Labels

Friday 2 December 2011

Yudane: Dari Sunyi ke Bunyi, Mengolah Jati Diri


oleh : Wayan Sunarta

(Wayan Gde Yudane)
Dikenal sebagai pembangkang, tetapi tak berarti ia sombong. Menggandrungi new music, tetapi bukan lantas ia anti tradisi. I Wayan Gde Yudane, lahir di Banjar Kaliungu Denpasar, tersohor selaku komposer, mengolah bunyi menegaskan jati diri, dikagumi di bumi sendiri dan tentu disegani pula di luar negeri.
Yudane memang sosok yang selalu gelisah untuk terus berupaya mencari dan menggali berbagai kemungkinan baru dalam aliran seni musik yang digelutinya. Suka mendebat dosen, tidak pernah puas pada materi kuliah yang diberikan. Suka menciptakan garapan-garapan nyleneh, seperti "Laya"(1991), yang melahirkan pro dan kontra saat digelar.
         Kebandelan dan kegigihan itu membuahkan hasil, kini ia menjelma seorang komposer yang memiliki segunung pengalaman dan penghargaan. Undangan konser, menjadi pengajar, pembicara dan berkolaborasi dengan beberapa tokoh  new music, berdatangan dari berbagai negara. Paris, Munchen, Switzerland, Adelaide, Melbourne, Sydney, London, Genewa, Brussel, New Zealand, dan beberapa kota besar lainnya bukan  sekali dua kali menggelar karyanya. Meski telah menjelma komposer kaliber internasional, Yudane tetaplah orang Bali yang selalu tampil bersahaja dan memiliki kemauan keras untuk terus belajar.
         Dunia musik, semula setengah hati digelutinya, akan tetapi akhirnya Yudane jatuh cinta. Masih membekas dalam ingatannya bagaimana ketika masih kanak dipaksa ayahnya untuk  belajar gamelan di banjarnya. Seperti umumnya anak-anak yang lahir dan tumbuh di Bali, gamelan pengiring ritual-ritual adat dan keagamaan adalah musik yang pertama akrab dengan kehidupannya. Namun anehnya, Yudane kecil sama sekali tidak berminat belajar bermain gamelan. Ia lebih suka bersepeda keliling kota bersama kawan-kawan sebaya.
"Aku mau ikut megambel karena semua anggota sekehe mendapat ejotan (upah berupa nasi, sate dan lawar) selesai menabuh. Agaknya, ejotan ini yang bisa menghibur hatiku dari ketidaksukaanku bermain gamelan," kenang lelaki gondrong ini sembari tertawa.
Ayahnya, I Nyoman Gebiyuh, seorang ahli pembuat gamelan, bersikeras meminta Yudane untuk terus berlatih gamelan. Karena menguasai gamelan akan memudahkan jalan diterima dalam sistem sosial dan keagamaan. Yudane kecil sangat takut dengan ayahnya yang memang berhati keras dan tak segan-segan main pukul kalau anaknya berbuat suatu kesalahan. Setelah dipaksa-paksa, dengan hati berat Yudane menuruti kehendak ayahnya untuk ikut bersama anak-anak lain berlatih gamelan.
Lama juga ia berusaha melawan ketidaksukaannya terhadap gamelan, dan itu sangat menyiksa hatinya. Bahkan suatu kali ia pernah meninggalkan sekehe justru pada saat menjelang akan tampil di festival sehingga sekehe kebingungan mencari pemain pengganti. Hal itu dilakukannya sebagai tanda protesnya terhadap paksaan ayahnya. Namun ayahnya tidak kehabisan akal. Yudane kemudian dipertemukan dengan seorang kale (pemimpin group) yang sangat keras. Di bawah tekanan rasa takut, Yudane akhirnya belajar menyenangi gamelan.
"Kale itu sangat keras. Kalau salah memainkan gamelan, pemain bisa dipukul. Tapi anehnya, dari rasa takut dan tertekan itu aku kok mulai menyenangi gamelan," ujarnya seraya mengisap dalam-dalam rokok Djarum kesukaannya.
Asap mengepul-ngepul di beranda rumahnya yang bersahaja di bilangan Jl. Kedondong, Kaliungu, Denpasar. Sebatang Djarum itu nampak gemetar dalam kepitan jarinya. Ia memang termasuk perokok berat, apalagi saat sedang dapat inspirasi menggarap musik, berbatang-batang Djarum akan setia menemaninya.
Kale memang menerapkan desiplin yang sangat keras dan ketat pada sekehe dan diri Yudane. Bahkan, Yudane rela bolos sekolah demi latihan gamelan. Namun tetap saja Yudane kena pukul dan dampratan dari kalenya pada saat ia salah memainkan gamelan. Di rumah, boro-boro membelanya, ayahnya malah menerapkan disiplin yang lebih keras lagi.. Tempaan dan gemblengan yang ketat itu akhirnya mengantarnya mahir memainkan aneka alat musik tradisi. Yudane lahir menjadi seorang penabuh gamelan yang handal dan pernah memperkuat tim Gong Kebyar Banjar Geladag Pedungan yang legendaris, mewakili kabupaten Badung dalam festival gong kebyar se-Bali. Beberapa kali sekehenya meraih penghargaan dalam berbagai festival gamelan di Bali, dan ini tentu saja membuatnya bangga. Menginjak kelas 3 SMP, Yudane telah menjadi seorang penabuh gamelan yang diperhitungkan, spesialis pemain kendang.
Sejak merasakan nikmatnya bermain musik (gamelan), kecintaan Yudane pada musik semakin menggebu-gebu. Maka lulus SMA ia bersemangat melanjutkan kuliahnya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan musik, namun sayangnya hanya bertahan 4 semester. Separuh waktu kuliahnya habis dipakai nongkrong dan bergaul dengan seniman bohemian yang banyak gentayangan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Karena masih memiliki niat kuliah, kemudian ia masuk STSI Denpasar, jurusan Karawitan, sampai meraih gelar sarjana seni pada tahun 1991. Selain pendidikan formal, ia juga banyak menyerap pelajaran musik, terutama masalah komposisi pada pemusik tenar I Wayan Sadra, Komang Astita dan I Ketut Gde Asnawa yang masih satu banjar dengannya.
 Sesungguhnya, kegilaan Yudane menggali kemungkinan-kemungkinan baru pada musik telah muncul ketika ia masih SMA, sekitar tahun 1979. Saat itu Yudane pernah iseng mengolah komposisi musik bernuansa jezz ke nuansa gamelan Bali. Bahkan, ketika masih kuliah Yudane juga banyak menciptakan komposisi-komposisi yang nyleneh, sehingga mengundang banyak perdebatan di kalangan akademisi.
Meskipun telah menciptakan banyak komposisi yang nyleneh dan aneh, Yudane belum sepenuhnya yakin akan kemampuannya sebagai komposer. Para pemusik tradisi masih banyak yang mempertanyakan eksistensinya di dunia musik tradisi. Banyak yang sinis bahwa loncatan Yudane ke arah musik kontemporer dengan memanfaatkan kecanggihan komputer semata-mata karena ketidakmampuannya memainkan dan menciptakan komposisi musik tradisi.
"Banyak yang sinis aku tidak mampu membuat komposisi musik tradisi sehingga lari ke musik 'yang ngawur-ngawur' (red-musik kontemporer)," kenangnya tentang serangan pemusik tradisi beberapa tahun lalu.
Yudane pun merasa tertantang dengan cibiran pemusik tradisi. Selain  tekun belajar musik kontemporer, ia pun makin memperdalam penguasaannya pada musik tradisi, tertutama Gong Kebyar. Hasilnya, Yudane pernah beberapa kali meraih penghargaan "Adikara Nugraha" dari Gubernur Bali sebagai Pencipta Komposisi Baru. Dengan pencapaiannya itu, Yudane membuktikan bahwa musik tradisi bisa berkawan akrab dengan musik kontemporer. Dan justru karena kelebihannya dalam penguasaan musik tradisi membuat dia kelak berbeda dengan penganut  new music lainnya.
Setelah merasa cukup puas bergelut dengan musik tradisi, Yudane pun mencoba merambah musik elektro-akustik yang merupakan bagian dari aliran  new music. Sesungguhnya, keinginannya mendalami musik yang memanfaatkan kecanggihan teknologi komputer itu telah lama terbit dalam hatinya. Namun apa daya, keinginan hanya sebatas keinginan. Ia belum memiliki perangkat komputer sebagai salah satu elemen penting dalam musik elektro-akustik itu. Impiannya baru bisa terwujud pada tahun 1995  ketika ia berhasil membeli seperangkat komputer canggih dari hasil menjual mobil bekasnya. Kemudian sedikit demi sedikit ia mulai mempelajari aplikasi program (software) musik, yang ternyata memanjakan pemusik untuk menciptakan komposisi musik elektro-akustik yang penuh dengan berbagai kemungkinan.
 Ketekunan Yudane mendalami musik elektro-akustik membuahkan hasil berupa komposisi pertamanya yang terangkum dalam album "Laughing Water". Kesuksesan album ini membuka jalan baru baginya untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia  new music. Tawaran pun berdatangan. Ia pernah diminta menggarap komposisi soundtrack film, karya seni instalasi, teater maupun konser yang digelar di banyak event bergengsi di beberapa negara.
Tawaran kolaborasi juga berdatangan dari para pemusik kondang dunia. Ia pernah berkolaborasi dengan Alex Grillo asal Perancis dan tampil dalam Konser Musik untuk Reformasi di Yogyakarta tahun 1998. Masih pada tahun yang sama, ia menghadiri "Kemah Komponis" dan "Temu Musik September" di Surakarta, Jawa Tengah. Pada tahun 1999 dan 2000, ia tampil di Jakarta dalam "Konser Mahaswara" bersama 6 komposer Indonesia dan Francois Picard asal Perancis. 
Permulaan tahun 2000, Yudane berkolaborasi dengan pemusik jazz Paul Grabowsky di Melbourne, Australia, untuk menggarap soundtrack The Theft of Sita. Garapan ini ditampilkan dalam berbagai festival seperti Adelaide Festival, The Theater Formen Festival di Hanover, dan banyak lagi. Ketika tinggal di Melbourne itu ia kerap diundang sebagai Disc Jockey (DJ) di klub-klub malam. Kesempatan ini secara tidak langsung digunakan untuk mempromosikan garapan musiknya dengan menyelipkan diantara piringan musik yang sedang diputar. Ternyata sambutan terhadap komposisi musiknya sungguh di luar dugaan. Audiens sangat antusias mendengar garapannya karena merasa aneh di dengar oleh kuping mereka.
Yudane juga pernah berkolaborasi dengan Cristopher dan Patrick Dasen dari Swiss ketika menggarap "Bali Bioskop". Soundtrack elektronik untuk pertunjukan wayang kulit ini berhasil mengguncang panggung La Batie Festival di Genewa, Swiss dan Botanigue Festival di Brussel, September 2000. Hasil kolaborasi ini mendapat sambutan luar biasa karena menampilkan sebuah komposisi yang 'unik' di kuping para pendengarnya. Berangkat dari kesuksesan kolaborasi ini, ia kemudian sering mendapat undangan untuk mengikuti berbagai festival  new music.
"Bagiku, kolaborasi sangat penting untuk terus mengasah kemampuan, saling melengkapi dan secara tidak langsung belajar pada lawan main kita. Ini penting untuk meningkatkan kualitas diri," ujar suami dari Robi M. Wellwood, asal New Zaeland.
Namun, yang paling membuatnya bangga tentu saja penghargaan Creative Excellence dari Australian The Age Critic dan penghargaan Best Music Score dari Australian Entertainment Industry Association; keduanya pada tahun 2001. Selain itu, Yudane merupakan komposer Asia pertama yang diundang menggarap sebuah komposisi radiophonic untuk Radio New Zealand, berjudul "Crossroads". Dan pada Juli 2003  nanti ia diundang membuat instalasi bunyi yang akan ditampilkan pada Binale Brisbane. Sejak tahun 2000, Yudane berkesempatan menjadi Artist-in-residence di School of Music, Victoria University of Wellington, New Zealand.
* * *
Mengenai musik elektro-akustik yang digelutinya, Yudane memaparkan bahwa konsep kunci musik elektro-akustik terletak pada penyusunan dan penyajian bunyi yang bersumber pada elektronik dan akustik. Pada saat pementasan, biasanya sumber bunyi akustik didekatkan pada mikrofon yang kemudian diolah dalam komputer. Hasilnya adalah getaran-getaran bunyi yang tidak sesuai sumber bunyi aslinya. Misalnya bunyi kendang yang telah diolah dalam alat elektronik (komputer) tidak lagi menjadi suara kendang sebagaimana aslinya, tetapi berubah menjadi getaran-getaran bunyi yang mirip bunyi kendang. Secara filosofis penganut musik elektro-akustik meyakini bahwa segala sesuatu yang bergetar akan menimbulkan bunyi, yang kemudian diolah dan disusun lewat elemen-elemen ruang dan waktu.
"Elemen ruang bermuara pada melodi dan elemen waktu bermuara pada irama. Kedua elemen ini diolah dengan media elektronik dan akustik," jelas Yudane.
 Kemunculan musik elektro-akustik yang merupakan bagian dari  new music tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang seni musik di Eropa. Yudane memaparkan, musik sebagai kesenian sesungguhnya dimulai sekitar abad ke-7 di Eropa dengan munculnya musik Gregorian. Musik jenis ini biasa dipentaskan di gereja-gereja sebagai pengiring ritual kristiani. Kemudian pada jaman Renaisan (pencerahan di Eropa), musik semakin memperkuat diri sebagai seni. Ketika jatuhnya budaya feodal sekitar abad ke-19 di Barat, bisa dikatakan sebagai awal kelahiran musik kontemporer. Dan pada abad ke-20 di Amerika muncul genre musik populer yang lebih mengikuti selera pasar dan musik menjelma menjadi sebuah industri yang sangat menjanjikan.
Namun, Yudane menegaskan, bahwa musik bukan semata-mata hiburan, tetapi komunikasi langsung lewat nada-nada kepada pendengarnya. Untuk itu, harus dibedakan secara tegas musik seni (art music) dan musik hiburan (pop music). Musik seni lebih memerlukan perhatian khusus dan kepekaan tersendiri. Sedangkan musik hiburan sesungguhnya tidak mampu memberi komunikasi apa-apa, oleh karenanya tidak memerlukan perhatian khusus.
"Musik hiburan adalah musik yang anti musik karena tanpa makna apa-apa. Bagiku musik hiburan tidak perlu didengar secara khusus karena tidak mengandung kerja intelektual apa-apa, selain berfungsi untuk menghibur," ujarnya.
 New music, jelas Yudane, tidak bisa dilepaskan dari kelahiran  world music yang sesungguhnya bermula untuk melanjutkan gerakan musik sebagai seni, bukan semata sebagai hiburan. Konsep  world music diperkenalkan oleh seorang musikolog Jerman, George Capellen (1869-1934). World music berkeinginan melawan arus deras industri musik yang banyak memenuhi pasar dengan musik-musik pop. Namun pada akhirnya  world music juga terjebak dalam bisnis industri musik.
Maka untuk memanjakan telinga pendengar yang kangen dengan musik bernuansa baru, banyak komposer melakukan pencurian ide dari khasanah musik etnis suku-suku pedalaman, seperti Afrika, Maori, Aborigin dll. Mereka disebut mencuri ide karena mereka tidak pernah mau menyebut sumber asli dari khasanah musik etnis yang dicomotnya, seakan-akan mereka adalah penemu pertama, padahal struktur dan instrumen musik itu telah ada bertahun-tahun lampau. Pencurian ide terjadi berulang-ulang semata-mata disebabkan kepentingan pasar, terutama di Barat, yang mulai tergila-gila pada  world music.
Namun setelah protes demi protes, akhirnya para komponis mulai mencantumkan sumber asli penggalan atau potongan unsur musik etnis yang dipakainya. Ini juga dimaksudkan untuk tidak memandang rendah khasanah musik di luar musik Barat yang menghegemoni sejarah dan pasar musik dunia. Pada era sebelum world music berkembang, folk music atau musik tradisi masih didengar dengan sebelah kuping oleh Barat karena dianggap tidak musik, tetapi sekumpulan bunyi yang eksotis.
New Age Music kemudian muncul dengan melakukan cross-cultural pada folk music (musik-musik rakyat) yang sebelumnya didengar sebelah kuping oleh Barat. Yang membedakannya dengan  world music adalah para pengusung New Age Music mau menyebut sumber asli dari khasanah musik etnis yang dicomotnya untuk melengkapi garapan musiknya. Akhirnya karya New Age Music menjadi seperti sebuah karya yang tambal sulam. Namun ujung-ujungnya, New Age Music juga terperangkap pada kepentingan pasar yang berkaitan dengan bisnis industri musik. Misalnya dapat dilihat pada musik Kitaro dan Andreas Vollenweider dengan album "White Wind"nya.
Ketidakpuasan terhadap dua aliran besar ini kemudian melahirkan  new music yang tidak mau mengikuti selera pasar. Penganut  new music berkeyakinan bahwa musik hanya untuk musik dan tidak boleh terjebak pada selera pasar. Keyakinan ini yang kemudian menjadi ideologi penganut  new music yang memayungi banyak aliran musik seperti musik minimalis, musik kongkrit, musik abstrak, musik elektro-akustik dan sebagainya. New music lebih menekankan pada komunikasi, nilai-nilai baru, rasa baru, dan kalau bisa menemukan hal-hal yang baru baik pada struktur musical maupun elemen musiknya. Para pengusung  new music selalu berupaya memberontak pada tatanan yang sudah baku dan mapan sehingga berpotensi dihantam, dikritik oleh mereka yang tidak sepaham.
 "Namun tolong dibedakan musik eksperimen dengan new music, karena eksperimen masih merupakan bahan mentah yang bersifat mencoba-coba sedangkan  new music telah mempunyai ideologi bermusik yang jelas, yaitu musik untuk seni," jelasnya.
Ia menegaskan, bergelut dalam  new music tidaklah menjanjikan keuntungan ekonomis. Hampir sembilan puluh persen penganut  new music tidak bisa hidup hanya dari mengandalkan garapan musiknya. Para pengusung  new music lebih mengacu pada nilai-nilai idealis pada karya-karya yang digarapnya. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka lebih banyak nyambi menjadi pengajar musik di sekolah-sekolah musik yang banyak bertebaran di luar negeri, mengikuti berbagai festival, dosen tamu, menggarap proyek-proyek tertentu atau hidup dari founding dengan menggarap proyek-proyek musik.
"Bagi mereka musik adalah untuk musik, bukan untuk memenuhi selera pasar, walaupun album mereka ada saja yang diminati pasar," ungkap Yudane.
Para penganut  new music jarang mau berkompromi pada hal-hal di luar musik, mereka suntuk memfokuskan diri pada musik. Dan mereka juga sangat selektif pada undangan-undangan tampil, karena tidak semua event menarik sesuai dengan ideologi  new music. Mereka tidak mau berhenti hanya pada musik yang eksotis saja, tetapi bagaimana menciptakan musik yang bisa didengar oleh telinga semua orang.
"Pemusik harus memiliki ideologi bermusik yang jelas agar tidak terjebak meladeni selera pasar," tukasnya.
Kemudian bagaimana halnya dengan pemusik di Indoensia? Yudane mengeluhkan banyak pemusik Indonesia yang berbakat besar namun jarang muncul di tingkat internasional. Menurut  Yudane hal ini mungkin disebabkan karena komposer Indonesia terlalu cepat merasa puas pada apa yang telah dicapainya. Yudane menyayangkan kebanggaan pemusik Indonesia hanya sebatas pada kelengkapan perabot (instrumen) musiknya.
Dalam kaitannya dengan musik kontemporer, ia juga melihat orang berani di Bali banyak, namun mereka jarang mau mengasah pedang untuk persiapan pertempuran. Umumnya mereka akan mulai mengasah pedang pada saat pertempuran sudah ada di depan mata. Pemusik hendaknya seperti samurai yang setiap hari mengasah pedangnya karena sadar akan pilihan hidupnya.
"Jarang yang mampu menggali ide-ide baru. Hal itu jelas sekali terlihat pada saat pementasan, dan bagi mereka yang lihai akan tahu mana musik yang ada ilmunya atau yang sekadar kotak-katik untuk melampiaskan keisengan saja. Resikonya menjadi anonim, tanpa identitas yang jelas," kata Yudane.
 Lembaga yang paling bertanggung jawab dalam kemajuan seni di Bali, khususnya musik, tentulah ISI Denpasar. Yudane pun mengakui bahwa sistem pengajaran di ISI Denpasar tidak jelas arahnya.
"Sistem pendidikan di ISI Denpasar masih meguru panggul. Mahasiswa hanya disuruh praktek dengan alat-alat musik yang telah disiapkan, sedangkan ide, konsep dan teori bisa belakangan. Hasilnya mahasiswa kebingungan sendiri. Sedangkan di Barat kebalikannya, mahasiswa terlebih dulu diperkenalkan dengan teori-teori, konsep terkini dan selalu ada ajang memperdebatkan ide-ide, sebelum membuat garapan," ungkapnya. Namun, ia buru-buru mengingatkan tidak semua yang dari Barat adalah kebenaran.
 Tapi, pada dasarnya Timur dan Barat, bukanlah masalah bagi Yudane, bagi penganut new music. Keduanya bukan semata-mata untuk dibandingkan, tetapi cenderung untuk disandingkan. Begitulah, hari ke hari, ia terus setia mengolah sunyi menjadi bunyi, menegaskan jati dirinya. ***


No comments:

Post a Comment