Labels

Sunday, 10 July 2016

Petani Terakhir, Ironi Kehidupan Kaum Jelata

Petani Terakhir, Ironi Kehidupan Kaum Jelata

Oleh: Wayan Jengki Sunarta


Judul Film: Petani Terakhir
Sutradara: Dwitra J. Ariana
Produser: Maria Ekaristi & Agung Bawantara
Produksi: Sanggar Siap Selem, 2016.


Denpasar adalah sebuah wilayah yang terus menerus mengalami gempuran modernisasi. Tiada henti berdandan menjadi kota gemerlap yang memukau banyak kaum urban untuk mendatanginya. Pada masa 1990-an atau 1980-an, di pinggiran Denpasar masih mudah ditemui persawahan yang menghampar menyejukkan mata. Namun, seiring laju pesat pembangunan dan kepentingan pragmatis, para petani beramai-ramai menjual sawah warisan leluhurnya.

Uang habis, sawah pun lenyap. Banyak petani beralih profesi menjadi kuli atau menekuni pekerjaan lain. Perlahan, sawah-sawah pun beralih fungsi menjadi pemukiman dan pertokoan. Jalur-jalur hijau dengan mudah berpindah lokasi sesuai kepentingan penanam modal. Di tengah gemerlap kota, Denpasar menyimpan banyak kisah pilu kaum tani. Dan, film dokumenter “Petani Terakhir” karya Dwitra J. Ariana mengungkap sebagian kecil dari kisah pilu itu.

“Petani Terakhir” berkisah tentang kegundahan seorang petani muda di pinggiran kota Denpasar. Dia menggarap sawah warisan orang tuanya di sela-sela pekerjaannya sebagai pegawai swasta. Namun, penghasilan sebagai petani di jaman sekarang ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Meski sulit hidup sebagai petani, dia berusaha tetap bertahan. Masalah demi masalah pun bermunculan. Mulai dari harga pupuk yang semakin mahal, harga gabah yang murah, gagal panen, serangan hama, kekurangan air, hingga saluran irigasi tercemar limbah plastik. Perlahan pikiran petani muda itu mulai goyah. Untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan lain, dia berniat menjual sebagian sawahnya.

Pikirannya berkecamuk, antara bertahan sebagai petani atau menjual sawah. Dia berkeluh kesah ke kawan-kawannya sesama petani. Banyak yang tidak setuju dia menjual sawah hanya untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Masih ada cara lain untuk mencari uang. Ibunya juga tidak mendukung. Jalan buntu menghadang keinginannya.

“Petani Terakhir” adalah sebuah ironi di tengah kemajuan jaman dan ketidakpedulian pemerintah pada nasib petani. Kisah petani dalam film ini tidak hanya terjadi di pinggiran Denpasar, namun juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kisah ini hanya salah satu puncak dari gunung es tragedi pertanian di Indonesia.

Film yang didanai dari Program Grant Denpasar Film Festival (DFF) 2015 ini menjadi tamparan dan kritik bagi pemerintah. Selain itu, juga menjadi bahan renungan, bahwa selama ini orang seringkali lupa asal muasal nasi yang dimakannya. Bahkan, banyak orang meremehkan pekerjaan petani, tidak berpikir bahwa nasi di meja makan adalah hasil jerih payah kaum tani.

Sebagai sutradara dan camera person, Dwitra sangat cermat mengangkat detail dan ironi kehidupan petani. Ironi menjadi salah satu kekuatan sutradara dari Bangli ini dalam menggarap film dokumenter. Kegiatan gotong royong kaum tani saat memperbaiki saluran irigasi, keluh kesah mereka, sikap dan pendirian para petani tua, menjadi rangkaian cerita yang penuh permenungan.

Ironi yang sangat menggelitik adalah penayangan papan pengumuman dari Pemerintah Kota Denpasar, Dinas Tata Ruang dan Perumahan, yang berbunyi dilarang membangun di ruang terbuka hijau kota. Namun, di balik papan itu, terbentang pemukiman atau perumahan mewah.

Alih fungsi lahan membuat sawah-sawah makin terjepit dengan bangunan-bangunan beton. Pencemaran pun terjadi di mana-mana. Penyebab utamanya adalah perilaku membuang sampah plastik dari orang-orang yang konon modern dan beradab. Limbah-limbah pemukiman itu akhirnya meluber ke persawahan dan saluran irigasi. Ini adalah ironi tersendiri.

Entah disadari atau tidak, membuang sampah dan limbah ke persawahan adalah suatu bentuk penghinaan dan penistaan. Penghinaan terhadap kaum tani yang telah bersusah payah menghasilkan beras untuk makanan banyak orang. Sekaligus penistaan terhadap kesakralan wilayah sawah dan Dewi Sri, yang telah memberkahi manusia dengan kemakmuran.

Ironi lainnya adalah fenomena orang-orang luar Bali yang bekerja menjadi pemetik padi saat musim panen. Sementara itu, orang Bali sendiri, terutama anak-anak mudanya, semakin tidak peduli dengan dunia pertanian. Generasi muda Bali lebih memilih bekerja sebagai pelayan atau jongos di restaurant atau hotel ketimbang menjadi majikan di tanah sawahnya sendiri.

Beberapa adegan yang mengharukan juga memperkuat keutuhan film ini. Misalnya, sikap dan pandangan seorang nenek yang bersetia dengan sawahnya. Nenek itu mengatakan bahwa bila dirinya hanya diam di rumah tanpa menyibukkan diri di sawah, tentu dia akan cepat mati. Ini adalah prototipe orang-orang tua Bali, bekerja adalah sebuah yadnya dan jalan mencapai keilahian (karma marga).

Alur film ini mengalir melalui dialog-dialog para pemainnya. Adegan-adegan kehidupan sosial kaum petani yang masih mempertahankan tradisi subak membuncahkan keharuan. Sudut-sudut pengambilan gambar tertata dengan baik, detail, dan terkesan alamiah. Namun, di sisi lain, film dokumenter yang terlalu banyak menampilkan dialog cenderung menjadi cerewet. Apalagi dialog-dialog pemainnya memakai bahasa Bali dan tidak diberikan subtitle. Hal ini menyulitkan penonton yang tidak memahami bahasa Bali untuk mengikuti jalan cerita. Andai saja, Dwitra juga menggunakan kekuatan simbol dan memainkan sejumlah backsound di beberapa adegan, tentu film ini akan lebih memukau dan makin menerbitkan keharuan.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, film ini semestinya ditonton oleh berbagai lapisan masyarakat, sebab mengangkat hal yang sangat urgen dalam kehidupan, yakni tergusurnya lahan pertanian dan kaum tani. Semoga film ini mampu mengetuk hati pemerintah dan banyak pihak agar lebih peduli pada sektor pertanian dan kehidupan kaum tani.***





No comments:

Post a Comment