Teks dan foto Wayan Sunarta
Wayan Wirawan
termasuk salah satu pelukis muda yang memiliki kepedulian terhadap berbagai
permasalahan ekologi, sosial dan politik. Visual dan konsep karyanya selalu
berubah sesuai dengan isu-isu yang sedang berkembang. Dia tidak pernah terikat
pada suatu kecenderungan tematis tertentu. “Tema favorit saya kebanyakan persoalan
ekologi dan sosial,” ujarnya.
Wirawan mengatakan
karya-karya yang diciptakannya bermula dari kegerahannya mengamati berbagai
permasalahan di lingkungan sekitarnya. Kegelisahan itu kemudian diolahnya ke
dalam bahasa rupa. Misalnya terlihat pada karya-karya yang mengangkat isu pemilihan
kepala desa, anak-anak terlantar, generasi muda yang berantakan, kehancuran
ekologi, dan sebagainya.
Visual karya-karyanya
cenderung figuratif. Baginya, dengan gaya figuratif dia lebih mudah menyusupkan
muatan-muatan atau pesan-pesan tertentu. Karya-karyanya sekarang kebanyakan
bernuansa figuratif-realis. Sebelumnya, dia banyak menggarap karya-karya dengan
gaya figuratif distorsif.
Dengan gaya
figuratif-realis, karya-karya terkininya banyak mengangkat persoalan anak-anak.
Baginya, anak-anak adalah masa depan bangsa, aset berharga. Dia sering trenyuh
melihat anak-anak terlantar yang dipaksa menjadi pengemis, anak-anak yang
kehilangan akar budayanya, anak-anak yang dieksploitasi oleh arus globalisasi
hingga menjadi makin konsumtif.
Wayan Wirawan lahir
di Sukawati, Gianyar, Bali, 27 November 1975. Sejak tahun 1987 hingga 1992 dia
suntuk mempelajari seni lukis gaya Batuan di Desa Batuan, Gianyar, Bali. Tahun
1991 hingga 1995 dia sekolah di SMSR Denpasar, kemudian melanjutkan ke ISI
Yogyakarta hingga lulus. Sejak 1994 dia telah aktif mengikuti berbagai pameran
bersama, baik di Bali, Yogya maupun Jakarta. Telah beberapa kali menggelar
pameran tunggal, di antaranya
di Bentara Budaya
Jakarta (2000), Bentara Budaya Yogyakarta (2005), Bentara Budaya Bali (2011).
Sejak 1994 dia
telah meraih berbagai penghargaan seni rupa, di antaranya Penghargaan Seni
Lukis Terbaik dari SMSR Denpasar (1994), Sketsa dan Seni Lukis Cat Air
Terbaik dari FSR ISI Yogyakarta (1995),
Nominasi Affandi Prize Art Award (1999), Finalis Nokia Award (2000) dan
Penghargaan Dies Natalis XVI dari ISI Yogyakarta (2001).
Wirawan sangat
mengagumi Wayan Rajin, pelukis tradisi asal Batuan. Rajin dianggapnya sangat
konsisten dalam berkesenian dan tidak pernah mau didikte pasar. Pengaruh Rajin
bisa dilihat pada karya-karya drawingnya yang memakai teknik abur. Dia juga banyak belajar dan studi
banding pada karya-karya pelukis Joan Miro dan Eesher.
Ketika diajak
berbicara tentang wacana pasar seni rupa, dengan nada agak sinis dia mengatakan
tidak terlalu risau dengan urusan pasar. Kebanyakan karyanya memang diminati
orang asing yang tertarik dengan tema dan gaya ungkap khasnya. Baginya, pasar
seni rupa di Indonesia memiliki logikanya sendiri yang seringkali sulit
dipahami. “Yang terpenting tetap berkarya dengan segala keyakinan. Dan, saya
menolak didikte pasar dan tidak mau hanyut dalam kekacauan pasar,” ujarnya.
Wirawan mengamati
tidak sedikit pelukis muda yang terseret arus pasar, ikut-ikutan trend dan
memanfaatkan aji mumpung. Baginya, pelukis yang baik tidak hanya jago dalam hal
olah teknik melukis, melainkan juga mampu menunjukkan dan mempertahankan
karakternya. Hal itu, selain terlihat pada visual karyanya, juga tercermin dari
cara pandang pelukis dalam menyikapi suatu persoalan.
Wirawan
menyayangkan betapa banyak pelukis Bali yang lupa pada khazanah seni rupanya
sendiri, lupa pada leluhurnya sendiri. Ada banyak teknik khas Bali, misalnya sigar mangsi dan abur. “Semestinya karakter lokal juga bisa dieksplorasi dan
dikembangkan dalam seni rupa kontemporer. Namun, tidak banyak pelukis yang
melihat peluang ini. Hanya mengikuti trend yang ada, misalnya trend lukisan
China,” tuturnya.
(karya Wayan Wirawan) |
Selain itu, kata
Wirawan, pelukis juga mesti lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan
sekitar, dan banyak membaca agar mampu memahami perkembangan seni rupa mutakhir,
tanpa harus hanyut di dalamnya. Bagi dia karakter lokal berjalan seiring dengan
perkembangan jaman. Persoalan jati diri mesti terus dicari untuk menemukan
wilayah baru dalam seni rupa. Menurutnya, yang disebut pelukis sejati adalah
mereka yang bermental baja, mau menerima kritik, tidak pernah berhenti memikirkan
karya dan ide-ide kreatif, terus menerus mengolah kegelisahan batinnya.
“Saya sendiri
menganggap melukis sudah menjadi kebutuhan pribadi. Ketika seni lukis tidak
mampu mendukung ide-ide saya, maka saya menggarap seni patung dan instalasi.
Dalam seni instalasi banyak ide kreatif bisa disalurkan dan dikembangkan. Tentu
pesan-pesan yang diinginkan juga mesti sampai,” tuturnya.
Sebagai orang yang
bergelut di dunia seni rupa, Wirawan berharap agar bisa terus membahasakan dan
menyuarakan berbagai ketimpangan di masyarakat, baik lewat seni lukis,
instalasi maupun patung. Dia juga ingin merambah dunia fotografi dan video art.
“Kebanggaan saya sebagai pelukis adalah bisa menyuarakan kemerdekaan batin,”
ujarnya.
No comments:
Post a Comment