, juga cenderung didominasi laki-laki. Coba perhatikan apakah ada grup band di Bali yang semua personilnya perempuan? Perempuan cenderung diposisikan sebagai penyanyi, sangat jarang yang menjadi gitaris, apalagi penggebuk drum.


Marginalisasi

Proses marginalisasi (peminggiran) terhadap pcrempuan dapat terjadi di berbagai lini, dari keluarga hingga social, budaya, ekonomi, bahkan negara. Dalam bidang ekonomi, perempuan terpinggirkan karena program industrialisasi, misalnya tenaga perempuan diganti mesin atau alat lain yang menyebabkan perempuan kehilangan pekerjaan. Marginalisasi itu merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapisan bawah. Dalam bidang kesenian, misalnya, proses marginalisasi terjadi pada industri kerajinan batik. Ketika batik cap menjamur, tenaga perempuan diganti oleh mesin. Dan, perempuan pun kehilangan pekerjaannya. Marginalisasi dalam keluarga juga sering terjadi, misalnya, anak laki-laki memperoleh fasilitas, pendidikan, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak perempuan.

Di daerah pedalaman Bali, misalnya, masih banyak orang tua yang merasa keberatan menyekolahkan anak perempuannya tinggi-tinggi meskipun keluarga itu mampu. Ada anggapan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, cukup tahu baca tulis saja, sebab jika menikah nanti dia akan jadi milik orang lain. Akhirnya, banyak anak perempuan yang putus sekolah karena memilih bekerja membantu orang tua di kebun atau ladang. Anak perempuan sendiri cenderung metilesan raga, menyadari posisinya sebagai perempuan. Saya kira pola pikir metilesan raga ini perlu diubah untuk menyadarkan bahwa para perempuan juga memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan.

Perempuan seniman juga dianggap tidak penting dan kurang diperhitungkan dalam kesenian modern. Ini proses peminggiran secara halus. Coba perhatikan berapa banyak karya perempuan seniman yang dibahas atau diapresiasi dalam ulasan atau kritik seni? Bisa dihitung dengan jari.


Beban Kerja Yang Berlebihan

Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Suami adalah kepala keluarga dan pencari nafkah. Urusan utama perempuan adalah domestik. Bila ada perempuan yang mencari nafkah untuk keluarga, disebut “membantu” perekonomian keluarga.

Karena anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah urusan domestik, maka perempuan yang bekerja di luar rumah pun memiliki beban kerja yang makin banyak. Misalnya, sebelum berangkat kantor, istri memasak, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Lalu, pulang dari kantor, istri juga sibuk mengurus rumah. Memasak, mencuci, menyeterika, bersih-bersih rumah, membimbing anak-anak belajar, dan berbagai pekerjaan domestic lainnnya, seolah-olah hanya tugas dan tanggung jawab perempuan. Bahkan, seringkali pekerjaan domestic yang berjibun itu tetap dilakukan perempuan meskipun dia sedang haid, hamil, atau menyusui.

Sementara itu, laki-laki dianggap tidak pantas mengurusi pekerjaan domestik. Pekerjaan domestik dianggap merendahkan derajat kelelakian. Pekerjaan domestic dipandang hanya layak dikerjakan oleh perempuan. Masyarakat masih memandang aneh bila ada laki-laki yang mencuci pakaian istrinya, atau laki-laki yang sibuk memasak untuk keluarganya. Dari sinilah muncul persoalan ketidakadilan gender. Sebenarnya pekerjaan domestic tidak mengenal jenis kelamin biologis, siapa pun bisa melakukannya, baik perempuan maupun laki-laki. Di sinilah perlu adanya kesadaran untuk mencapai kesetaraan gender dalam urusan pekerjaan domestic.

Dalam konteks Bali, beban kerja perempuan makin bertambah, dengan menyiapkan dan menghaturkan sesajen setiap rerahinan (hari penting Hindu-Bali). Di pedesaan, beban kerja itu membuat perempuan seolah tak memiliki waktu luang. Misalnya, habis memasak, dia juga harus memberi makan hewan peliharaan, atau pergi ke ladang untuk mencari rumput.

Beban kerja berlebihan ini seringkali menyebabkan perempuan yang  potensial di bidang kesenian akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga. Sebab tidak memiliki waktu lagi untuk mengembangkan bakat di dunia kesenian. Hal ini diperparah lagi bila sang suami menganggap kesenian tidak penting atau hanya membuang waktu.


Kekerasan Berbasis Gender

Dalam budaya patriarki, kekerasan berbasis gender seringkali minimpa kaum perempuan. Kekerasan itu tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun juga psikis dan seksual. Kekerasan ini sering dipicu dari anggapan bahwa perempuan mahkluk kelas dua, laki-laki merasa sebagai mahkluk superior, dan sejenisnya.

Kekerasan fisik bisa berupa pemukulan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Kekerasan psikis dapat berjenis penghinaan, sikap, ungkapan verbal atau perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati atau rasa tidak nyaman. Kekerasan seksual bisa berupa pelecehan, pencabulan, pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sebagainya.

Dalam dunia kesenian terbuka peluang terjadinya kekerasan berbasis gender. Yang paling sering terjadi adalah kekerasan psikis dan seksual. Pada kasus melukis model ataupun bodypainting misalnya kekerasan psikis dan pelecehan seksual sangat kentara. Laki-laki yang melakukan bodypainting terhadap perempuan, misalnya, dengan sengaja berlama-lama menorehkan warna dengan kuas atau bahkan dengan tangan di organ-organ intim perempuan. Dan, seringkali hal itu mengundang tawa, senyum, atau komentar-komentar seronok dari para penonton bodypainting yang sebagian besar laki-laki.

Pelecehan seksual juga sering terjadi pada tari pergaulan joged bumbung. Para pengibing (laki-laki) dengan sengaja menari sambil berusaha menjamah bagian-bagian intim penari joged. Bahkan melakukan gerakan-gerakan seperti orang berhubungan badan. Anehnya, penari joged juga melakukan hal yang sama, sehingga muncul istilah “joged porno”, “joged buang”, “joged mesum”. Para penonton, baik laki-laki maupun perempuan, umumnya menganggap hal itu sebagai hiburan yang seringkali mengundang gelak tawa. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Di tengah persaingan yang makin ketat, pemimpin grup joged bumbung yang umumnya laki-laki dengan sengaja meminta atau bahkan memaksa para penari joged untuk menari lebih liar, erotis, dan melakukan gerakan-gerakan vulgar, agar grup joged itu selalu mendapat order. Padahal tari joged bumbung tidak harus menonjolkan unsur seksualitas secara berlebihan. Hal ini bisa terjadi karena persaingan pasar. Para penari joged melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian dan membuat grupnya laris. Hal yang sama juga terjadi pada pementasan dangdut.

Kekerasan berbasis gender juga telah banyak ditulis oleh para pengarang, baik melalui cerpen ataupun novel. Sejumlah cerpen karya Kadek Sonia Piscayanti, Oka Rusmini, Gde Aryantha Soethama, Putu Fajar Arcana mengangkat tema gender ataupun kekerasan berbasis gender. Menarik bila cerpen-cerpen bertema gender atau kekerasan gender dikumpulkan menjadi buku sebagai salah satu upaya penyadaran atau memperjuangkan kesetaraan gender.

Kekerasan berbasis gender tidak melulu terjadi dalam konteks relasi lelaki-perempuan. Kekerasan tersebut juga bisa dilakukan oleh sesama perempuan. Misalnya dilakukan perempuan yang berkuasa (kuat) terhadap perempuan yang tak berkuasa (lemah), kakak terhadap adik, mertua dengan menantu, ibu dengan anak, majikan dengan pembantu, atasan dengan bawahan, ketua dengan anak buah, dan sebagainya. Ini juga menjadi persoalan dalam gerakan feminisme.

Menghentikan kekerasan berbasis gender bukanlah perkara mudah. Kuncinya adalah kesadaran bersama, baik laki-laki maupun perempuan, dalam berbagai bidang kehidupan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mahkluk ciptaan Tuhan, memiliki hak yang setara, peluang dan potensi yang sama untuk tumbuh dan berkembang.


Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah kondisi yang dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang sama, dilandasi saling menghormati dan menghargai serta membantu di berbagai sektor untuk kemajuan bersama. Memperjuangkan kesetaraan gender bukanlah mempertentangkan dua jenis kelamin. Tetapi, upaya-upaya membangun relasi gender yang setara, tanpa diskriminasi.

Cara paling penting yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan ketidakadilan gender dan upaya-upaya sosialisasi/kampanye di berbagai bidang kehidupan, dari tingkatan keluarga, masyarakat, hingga negara. Hanya kesadaran bersama lelaki-perempuan dalam “relasi gender” yang mampu memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesadaran dan perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri. Sosialisasi/kampanye ini sangat mungkin dilakukan melalui dunia kesenian.

Untuk mengetahui kesenjangan, ketidakadilan, dan bias gender bisa dilakukan dengan menggunakan teknik Gender Analysis Pathway (GAP). Misalnya dalam bidang kesenian, dengan teknik GAP, kita bisa mengidentifikasi berbagai kesenjangan dan bias gender, yang bisa dipakai landasan menyusun rencana/kebijakan/program/proyek/kegiatan yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.

Data-data yang didapat dengan metode GAP ini kemudian disosialisasikan dengan menggunakan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Yakni salah satu strategi untuk memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki-laki ke dalam suatu bidang, misalnya bidang kesenian. Hal ini terkait dengan rancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan atau program dalam setiap bidang, yang tujuannya agar terjadi kesetaraan gender.

Untuk mencapai kesetaraan gender, diperlukan upaya memperbaiki kondisi secara berkualitas melalui affirmative action (tindakan afirmatif). Yakni suatu tindakan khusus untuk mendorong dan lebih memerhatikan jenis kelamin tertentu yang sedang mengalami ketidakadilan, dengan menempuh jalur struktural, misalnya terkait kebijakan pemerintah ataupun sistem pendidikan.

Tindakan afirmatif juga dilakukan melalui jalur kultural, dengan melakukan perubahan pola pikir yang dimulai dari kajian akademis dengan memperhatikan keberpihakan pada jenis kelamin tertentu yang sedang mengalami ketidakadilan dan diskriminasi dengan menggunakan analisis GAP. Hasil kajian tersebut kemudian diimplementasikan dalam kehidupan agar dapat mengubah persepsi dan perilaku masyarakat menuju kesetaraan dan keadilan gender.

Tindakan afirmatif dan sosialisasi gender juga sangat penting dilakukan melalui pendidikan, termasuk pendidikan kesenian. Isu-isu perjuangan kesetaraan gender bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Sekolah atau kampus seni menjadi salah satu ujung tombak yang harus berperan aktif dalam gerakan ini. Misalnya, harus diperbanyak penelitian, kajian akademik, dan penerbitan buku yang mengangkat isu gender dalam konteks kesenian di Bali.

Dalam konteks pendidikan kesenian, pada 2006-2011, Yayasan Metropoli Indonesia (YMID) pernah melakukan upaya-upaya kesetaraan gender dengan basis kesenian untuk anak-anak di Karangasem. Biasanya, grup tabuh gamelan didominasi laki-laki, meski belakangan ada grup tabuh perempuan dalam rangka proyek pemerintah. Namun, YMID sejak dini menggabungkan anak laki-laki dan perempuan dalam grup tabuh gamelan. Dan ternyata mereka bisa bermain dengan kompak. Ini salah satu upaya mewujudkan kesetaraan gender. Tidak hanya dalam seni gamelan, YMID juga menerapkan kesetaraan gender sejak dini dalam berbagai kursus kesenian lainnya.

Dalam ranah kesenian modern, isu-isu gender bisa dieksplorasi menjadi karya-karya seni, baik berupa lukisan, patung, foto, sastra, teater/seni pertunjukan, tari, musik, dan sebagainya. Dalam konteks seni rupa di Bali, IGAK Murniasih dan Citra Sasmita telah banyak melakukan “perlawanan” terhadap dominasi laki-laki dan budaya patriarki. Selain lewat seni rupa, Citra Sasmita juga melakukan perlawanan melalui tulisan esai atau artikel. Karya-karya mereka sebagian besar mengangkat tema perempuan atau tubuh perempuan yang tereksploitasi dalam kungkungan ideologi patriarki.

Di bidang sastra, ada sederetan nama perempuan yang melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki dan mengangkat isu gender dalam sejumlah karyanya. Untuk menyebut beberapa nama, antara lain Oka Rusmini, Cok Sawitri, Alit S Rini, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Kadek Sonia Piscayanti.

Vivi pernah menulis banyak puisi pada awal 2000-an yang mengangkat tema tubuh perempuan yang tereksploitasi, bahkan tak segan-segan menggunakan kata “vagina”, “penis”, dalam beberapa puisinya. Pranita bahkan pernah menerbitkan buku puisi berjudul “Pelacur Para Dewa” (2006) yang banyak berisi gugatan perihal eksistensi laki dan perempuan. Melalui buku puisi “Karena Aku Perempuan Bali” (2003), Alit S. Rini banyak mengungkap ketertindasan perempuan Bali dalam cengkeraman budaya patriarki. Hal senada juga bisa dilihat pada novel “Tarian Bumi” (2007) karya Oka Rusmini, kumpulan cerpen “Perempuan Tanpa Nama” (2015) karya Kadek Sonia Piscayanti. Perlawanan terhadap budaya patriarki juga muncul pada banyak karya Cok Sawitri, di antaranya novel “Janda Dari Jirah” (2007).

Ketidakadilan gender tidak hanya menjadi persoalan perempuan. Laki-laki yang bergerak di bidang sastra juga banyak mengangkat tema tersebut dalam sejumlah karya sastranya. Sebutlah misalnya Nyoman Rasta Sindu, Gde Aryantha Soethama, Putu Fajar Arcana, Wayan Sunarta, Made Adnyana Ole.

Dalam bidang musik, saya membayangkan akan bermunculan perempuan yang membentuk grup band dan menyanyikan lagu-lagu bermuatan gender. Atau paling tidak ada grup-grup band yang konsisten memperjuangkan kesetaraan gender. Sebab selama ini grup band didominasi laki-laki. Perempuan cenderung hanya menjadi grupis. Ini menjadi persoalan yang bisa ditindaklanjuti dengan afirmatif.

Bidang seni pertunjukan/teater sangat membuka peluang untuk menjadi media kampanye bagi gerakan-gerakan kesetaraan gender. Seniman-seniman yang potensial untuk melakukan hal itu, antara lain Cok Sawitri, Mas Ruscitadewi, Kadek Sonia Piscayanti. Mereka pernah mementaskan seni pertunjukan yang mengangkat isu gender.

            Dari uraian panjang lebar di atas, bisa disimpulkan bahwa memperjuangkan kesetaraan gender untuk perubahan sosial melalui bidang kesenian akan menjadi upaya yang sulit bila tidak dibarengi dengan kesadaran bersama, baik lelaki maupun perempuan. Sebuah kesadaran bahwa gender tidak berkaitan dengan jenis kelamin biologis, melainkan konstruksi social-budaya yang sengaja diciptakan untuk menguntungkan jenis kelamin tertentu, yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Lalu, apakah dalam sistem patriarki, laki-laki mau terlibat dalam memperjuangkan kesetaraan gender? Mari kita berbuat secara bersama-sama.***








No comments:

Post a Comment