Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai
leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak,
rasi biduk dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata,
penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku
terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta
pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui.
Meski raja mencintaiku, namun tahta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh.
Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu,
kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan
janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis.
Menebas air mata. Raja merestuiku jadi
laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja—ayah yang
dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh
di musim tandus. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
***
Ruh berputar. Cakra punarbhawa.
Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi
serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara
kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki
kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut
ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah
penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke
seribu, yang haus, ganas dan bringas.
Aku tumbuh menjadi penjudi,
centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priyayi. Hingga
tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno.
Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin
merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di
pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang
senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
***
Ketika musim pembantaian tiba,
aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah
digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri
ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit
jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru warta,
mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam
gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars.
Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke
mana.
Koran mengabarkan aku lenyap,
tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah
laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku.
Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu
kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu
arah.
***
Aku lahir kembali di lorong kumuh
sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan
bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah
memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang
mencintai malam.
Ayahku raja pasar gelap.
Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron
polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan
penuh rajah. Ada tujuh lubang peluru yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari
telanjang termasyur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku
menenggak anggur bercampur abu ganja dan
sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku
meronta, aku berontak. Ibu menjerit:
“aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga
purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim hangat ibu yang
melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai
Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel
dan restauran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada
hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku
menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta aku menjelma
gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan
menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh
pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang
kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun kubuka:
Di pantai aku merayu, seakan alpa
akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling
matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang
kepeng bekas upacara dan tutup botol coca-cola. Kau berlari kecil dan tertawa
renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang
ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon
ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar.
Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi
beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau membujuk,
mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam,
beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun
yang kalah.
Malam melata. Dinding kamar
samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk
sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini,
ijinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer
seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun kau simpan.
Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah
mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Bringas kau
menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang
kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di
muka gapura permata camar-camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu.
Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium
melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk
pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai
pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur malam,
menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di
pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu
kelabu.
Usai upacara kecil itu, kau
memaksaku kluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang
bising, brisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh
dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is
very nice!”
Setengah memaksa, setengah
dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal,
selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau
tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.
Agak mengerak dalam benakku,
waktu itu puncak malam sabtu. Udara dingin oktober, merembes membasahi arus
darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa
menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke karya Bee
Gees, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau
berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku
terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang
panas—meski kau dari negeri salju—memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik
kemudian, waku tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus
tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh
lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing
yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas dihempas
angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging
gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.
Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala
terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku
tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute
pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Nafasku tercekik
belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas
samudera.
Pada parak pagi, kutemukan
tubuhku remuk diantara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga,
menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan
berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari, minggu, dan
bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru.
Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Hanya baju-baju kaos pengabar
duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang
tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada
semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang relawan
menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin
gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol
bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir
yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotik. Ada bekas ganggang biru dan
sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada
rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang,
yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang,
menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya
gemintang.
Tak ada lagi mantera penolak bala
atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir
aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar
kusam.
***
Kaukah ruh, asal segala keluh dan
jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang
berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau
kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti
burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti
mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan
bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu,
apa harus aku mempercayaiMu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri
aku sebilah klewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika
usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku
mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun
kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya,
yang menghuni lubuk paling kelam dari samudera membeku, dari jiwa paling
kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!***
Kuta-Denpasar, 2003
(Kompas, 14 Desember 2003; Cerpen Pilihan Kompas 2004; Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta)
"Tak Terbayangkan " adalah Judul Novel yang ditulis oleh Remaja berbakat, usia 14 tahun, pelajare SMP Negeri Kelas II di Singaraja, EKA WIJAYA nama remaja itu. Bisakah anda memberikan segores penamu diatas Novel itu untuk sekedar apresiasi agar si Remaja Berbakat tidak berhenti menulis karena karyana tidak ada yang melirik. Dia ingin mendapat support dari mereka yang disebut Penyair, Sastrawan atau Penulis Cerpen atau Novelis. Namun siapa nyana sampai hari ini, sampai dia Penulis Remaja Berbakat ini menghasilkan Karyanya yang ke 2 yang dia beri judul DUA PEMBURU. Buku pertama akan dia launching pada bulan April 2013 di Aula SMPN III Singaraja. Adakah ANDA dan Sekalian Penulis yang senantiasa menelorkan karya Tulis seperti Cerpen & Novel akan tetap tidur tanpa pernah mencoba mengenal Eka Wijaya, Remaja berbakat usia 14 Tahun dari Singaraja?
ReplyDeleteInfo : Made Adiptayasa 0817553021/ 085737306293