Petani
Terakhir, Ironi Kehidupan Kaum Jelata
Oleh: Wayan Jengki Sunarta
Judul Film: Petani Terakhir
Sutradara: Dwitra J. Ariana
Produser: Maria Ekaristi & Agung
Bawantara
Produksi: Sanggar Siap Selem, 2016.
Denpasar adalah sebuah wilayah yang terus
menerus mengalami gempuran modernisasi. Tiada henti berdandan menjadi kota gemerlap
yang memukau banyak kaum urban untuk mendatanginya. Pada masa 1990-an atau
1980-an, di pinggiran Denpasar masih mudah ditemui persawahan yang menghampar
menyejukkan mata. Namun, seiring laju pesat pembangunan dan kepentingan
pragmatis, para petani beramai-ramai menjual sawah warisan leluhurnya.
Uang habis, sawah pun lenyap. Banyak petani
beralih profesi menjadi kuli atau menekuni pekerjaan lain. Perlahan, sawah-sawah
pun beralih fungsi menjadi pemukiman dan pertokoan. Jalur-jalur hijau dengan
mudah berpindah lokasi sesuai kepentingan penanam modal. Di tengah gemerlap
kota, Denpasar menyimpan banyak kisah pilu kaum tani. Dan, film dokumenter “Petani
Terakhir” karya Dwitra J. Ariana mengungkap sebagian kecil dari kisah pilu itu.
“Petani Terakhir” berkisah tentang kegundahan
seorang petani muda di pinggiran kota Denpasar. Dia menggarap sawah warisan
orang tuanya di sela-sela pekerjaannya sebagai pegawai swasta. Namun,
penghasilan sebagai petani di jaman sekarang ternyata tidak mampu mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarganya.
Meski sulit hidup sebagai petani, dia
berusaha tetap bertahan. Masalah demi masalah pun bermunculan. Mulai dari harga
pupuk yang semakin mahal, harga gabah yang murah, gagal panen, serangan hama, kekurangan
air, hingga saluran irigasi tercemar limbah plastik. Perlahan pikiran petani
muda itu mulai goyah. Untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan
lain, dia berniat menjual sebagian sawahnya.
Pikirannya berkecamuk, antara bertahan
sebagai petani atau menjual sawah. Dia berkeluh kesah ke kawan-kawannya sesama
petani. Banyak yang tidak setuju dia menjual sawah hanya untuk menutupi
kebutuhan ekonomi keluarga. Masih ada cara lain untuk mencari uang. Ibunya juga
tidak mendukung. Jalan buntu menghadang keinginannya.
“Petani Terakhir” adalah sebuah ironi di
tengah kemajuan jaman dan ketidakpedulian pemerintah pada nasib petani. Kisah petani
dalam film ini tidak hanya terjadi di pinggiran Denpasar, namun juga terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia. Kisah ini hanya salah satu puncak dari gunung es
tragedi pertanian di Indonesia.
Film yang didanai dari Program Grant Denpasar
Film Festival (DFF) 2015 ini menjadi tamparan dan kritik bagi pemerintah. Selain
itu, juga menjadi bahan renungan, bahwa selama ini orang seringkali lupa asal
muasal nasi yang dimakannya. Bahkan, banyak orang meremehkan pekerjaan petani,
tidak berpikir bahwa nasi di meja makan adalah hasil jerih payah kaum tani.
Sebagai sutradara dan camera person, Dwitra sangat cermat mengangkat detail dan ironi
kehidupan petani. Ironi menjadi salah satu kekuatan sutradara dari Bangli ini
dalam menggarap film dokumenter. Kegiatan gotong royong kaum tani saat
memperbaiki saluran irigasi, keluh kesah mereka, sikap dan pendirian para
petani tua, menjadi rangkaian cerita yang penuh permenungan.
Ironi yang sangat menggelitik adalah
penayangan papan pengumuman dari Pemerintah Kota Denpasar, Dinas Tata Ruang dan
Perumahan, yang berbunyi dilarang membangun di ruang terbuka hijau kota. Namun,
di balik papan itu, terbentang pemukiman atau perumahan mewah.
Alih fungsi lahan membuat sawah-sawah makin terjepit
dengan bangunan-bangunan beton. Pencemaran pun terjadi di mana-mana. Penyebab utamanya
adalah perilaku membuang sampah plastik dari orang-orang yang konon modern dan
beradab. Limbah-limbah pemukiman itu akhirnya meluber ke persawahan dan saluran
irigasi. Ini adalah ironi tersendiri.
Entah disadari atau tidak, membuang sampah
dan limbah ke persawahan adalah suatu bentuk penghinaan dan penistaan. Penghinaan
terhadap kaum tani yang telah bersusah payah menghasilkan beras untuk makanan
banyak orang. Sekaligus penistaan terhadap kesakralan wilayah sawah dan Dewi Sri,
yang telah memberkahi manusia dengan kemakmuran.
Ironi lainnya adalah fenomena orang-orang
luar Bali yang bekerja menjadi pemetik padi saat musim panen. Sementara itu,
orang Bali sendiri, terutama anak-anak mudanya, semakin tidak peduli dengan dunia
pertanian. Generasi muda Bali lebih memilih bekerja sebagai pelayan atau jongos
di restaurant atau hotel ketimbang menjadi majikan di tanah sawahnya sendiri.
Beberapa adegan yang mengharukan juga
memperkuat keutuhan film ini. Misalnya, sikap dan pandangan seorang nenek yang
bersetia dengan sawahnya. Nenek itu mengatakan bahwa bila dirinya hanya diam di
rumah tanpa menyibukkan diri di sawah, tentu dia akan cepat mati. Ini adalah
prototipe orang-orang tua Bali, bekerja adalah sebuah yadnya dan jalan mencapai keilahian (karma marga).
Alur film ini mengalir melalui dialog-dialog
para pemainnya. Adegan-adegan kehidupan sosial kaum petani yang masih
mempertahankan tradisi subak membuncahkan keharuan. Sudut-sudut pengambilan gambar
tertata dengan baik, detail, dan terkesan alamiah. Namun, di sisi lain, film
dokumenter yang terlalu banyak menampilkan dialog cenderung menjadi cerewet. Apalagi
dialog-dialog pemainnya memakai bahasa Bali dan tidak diberikan subtitle. Hal ini menyulitkan penonton
yang tidak memahami bahasa Bali untuk mengikuti jalan cerita. Andai saja,
Dwitra juga menggunakan kekuatan simbol dan memainkan sejumlah backsound di beberapa adegan, tentu film
ini akan lebih memukau dan makin menerbitkan keharuan.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,
film ini semestinya ditonton oleh berbagai lapisan masyarakat, sebab mengangkat
hal yang sangat urgen dalam kehidupan, yakni tergusurnya lahan pertanian dan
kaum tani. Semoga film ini mampu mengetuk hati pemerintah dan banyak pihak agar
lebih peduli pada sektor pertanian dan kehidupan kaum tani.***
No comments:
Post a Comment