Labels

Wednesday 9 November 2011

Wirawan, Garap Persoalan Sosial


Teks dan foto Wayan Sunarta


Wayan Wirawan termasuk salah satu pelukis muda yang memiliki kepedulian terhadap berbagai permasalahan ekologi, sosial dan politik. Visual dan konsep karyanya selalu berubah sesuai dengan isu-isu yang sedang berkembang. Dia tidak pernah terikat pada suatu kecenderungan tematis tertentu. “Tema favorit saya kebanyakan persoalan ekologi dan sosial,” ujarnya.

Wirawan mengatakan karya-karya yang diciptakannya bermula dari kegerahannya mengamati berbagai permasalahan di lingkungan sekitarnya. Kegelisahan itu kemudian diolahnya ke dalam bahasa rupa. Misalnya terlihat pada karya-karya yang mengangkat isu pemilihan kepala desa, anak-anak terlantar, generasi muda yang berantakan, kehancuran ekologi, dan sebagainya.

Visual karya-karyanya cenderung figuratif. Baginya, dengan gaya figuratif dia lebih mudah menyusupkan muatan-muatan atau pesan-pesan tertentu. Karya-karyanya sekarang kebanyakan bernuansa figuratif-realis. Sebelumnya, dia banyak menggarap karya-karya dengan gaya figuratif distorsif.

Dengan gaya figuratif-realis, karya-karya terkininya banyak mengangkat persoalan anak-anak. Baginya, anak-anak adalah masa depan bangsa, aset berharga. Dia sering trenyuh melihat anak-anak terlantar yang dipaksa menjadi pengemis, anak-anak yang kehilangan akar budayanya, anak-anak yang dieksploitasi oleh arus globalisasi hingga menjadi makin konsumtif.

Wayan Wirawan lahir di Sukawati, Gianyar, Bali, 27 November 1975. Sejak tahun 1987 hingga 1992 dia suntuk mempelajari seni lukis gaya Batuan di Desa Batuan, Gianyar, Bali. Tahun 1991 hingga 1995 dia sekolah di SMSR Denpasar, kemudian melanjutkan ke ISI Yogyakarta hingga lulus. Sejak 1994 dia telah aktif mengikuti berbagai pameran bersama, baik di Bali, Yogya maupun Jakarta. Telah beberapa kali menggelar pameran tunggal, di antaranya di Bentara Budaya Jakarta (2000), Bentara Budaya Yogyakarta (2005), Bentara Budaya Bali (2011).

Sejak 1994 dia telah meraih berbagai penghargaan seni rupa, di antaranya Penghargaan Seni Lukis Terbaik dari SMSR Denpasar (1994), Sketsa dan Seni Lukis Cat Air Terbaik  dari FSR ISI Yogyakarta (1995), Nominasi Affandi Prize Art Award (1999), Finalis Nokia Award (2000) dan Penghargaan Dies Natalis XVI dari ISI Yogyakarta (2001).

Wirawan sangat mengagumi Wayan Rajin, pelukis tradisi asal Batuan. Rajin dianggapnya sangat konsisten dalam berkesenian dan tidak pernah mau didikte pasar. Pengaruh Rajin bisa dilihat pada karya-karya drawingnya yang memakai teknik abur. Dia juga banyak belajar dan studi banding pada karya-karya pelukis Joan Miro dan Eesher.

Ketika diajak berbicara tentang wacana pasar seni rupa, dengan nada agak sinis dia mengatakan tidak terlalu risau dengan urusan pasar. Kebanyakan karyanya memang diminati orang asing yang tertarik dengan tema dan gaya ungkap khasnya. Baginya, pasar seni rupa di Indonesia memiliki logikanya sendiri yang seringkali sulit dipahami. “Yang terpenting tetap berkarya dengan segala keyakinan. Dan, saya menolak didikte pasar dan tidak mau hanyut dalam kekacauan pasar,” ujarnya.

Wirawan mengamati tidak sedikit pelukis muda yang terseret arus pasar, ikut-ikutan trend dan memanfaatkan aji mumpung. Baginya, pelukis yang baik tidak hanya jago dalam hal olah teknik melukis, melainkan juga mampu menunjukkan dan mempertahankan karakternya. Hal itu, selain terlihat pada visual karyanya, juga tercermin dari cara pandang pelukis dalam menyikapi suatu persoalan.

Wirawan menyayangkan betapa banyak pelukis Bali yang lupa pada khazanah seni rupanya sendiri, lupa pada leluhurnya sendiri. Ada banyak teknik khas Bali, misalnya sigar mangsi dan abur. “Semestinya karakter lokal juga bisa dieksplorasi dan dikembangkan dalam seni rupa kontemporer. Namun, tidak banyak pelukis yang melihat peluang ini. Hanya mengikuti trend yang ada, misalnya trend lukisan China,” tuturnya.

(karya Wayan Wirawan)
Selain itu, kata Wirawan, pelukis juga mesti lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan banyak membaca agar mampu memahami perkembangan seni rupa mutakhir, tanpa harus hanyut di dalamnya. Bagi dia karakter lokal berjalan seiring dengan perkembangan jaman. Persoalan jati diri mesti terus dicari untuk menemukan wilayah baru dalam seni rupa. Menurutnya, yang disebut pelukis sejati adalah mereka yang bermental baja, mau menerima kritik, tidak pernah berhenti memikirkan karya dan ide-ide kreatif, terus menerus mengolah kegelisahan batinnya.

“Saya sendiri menganggap melukis sudah menjadi kebutuhan pribadi. Ketika seni lukis tidak mampu mendukung ide-ide saya, maka saya menggarap seni patung dan instalasi. Dalam seni instalasi banyak ide kreatif bisa disalurkan dan dikembangkan. Tentu pesan-pesan yang diinginkan juga mesti sampai,” tuturnya.

Sebagai orang yang bergelut di dunia seni rupa, Wirawan berharap agar bisa terus membahasakan dan menyuarakan berbagai ketimpangan di masyarakat, baik lewat seni lukis, instalasi maupun patung. Dia juga ingin merambah dunia fotografi dan video art. “Kebanggaan saya sebagai pelukis adalah bisa menyuarakan kemerdekaan batin,” ujarnya.


No comments:

Post a Comment