Oleh:
Wayan Jengki Sunarta
Secara umum, sistem sosial-budaya di Bali
menganut ideologi patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama. Ideologi
ini didoktrinasi dan diwarisi secara turun temurun melalui sistem nilai, norma,
aturan. Bahkan diperkuat dengan mitos, folklore, dan sistem kepercayaan. Di
Bali, lelaki ditempatkan sebagai purusa,
dan perempuan adalah pradana. Purusa
adalah kepala keluarga, pelanjut keturuan dan pewaris tradisi. Pradana hanya
dianggap pelengkap dalam keluarga. Ideologi ini pada akhirnya membentuk
tradisi, budaya, serta sistem sosial yang disadari atau tidak cenderung
merugikan kaum perempuan.
Ideologi patriarki terbentuk melalui
sejarah yang sangat panjang dan mampu membangun peradaban manusia yang
menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan superior di berbagai bidang
kehidupan. Ideologi patriarki ini secara turun-temurun merancang dan membangun
perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan dalam sistem
social-budaya yang kemudian berdampak pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Gender bukanlah perbedaan jenis kelamin
secara biologis (kodrati), misalnya, laki-laki mempunyai penis, memproduksi
sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa
mengandung, melahirkan serta menyusui dan menopause. Gender adalah perbedaan
jenis kelamin berdasarkan konstruksi social dan budaya. Atau dengan istilah lain
gender adalah pembagian peran, kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan
perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan
laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan,
atau kebiasaan masyarakat. Dalam hal ini gender bisa mengalami perubahan sesuai
perkembangan jaman.
Perbedaan gender telah ditanamkan sejak
kanak-kanak dalam sistem sosial. Misalnya perempuan harus lemah lembut,
penyabar, penyayang, menjadi pengasuh anak, pengurus rumah, dan sebagainya.
Sedangkan laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis, rasional, wibawa, perkasa
(macho), sebagai pencari nafkah, kepala keluarga, dan sebagainya. Sejak kanak,
permainan anak laki dan perempuan selalu dibedakan. Misalnya, anak laki-laki diberikan
mainan berkaitan dengan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti
mobil-mobilan, pistol-pistolan, dan pedang-pedangan. Sedangkan anak perempuan
bermain boneka, dapur-dapuran, rumah-rumahan, dan sejenisnya. Anak lelaki bila
menangis dianggap cengeng. Anak perempuan bila suka manjat pohon dianggap
tomboy. Bahkan buku pelajaran di sekolah juga banyak menggambarkan peran gender
yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, gender
cenderung diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini
sebagai kodrat.
Gender sebenarnya tidak memunculkan
masalah sepanjang terjadi kesetaraaan. Namun, kenyataannya dalam sistem
social-budaya patriarki, gender sering dipakai oleh laki-laki untuk mendominasi
perempuan, sehingga muncul diskriminasi, stereotipe, subordinasi, marginalisasi,
beban kerja berlebihan, dan kekerasan berbasis gender. Hal itu terjadi pada
semua bidang kehidupan, termasuk dunia kesenian.
Stereotipe
Stereotipe adalah penilaian
terhadap seseorang, kelompok, suku bangsa hanya berdasarkan persepsi dan cenderung
berupa prasangka, bahkan sering melahirkan tindakan diskriminatif. Dalam konteks
gender, pandangan stereotipe seringkali menimpa kaum perempuan. Misalnya,
perempuan yang pulang larut malam dianggap sebagai perempuan jalang dan
berbagai sebutan buruk lainnya.
Dalam bidang seni, perempuan selalu
dianggap sebagai sumber keindahan. Hal ini menempatkan perempuan hanya sebatas objek
seni. Ada ribuan lukisan dan fotografi yang memvisualkan “keindahan” tubuh
perempuan. Di dunia akademik, mata kuliah anatomi dan melukis model menjadi
sesi yang menarik banyak perhatian mahasiswa laki-laki. Atau, pada kasus
bodypainting, tampak sekali tubuh perempuan sebagai objek eksploitasi.
Tradisi melukis model telanjang
sebenarnya diperkenalkan oleh seni rupa Barat. Dalam konteks Bali, bisa dilihat
pada kasus Le Mayeur yang melukis tubuh Ni Pollok, model yang kemudian
dijadikan istri. Bahkan, demi menjaga tubuh, Pollok tidak diijinkan hamil. Hal
yang senada juga dilakukan oleh Blanco terhadap Ni Ronji. Tradisi melukis model
dengan perempuan sebagai objek utama hingga kini masih terus dipertahankan
dalam seni rupa. Dan, perempuan cenderung
tidak merasa keberatan, karena menjadi model dianggap sebagai profesi atau cara
mendapatkan uang (bayaran).
Mengapa perempuan selalu dianggap
sebagai sumber keindahan, dieksplorasi dan dieksploitasi atas nama seni? Hal
ini muncul dari pandangn patriarki yang menganggap perempuan sebagai nature (elemen alam) dan laki-laki
adalah culture (elemen budaya).
Sebagai elemen culture, laki-laki menobatkan dirinya sebagai pencipta,
pembentuk budaya, dogma, norma, aturan, dan sebagainya. Dalam terminologi
budaya Bali, laki-laki dianggap langit (bapa angkasa, superior) dan perempuan
adalah bumi (ibu pertiwi, inferior). Dalam karya sastra tradisi, fenomena hujan
sering dimetaforkan sebagai sperma (air mani) yang membuahi bumi sehingga
lahirlah tetumbuhan, kesuburan, kemakmuran.
Dalam bidang kesenian, pandangan stereotipe
ini sering memosisikan perempuan sebagai mahkluk kelas dua. Maka, tidak banyak
muncul perempuan yang berprofesi sebagai seniman dan penulis.
Subordinasi
Salah satu penyebab ketidaksetaran dan
ketidakadilan gender adalah terjadinya subordinasi perempuan. Subordinasi
muncul dari pandangan stereotipe tentang perempuan. Karena perempuan selalu
diberi label mahkluk irasional, emosional, lemah, dan sebutan senada lainnya,
menyebabkan posisi perempuan selalu
menjadi nomor dua setelah laki-laki. Pandangan yang lebih menyudutkan lagi
adalah bahwa perempuan tidak boleh melebihi laki-laki. Hal ini menyebabkan
perempuan selalu ditempatkan dalam urusan domestik, mengurus anak, melayani
suami, atau hanya sebatas urusan kasur, sumur, dapur.
Memang, pada jaman kini telah banyak
perempuan yang berkarir atau bekerja mencari nafkah. Namun, istilah yang sering
dipakai untuk menyebut perempuan yang bekerja di ranah publik adalah “membantu”
suami mencari nafkah atau “membantu” perekonomian keluarga. Peran perempuan
mencari nafkah (bekerja) hanya dipandang sebagai bantuan, bukan hal yang utama.
Lalu apabila gaji istri lebih tinggi dari gaji suami, maka muncul kecemburuan,
dan persoalan psikologis lainnya, yang seringkali menyebabkan kekerasan
berbasis gender. Bahkan, karena persaingan jumlah gaji, tidak jarang si istri
dipaksa kembali mengurus urusan domestic. Hal ini menunjukkan bahwa suami
(laki-laki) cenderung merasa superior terhadap perempuan.
Subordinasi juga menyebabkan perempuan
sulit mengakses posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang
berhubungan dengan peran pengambilan keputusan. Misalnya, dalam konteks adat di
Bali, rapat-rapat adat dihadiri oleh kaum laki-laki sebagai kepala keluarga.
Perempuan tidak boleh menghadiri rapat adat. Hak perempuan dalam komunitas adat
bernama banjar hanya dalam urusan PKK (Posyandu dan sejenisnya) yang merupakan
perpanjangan tangan pemerintah. Di Bali, lelaki yang telah berkeluarga secara
langsung menjadi warga adat dan terlibat dalam berbagai urusan adat. Lalu,
siapa yang mewakili sebuah keluarga dalam rapat adat apabila suami sebagai
kepala keluarga meninggal dan anak-anak masih kecil? Nah, ini menjadi sebuah
persoalan.
Subordinasi juga terjadi dalam bidang
kesenian. Misalnya, karena perempuan terlanjur dilabelkan lemah lembut, maka
perempuan lebih cocok jadi penari, bukan pelukis atau pematung. Maka, di Bali,
bahkan di Indonesia, jumlah perempuan yang menjadi perupa bisa dihitung dengan
jari. Bahkan, di sekolah atau kampus seni, peminat seni lukis sebagian besar
laki-laki. Kalau ada satu atau dua perempuan yang masuk seni lukis, dianggap
aneh, dianggap tomboy, dan sejenisnya.
Perempuan cenderung lebih menekuni seni
kerajinan, sebab langsung berhubungan dengan perekonomian keluarga, misalnya
membatik, membuat lukisan wayang kamasan. Bahkan dalam home industri seni lukis
wayang Kamasan yang umumnya dikerjakan secara keroyokan, perempuan jarang
menempati posisi utama sebagai pembuat sketsa atau konsep. Perempuan lebih
banyak menjadi tukang mewarnai karena berkaitan dengan kelembutan dan
kehati-hatian.
Di Bali, perempuan yang menjadi pelukis
bisa dihitung dengan jari. Di antara jumlah yang segelintir itu adalah IGAK
Murniasih, Nyoman Sani, Citra Sasmita. Lalu, kemana yang lainnya? Lebih parah
lagi, perempuan cenderung berhenti menjadi seniman ketika sudah menikah. Mereka
mengorbankan bakat dan potensinya demi urusan domestik, yakni menjadi ibu rumah
tangga.
Perempuan yang menjadi kurator atau kritikus
seni juga bisa dihitung dengan jari. Bahkan di Bali belum ada perempuan yang
muncul sebagai kurator. Semoga dalam waktu dekat bermunculan perempuan yang
merintis karir sebagai kurator. Sebab selama ini pameran seni rupa di Bali umumnya
dikurasi oleh laki-laki, termasuk pameran yang melibatkan perempuan perupa.
Bidang seni lain, kecuali tari, juga
cenderung didominasi laki-laki. Coba perhatikan apakah ada grup band di Bali yang
semua personilnya perempuan? Perempuan cenderung diposisikan sebagai penyanyi,
sangat jarang yang menjadi gitaris, apalagi penggebuk drum.
Marginalisasi
Proses marginalisasi (peminggiran)
terhadap pcrempuan dapat terjadi di berbagai lini, dari keluarga hingga social,
budaya, ekonomi, bahkan negara. Dalam bidang ekonomi, perempuan terpinggirkan
karena program industrialisasi, misalnya tenaga perempuan diganti mesin atau
alat lain yang menyebabkan perempuan kehilangan pekerjaan. Marginalisasi itu
merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapisan bawah.
Dalam bidang kesenian, misalnya, proses marginalisasi terjadi pada industri
kerajinan batik. Ketika batik cap menjamur, tenaga perempuan diganti oleh
mesin. Dan, perempuan pun kehilangan pekerjaannya. Marginalisasi dalam keluarga
juga sering terjadi, misalnya, anak laki-laki memperoleh fasilitas, pendidikan,
kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak perempuan.
Di daerah pedalaman Bali, misalnya,
masih banyak orang tua yang merasa keberatan menyekolahkan anak perempuannya
tinggi-tinggi meskipun keluarga itu mampu. Ada anggapan anak perempuan tidak
perlu sekolah tinggi, cukup tahu baca tulis saja, sebab jika menikah nanti dia
akan jadi milik orang lain. Akhirnya, banyak anak perempuan yang putus sekolah
karena memilih bekerja membantu orang tua di kebun atau ladang. Anak perempuan
sendiri cenderung metilesan raga,
menyadari posisinya sebagai perempuan. Saya kira pola pikir metilesan raga ini perlu diubah untuk
menyadarkan bahwa para perempuan juga memiliki hak yang sama dalam bidang
pendidikan.
Perempuan seniman juga dianggap tidak
penting dan kurang diperhitungkan dalam kesenian modern. Ini proses peminggiran
secara halus. Coba perhatikan berapa banyak karya perempuan seniman yang
dibahas atau diapresiasi dalam ulasan atau kritik seni? Bisa dihitung dengan jari.
Beban Kerja Yang
Berlebihan
Budaya patriarki beranggapan bahwa
perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Suami adalah
kepala keluarga dan pencari nafkah. Urusan utama perempuan adalah domestik.
Bila ada perempuan yang mencari nafkah untuk keluarga, disebut “membantu”
perekonomian keluarga.
Karena anggapan bahwa tugas utama
perempuan adalah urusan domestik, maka perempuan yang bekerja di luar rumah pun
memiliki beban kerja yang makin banyak. Misalnya, sebelum berangkat kantor,
istri memasak, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Lalu, pulang dari kantor,
istri juga sibuk mengurus rumah. Memasak, mencuci, menyeterika, bersih-bersih
rumah, membimbing anak-anak belajar, dan berbagai pekerjaan domestic lainnnya,
seolah-olah hanya tugas dan tanggung jawab perempuan. Bahkan, seringkali
pekerjaan domestic yang berjibun itu tetap dilakukan perempuan meskipun dia sedang
haid, hamil, atau menyusui.
Sementara itu, laki-laki dianggap tidak
pantas mengurusi pekerjaan domestik. Pekerjaan domestik dianggap merendahkan
derajat kelelakian. Pekerjaan domestic dipandang hanya layak dikerjakan oleh
perempuan. Masyarakat masih memandang aneh bila ada laki-laki yang mencuci
pakaian istrinya, atau laki-laki yang sibuk memasak untuk keluarganya. Dari
sinilah muncul persoalan ketidakadilan gender. Sebenarnya pekerjaan domestic
tidak mengenal jenis kelamin biologis, siapa pun bisa melakukannya, baik
perempuan maupun laki-laki. Di sinilah perlu adanya kesadaran untuk mencapai
kesetaraan gender dalam urusan pekerjaan domestic.
Dalam konteks Bali, beban kerja
perempuan makin bertambah, dengan menyiapkan dan menghaturkan sesajen setiap rerahinan (hari penting Hindu-Bali). Di pedesaan, beban kerja itu
membuat perempuan seolah tak memiliki waktu luang. Misalnya, habis memasak, dia
juga harus memberi makan hewan peliharaan, atau pergi ke ladang untuk mencari
rumput.
Beban kerja berlebihan ini seringkali
menyebabkan perempuan yang potensial di
bidang kesenian akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga. Sebab tidak memiliki
waktu lagi untuk mengembangkan bakat di dunia kesenian. Hal ini diperparah lagi
bila sang suami menganggap kesenian tidak penting atau hanya membuang waktu.
Kekerasan Berbasis
Gender
Dalam budaya patriarki, kekerasan
berbasis gender seringkali minimpa kaum perempuan. Kekerasan itu tidak hanya
berupa kekerasan fisik, namun juga psikis dan seksual. Kekerasan ini sering
dipicu dari anggapan bahwa perempuan mahkluk kelas dua, laki-laki merasa
sebagai mahkluk superior, dan sejenisnya.
Kekerasan fisik bisa berupa pemukulan,
penganiayaan, bahkan pembunuhan. Kekerasan psikis dapat berjenis penghinaan,
sikap, ungkapan verbal atau perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati atau rasa
tidak nyaman. Kekerasan seksual bisa berupa pelecehan, pencabulan, pemerkosaan,
eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sebagainya.
Dalam dunia kesenian terbuka peluang
terjadinya kekerasan berbasis gender. Yang paling sering terjadi adalah
kekerasan psikis dan seksual. Pada kasus melukis model ataupun bodypainting
misalnya kekerasan psikis dan pelecehan seksual sangat kentara. Laki-laki yang
melakukan bodypainting terhadap perempuan, misalnya, dengan sengaja
berlama-lama menorehkan warna dengan kuas atau bahkan dengan tangan di
organ-organ intim perempuan. Dan, seringkali hal itu mengundang tawa, senyum,
atau komentar-komentar seronok dari para penonton bodypainting yang sebagian
besar laki-laki.
Pelecehan seksual juga sering terjadi
pada tari pergaulan joged bumbung. Para pengibing (laki-laki) dengan sengaja
menari sambil berusaha menjamah bagian-bagian intim penari joged. Bahkan
melakukan gerakan-gerakan seperti orang berhubungan badan. Anehnya, penari
joged juga melakukan hal yang sama, sehingga muncul istilah “joged porno”,
“joged buang”, “joged mesum”. Para penonton, baik laki-laki maupun perempuan,
umumnya menganggap hal itu sebagai hiburan yang seringkali mengundang gelak
tawa. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Di tengah persaingan yang makin ketat, pemimpin
grup joged bumbung yang umumnya laki-laki dengan sengaja meminta atau bahkan
memaksa para penari joged untuk menari lebih liar, erotis, dan melakukan
gerakan-gerakan vulgar, agar grup joged itu selalu mendapat order. Padahal tari
joged bumbung tidak harus menonjolkan unsur seksualitas secara berlebihan. Hal
ini bisa terjadi karena persaingan pasar. Para penari joged melakukan berbagai
upaya untuk menarik perhatian dan membuat grupnya laris. Hal yang sama juga
terjadi pada pementasan dangdut.
Kekerasan berbasis gender juga telah
banyak ditulis oleh para pengarang, baik melalui cerpen ataupun novel. Sejumlah
cerpen karya Kadek Sonia Piscayanti, Oka Rusmini, Gde Aryantha Soethama, Putu
Fajar Arcana mengangkat tema gender ataupun kekerasan berbasis gender. Menarik
bila cerpen-cerpen bertema gender atau kekerasan gender dikumpulkan menjadi
buku sebagai salah satu upaya penyadaran atau memperjuangkan kesetaraan gender.
Kekerasan berbasis gender tidak melulu
terjadi dalam konteks relasi lelaki-perempuan. Kekerasan tersebut juga bisa
dilakukan oleh sesama perempuan. Misalnya dilakukan perempuan yang berkuasa
(kuat) terhadap perempuan yang tak berkuasa (lemah), kakak terhadap adik,
mertua dengan menantu, ibu dengan anak, majikan dengan pembantu, atasan dengan
bawahan, ketua dengan anak buah, dan sebagainya. Ini juga menjadi persoalan
dalam gerakan feminisme.
Menghentikan kekerasan berbasis gender
bukanlah perkara mudah. Kuncinya adalah kesadaran bersama, baik laki-laki
maupun perempuan, dalam berbagai bidang kehidupan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama mahkluk ciptaan Tuhan, memiliki hak yang setara, peluang dan potensi
yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Memperjuangkan Kesetaraan
Gender
Kesetaraan gender adalah kondisi yang
dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban,
peranan, dan kesempatan yang sama, dilandasi saling menghormati dan menghargai
serta membantu di berbagai sektor untuk kemajuan bersama. Memperjuangkan
kesetaraan gender bukanlah mempertentangkan dua jenis kelamin. Tetapi,
upaya-upaya membangun relasi gender yang setara, tanpa diskriminasi.
Cara paling penting yang harus dilakukan
adalah mengubah pola pikir laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan
ketidakadilan gender dan upaya-upaya sosialisasi/kampanye di berbagai bidang
kehidupan, dari tingkatan keluarga, masyarakat, hingga negara. Hanya kesadaran
bersama lelaki-perempuan dalam “relasi gender” yang mampu memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender. Kesadaran dan perubahan itu harus dimulai dari
diri sendiri. Sosialisasi/kampanye ini sangat mungkin dilakukan melalui dunia
kesenian.
Untuk mengetahui kesenjangan, ketidakadilan,
dan bias gender bisa dilakukan dengan menggunakan teknik Gender Analysis Pathway (GAP). Misalnya dalam bidang kesenian,
dengan teknik GAP, kita bisa mengidentifikasi berbagai kesenjangan dan bias
gender, yang bisa dipakai landasan menyusun rencana/kebijakan/program/proyek/kegiatan
yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.
Data-data yang didapat dengan metode GAP
ini kemudian disosialisasikan dengan menggunakan
strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Yakni salah satu strategi untuk
memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki-laki ke dalam suatu bidang,
misalnya bidang kesenian. Hal ini terkait dengan rancangan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi kebijakan atau program dalam setiap bidang, yang tujuannya agar
terjadi kesetaraan gender.
Untuk mencapai kesetaraan gender,
diperlukan upaya memperbaiki kondisi secara berkualitas melalui affirmative action (tindakan afirmatif). Yakni
suatu tindakan khusus untuk mendorong dan lebih memerhatikan jenis kelamin
tertentu yang sedang mengalami ketidakadilan, dengan menempuh jalur struktural,
misalnya terkait kebijakan pemerintah ataupun sistem pendidikan.
Tindakan afirmatif juga dilakukan melalui
jalur kultural, dengan melakukan perubahan pola pikir yang dimulai dari kajian
akademis dengan memperhatikan keberpihakan pada jenis kelamin tertentu yang
sedang mengalami ketidakadilan dan diskriminasi dengan menggunakan analisis
GAP. Hasil kajian tersebut kemudian diimplementasikan dalam kehidupan agar dapat
mengubah persepsi dan perilaku masyarakat menuju kesetaraan dan keadilan
gender.
Tindakan afirmatif dan sosialisasi
gender juga sangat penting dilakukan melalui pendidikan, termasuk pendidikan
kesenian. Isu-isu perjuangan kesetaraan gender bisa dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan. Sekolah atau kampus seni menjadi salah satu ujung tombak
yang harus berperan aktif dalam gerakan ini. Misalnya, harus diperbanyak
penelitian, kajian akademik, dan penerbitan buku yang mengangkat isu gender
dalam konteks kesenian di Bali.
Dalam konteks pendidikan kesenian, pada
2006-2011, Yayasan Metropoli Indonesia (YMID) pernah melakukan upaya-upaya
kesetaraan gender dengan basis kesenian untuk anak-anak di Karangasem.
Biasanya, grup tabuh gamelan didominasi laki-laki, meski belakangan ada grup
tabuh perempuan dalam rangka proyek pemerintah. Namun, YMID sejak dini
menggabungkan anak laki-laki dan perempuan dalam grup tabuh gamelan. Dan
ternyata mereka bisa bermain dengan kompak. Ini salah satu upaya mewujudkan
kesetaraan gender. Tidak hanya dalam seni gamelan, YMID juga menerapkan kesetaraan
gender sejak dini dalam berbagai kursus kesenian lainnya.
Dalam ranah kesenian modern, isu-isu
gender bisa dieksplorasi menjadi karya-karya seni, baik berupa lukisan, patung,
foto, sastra, teater/seni pertunjukan, tari, musik, dan sebagainya. Dalam
konteks seni rupa di Bali, IGAK Murniasih dan Citra Sasmita telah banyak
melakukan “perlawanan” terhadap dominasi laki-laki dan budaya patriarki. Selain
lewat seni rupa, Citra Sasmita juga melakukan perlawanan melalui tulisan esai
atau artikel. Karya-karya mereka sebagian besar mengangkat tema perempuan atau
tubuh perempuan yang tereksploitasi dalam kungkungan ideologi patriarki.
Di bidang sastra, ada sederetan nama
perempuan yang melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki dan mengangkat
isu gender dalam sejumlah karyanya. Untuk menyebut beberapa nama, antara lain
Oka Rusmini, Cok Sawitri, Alit S Rini, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Kadek
Sonia Piscayanti.
Vivi pernah menulis banyak puisi pada
awal 2000-an yang mengangkat tema tubuh perempuan yang tereksploitasi, bahkan
tak segan-segan menggunakan kata “vagina”, “penis”, dalam beberapa puisinya.
Pranita bahkan pernah menerbitkan buku puisi berjudul “Pelacur Para Dewa”
(2006) yang banyak berisi gugatan perihal eksistensi laki dan perempuan. Melalui
buku puisi “Karena Aku Perempuan Bali” (2003), Alit S. Rini banyak mengungkap
ketertindasan perempuan Bali dalam cengkeraman budaya patriarki. Hal senada
juga bisa dilihat pada novel “Tarian Bumi” (2007) karya Oka Rusmini, kumpulan
cerpen “Perempuan Tanpa Nama” (2015) karya Kadek Sonia Piscayanti. Perlawanan
terhadap budaya patriarki juga muncul pada banyak karya Cok Sawitri, di antaranya
novel “Janda Dari Jirah” (2007).
Ketidakadilan gender tidak hanya menjadi
persoalan perempuan. Laki-laki yang bergerak di bidang sastra juga banyak mengangkat
tema tersebut dalam sejumlah karya sastranya. Sebutlah misalnya Nyoman Rasta Sindu,
Gde Aryantha Soethama, Putu Fajar Arcana, Wayan Sunarta, Made Adnyana Ole.
Dalam bidang musik, saya membayangkan
akan bermunculan perempuan yang membentuk grup band dan menyanyikan lagu-lagu
bermuatan gender. Atau paling tidak ada grup-grup band yang konsisten
memperjuangkan kesetaraan gender. Sebab selama ini grup band didominasi
laki-laki. Perempuan cenderung hanya menjadi grupis. Ini menjadi persoalan yang
bisa ditindaklanjuti dengan afirmatif.
Bidang seni pertunjukan/teater sangat
membuka peluang untuk menjadi media kampanye bagi gerakan-gerakan kesetaraan
gender. Seniman-seniman yang potensial untuk melakukan hal itu, antara lain Cok
Sawitri, Mas Ruscitadewi, Kadek Sonia Piscayanti. Mereka pernah mementaskan
seni pertunjukan yang mengangkat isu gender.
Dari uraian panjang lebar di atas,
bisa disimpulkan bahwa memperjuangkan kesetaraan gender untuk perubahan sosial
melalui bidang kesenian akan menjadi upaya yang sulit bila tidak dibarengi
dengan kesadaran bersama, baik lelaki maupun perempuan. Sebuah kesadaran bahwa
gender tidak berkaitan dengan jenis kelamin biologis, melainkan konstruksi
social-budaya yang sengaja diciptakan untuk menguntungkan jenis kelamin
tertentu, yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Lalu, apakah dalam sistem
patriarki, laki-laki mau terlibat dalam memperjuangkan kesetaraan gender? Mari
kita berbuat secara bersama-sama.***
No comments:
Post a Comment