Labels

Wednesday 28 February 2018

Dinamika Seni Lukis Gaya Batuan



Teks dan foto: Wayan Jengki Sunarta*


(Pria Bali di Bak Mandi karya Wayan Aris Sarmanta)
Kegiatan melukis atau menggambar di Desa Batuan, Gianyar, Bali, telah ada sejak zaman kerajaan Bali kuno dan menjadi bagian dari ritual keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan adanya kata “citrakara” (ahli gambar) dalam Prasasti Batuan, berangka tahun 944 Saka atau 1022 Masehi, ditulis pada masa Raja Marakata dari Dinasti Warmadewa.

Namun, seni lukis gaya Batuan menemukan eksistensinya dan makin dikenal secara luas ketika dikoleksi dan dipromosikan oleh antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson yang sempat melakukan penelitian di Batuan pada tahun 1930-an. Pada masa itu, tema-tema yang ditampilkan berupa aktivitas masyarakat Batuan, folklore, dan kisah-kisah pewayangan.
Ciri khas lukisan Batuan pada masa itu adalah menggunakan warna hitam-putih yang memunculkan efek gelap-terang dan nuansa magis yang kuat. Pada beberapa lukisan tampak pula bidang gambar yang penuh dengan berbagai narasi dan fragmen yang tumpang tindih antara kehidupan alam sekala (nyata) dan niskala (gaib/maya).
Seni lukis gaya Batuan mampu bertahan dan berkembang hingga sekarang karena adanya sistem pewarisan ilmu dari generasi ke generasi. Sistem yang bersifat informal itu berlangsung dalam keluarga atau lingkungan terdekat. Metodenya pun berbeda-beda. Ada dengan cara meniru atau mencontoh. Ada yang hanya diberikan teori atau teknik, kemudian murid mencari dan mengembangkan sendiri tema yang disukainya.
Salah satu pelukis Batuan yang sangat idealis dalam mengajar murid-muridnya adalah I Ngendon (1903-1948). Bagi Ngendon, setiap murid harus mampu menggambar bentuk-bentuk yang berbeda. Ngendon melahirkan generasi pelukis Batuan yang mampu menggali dan mendalami tematik secara kuat. Sementara itu, pelukis lain yang tidak berguru pada Ngendon, masih berkutat dengan tematik tradisional.
Teknik melukis gaya Batuan cukup rumit, mengandalkan kesabaran dan ketekunan. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni ngorten atau membuat sketsa, nyawi, memberi kontor pada sketsa, ngucek atau memberi gradasi secara bertahap, manyunin dan ngidupang untuk memunculkan kesan kedalaman, dan ngewarna alias memberi warna.
Lukisan gaya Batuan dari generasi tua hingga muda bisa diapresiasi pada pameran The Dynamic Heritage yang digelar di Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali, dari 19 Januari 2018 hingga 28 Februari 2018. Pameran yang dikurasi Made Susanta Dwitanaya ini menampilkan karya-karya Made Sujendra (1964), Ketut Sadia (1966),  Wayan Diana (1977), Made Griyawan (1979), Made Karyana (1981), Gede Widiantara (1984), Wayan Eka Suamba (1985), Wayan Budiarta (1993), Wayan Aris Sarmanta (1995), Pande Made Dwi Artha (1998), Dewa Virayuga, Nyoman Sudirga.
Dari 24 lukisan yang ditampilkan, sebagian besar secara visual masih terjebak pada tematik seni lukis Batuan tempo dulu, seperti kehidupan nelayan dan petani, ritual di pura, folklore Bali. Meski begitu, beberapa pelukis berusaha memodifikasi tematik tersebut menjadi lebih kekinian. Namun, ada beberapa karya yang cukup menyedot perhatian karena mengangkat tema politik dan sosial-budaya kontemporer.
(Ular vs Kucing karya Wayan Diana)
Hal itu, misalnya, tampak pada lukisan Wayan Diana yang berjudul “Ular vs Kucing” (2016). Lukisan berukuran 100 x 200 cm ini berkisah tentang kucing bertarung dengan ular dan ditonton ribuan tikus sembari berpesta pora. Melihat dari latar gedung-gedung pencakar langit dan tugu Monas, pertarungan itu terjadi di Jakarta. Simbol kucing, ular, tikus jelas mengacu pada pergolakan politik dan kasus-kasus korupsi yang kian mewabah di Indonesia.
Di sisi lain, lewat lukisan “Pertahanan Pancasila” (70 x 60 cm, 2016), Pande Made Dwi Artha menggambarkan berbagai ancaman yang mendera Indonesia. Dalam lukisan ini tampak burung garuda yang bertamengkan Pancasila diancam dari berbagai arah dengan berbagai cara, mulai dari narkoba, terorisme, kriminalitas, hingga korupsi.
Lukisan yang tak kalah menariknya adalah karya Wayan Aris Sarmanta yang berjudul “Pria Bali di Bak Mandi” (90 x 70 cm, 2017). Lukisan ini menampilkan sosok pria raksasa sedang berendam di bak mandi. Mahkota yang masih bertengger di kepalanya menandakan pria itu sosok yang sangat berkuasa. Di sekitar bak mandi tampak sejumlah orang berukuran kecil melakukan aktivitas kesehariannya.
Lewat lukisan ini, Aris Sarmanta dengan cerdik dan kreatif melontarkan kritik terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang sedang melanda Bali. Dalam lukisan ini tampak fragmen kehidupan masa lampau dibenturkan dengan kehidupan masa kini di tengah berbagai krisis ekologi yang terjadi di Bali, seperti krisis air, alih fungsi lahan, bencana Gunung Agung. Dulu air di Bali sangat melimpah dan dinikmati beramai-ramai oleh masyarakat, namun kini sumber-sumber air dikuasai oleh segelintir orang untuk kepentingan bisnis pribadi.
Kritik terhadap persoalan sosial budaya juga diangkat oleh I Made Griyawan lewat lukisan berjudul “Kaliyuga (Dunia Terbalik)”. Lukisan berukuran 290 x 30 cm itu dibagi menjadi empat panel, masing-masing menyuguhkan ironi yang melanda kehidupan kekinian. Misalnya, panel pertama berisi tentang orang tua zaman sekarang yang lebih menyayangi hewan peliharaan ketimbang anak sendiri. Panel kedua tentang kisah cinta beda usia dan sesama jenis. Panel ketiga tentang orang yang gila memberhalakan harta. Dan, panel keempat tentang manusia-manusia yang berkelakuan tikus.
Secara tematik, seni lukis gaya Batuan akan terus berkembang mengikuti zaman. Dalam hal ini seni lukis gaya Batuan memiliki kemampuan mendokumentasikan berbagai persoalan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dan, tentu saja hal itu tergantung pada kemampuan dan kepekaan pelukisnya mengabadikan konten zaman.***


*penulis menetap di Bali.

No comments:

Post a Comment