Oleh :
Wayan Sunarta
(proses membuat arak di Merita, Karangasem) |
Ni
Nyoman Noti (50) dengan sabar meniup bara di dalam tungku, perapian dari tanah
liat, untuk menjaga api agar tetap menyala. Lebih dari tiga jam dia menjerang atau
merebus tuak dalam belek, kaleng
bekas tempat minyak goreng, yang tampak hitam dan kusam terbungkus jelaga. Di
depan, tidak jauh dari belek, tampak jerigen
besar yang juga telah kusam. Sebentang pengantang,
buluh bambu sepanjang satu setengah meter, menghubungkan lubang belek yang tertutup
rapat dengan lubang jerigen besar.
“Tiang (saya) sedang mumpunin,” ujar Noti.
Mumpunin adalah istilah lokal untuk proses menyuling tuak menjadi arak, minuman
beralkohol yang sangat populer di Bali. Ni Nyoman Noti adalah salah seorang
pembuat arak di Banjar Adat Merita, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali.
Kelian
Banjar Adat Merita, I Gede Tulamben (52), mengatakan ada sekitar 400 KK (Kepala
Keluarga) yang berprofesi sebagai pembuat arak dari 480 KK yang menghuni
Merita. “Jadi mayoritas penduduk Merita berprofesi sebagai pembuat arak,” kata
I Gede Tulamben.
Keahlian penduduk Merita membuat
arak diwariskan secara turun temurun sejak jaman nenek moyang mereka. Proses
penyulingan arak yang dikerjakan oleh lelaki dan perempuan telah menjadi home industri di Merita. I Gede Tulamben
memperkirakan tradisi membuat arak di Merita telah berlangsung sejak tahun
1700-an.
Proses
membuat arak secara tradisional juga bisa ditemui di beberapa tempat di
Kecamatan Sidemen, Karangasem. Berbeda dengan arak Merita yang umumnya disuling
dari tuak ental (lontar/siwalan), di
Sidemen kebanyakan proses penyulingan arak menggunakan bahan baku tuak nyuh (kelapa). Tradisi membuat arak juga
berkembang di beberapa tempat di sekitar Merita, seperti Culik dan Kubu. “Dulu
ketika gadis Merita menikah ke luar desa, dia akan membawa dan mengembangkan
teknik membuat arak di tempatnya yang baru,” ujar I Gede Tulamben.
Namun
produser arak tradisional terbesar di Bali terdapat di Merita. Arak Merita yang
sering disebut arak Karangasem atau arak api terkenal hingga ke Denpasar,
bahkan luar Bali. “Biasanya para pemasok dan pedagang arak dari berbagai tempat
akan datang ke Merita untuk membeli arak,” kata Ni Nyoman Noti.
Di
Merita harga sebotol arak murni (tanpa campuran) kelas/nomor satu Rp.10.000,
kelas dua Rp.8.000, kelas tiga Rp.5.000. Harga tersebut meningkat secara
bervariasi ketika arak dijual di luar Merita. Sebagai contoh, di Kota Amlapura
(ibu kota kabupaten Karangasem) harga sebotol arak kelas satu bisa mencapai
Rp.15.000. Sedangkan di Denpasar harga sebotol arak kelas satu bisa mencapai
Rp.20.000. Kadangkala sampai di Denpasar arak sudah tidak murni lagi, biasanya dicampur
dengan air, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan pernah arak
dicampur dengan methanol sehingga
mengakibatkan kebutaan bahkan kematian bagi peminumnya.
Proses
membuat arak kelas/nomor satu sangat lama dan rumit. Perlu waktu 4 jam merebus
tuak untuk menghasilkan uap yang bermutu. Api dalam tungku tidak boleh besar
dan tidak boleh kecil. Bahan bakar yang dipakai biasanya kayu pilihan, seperti
kayu pohon jambu mente, pohon juwet dan intaran. Satu kali proses penyulingan
memerlukan tuak sebanyak 3 ember kecil, hitungan umum yang dipakai produser
arak di Merita, atau sekitar 10 liter tuak. Belek
tidak boleh diisi penuh agar uap tuak lebih mudah mengalir ke dalam jerigen
melalui pengantang. Dari satu kali proses
penyulingan itu akan didapat sekitar 1,5 liter arak kelas/nomor satu. Sedangkan
untuk membuat arak kelas dua, tuak direbus 2-3 jam dengan nyala api yang cukup besar.
Proses membuat arak kelas dua lebih cepat dibandingkan dengan arak kelas satu.
Ni
Nyoman Noti, misalnya, setiap hari mumpunin,
dari dinihari hingga jam satu siang, bahkan tidak jarang hingga jam sepuluh
malam. Di sela-sela kegiatan membuat arak, dia tetap menjalankan tugas-tugasnya
sebagai ibu rumah tangga. Kalau cuaca lagi bagus, sehari Nyoman Noti bisa
menghasilkan 4-5 botol arak kelas satu. “Kalau musim hujan tuak susah didapat
dan mutunya kurang bagus untuk bahan pembuatan arak,” jelas Noti.
Sebelum
orang mengenal belek dan jerigen, dahulu wadah proses penyulingan arak
menggunakan periuk tanah liat dan guci. Periuk tanah liat untuk merebus tuak
dan guci untuk menampung uap hasil penyulingan. “Uap yang akan menjadi arak
kelas satu bunyinya meklenting (berbunyi
bening) ketika jatuh ke dalam guci,” jelas Nyoman Kariata, warga Merita yang
pernah membantu neneknya membuat arak.
Sementara
itu, I Gede Nyoman Geria, warga Merita, menjelaskan ciri-ciri arak kelas satu adalah
banyak keluar lobong (buih) ketika
dikocok. Arak kelas dua lobong lebih
sedikit dan arak kelas tiga tidak keluar lobong.
“Arak kelas satu kalau disulut dengan korek, apinya menyala kebiru-biruan, daya
tahannya sangat kuat dan lama. Arak kelas dua nyala apinya berwarna agak
kekuningan dan lebih lemah. Sedangkan arak kelas tiga tidak menyala ketika
disulut,” jelas Geria.
Arak
nomor satu biasanya dipakai sebagai jamu obat kuat dalam bentuk arak ramuan
atau arak base dan campuran obat luar
yang biasa disebut boreh untuk
mengatasi rematik dan gatal-gatal. Umumnya orang tidak berani meminum arak
nomor satu tanpa campuran minuman lain. Kadar alkohol arak nomor satu sangat
tinggi, kira-kira lebih dari 40 %. Untuk pesta minum, orang biasanya memilih
arak kelas/nomor dua, itu pun sering dicampur dengan madu (arak madu),
coca-cola (arak kuk), es batu (arak es), atau air jeruk. Arak kelas tiga biasanya
dipakai untuk arak tabuh, salah satu elemen
penting dalam setiap ritual Hindu di Bali.
Ida Bhatara Arak Api
Setiap
satu kali proses penyulingan tidak selalu akan mendapatkan arak kelas satu.
Kadangkala meski merebus tuak hingga empat jam, hasil yang didapat adalah arak
kelas dua. “Mendapatkan arak api kelas
satu juga tergantung rejeki dan anugerah dari Ida Bhatara Arak Api,” jelas
Nyoman Noti.
Pembuat
arak di Merita sangat percaya dengan kekuatan Dewa Arak Api atau biasa disebut Ida Bhatara Arak Api yang berstana di sebuah
pura keluarga atau dadia yang bernama
Njung Pura. Setiap upacara atau Ngusaba
Dangsil yang jatuh pada Purnama Kaenam (sekitar Desember) dan Ngusaba Ayu pada Purnama Kadasa (sekitar pertengahan Maret) menurut
perhitungan kalender Bali, Ida Bhatara Arak Api diiring atau diundang ke Pura
Desa. Saat itu penduduk Merita yang berprofesi sebagai pembuat arak akan
menghaturkan sesajen khusus dan melakukan persembahyangan bersama di hadapan
Ida Bhatara Arak Api, memohon berkah dan perlindungan agar produksi arak tetap
lancar di Merita.
Ida
Bhatara Arak Api merupakan pelindung dan penganugerah para pembuat arak di
Merita. Sebelum memulai proses membuat arak, warga akan menghaturkan canang, sesajen khusus, di atas pelangkiran (tempat menaruh sesajen) di
dapur dan di atas tungku untuk memohon perlindungan dan berkah Ida Bhatara Arak
Api. “Setiap rehaninan (hari-hari
penting), seperti Purnama, Tilem, Kajengkliwon, Anggar Kasih, kami juga
menghaturkan canang sari dan tipat kelan,” ujar Nyoman Noti.
Karena
kemurahatian Ida Bhatara Arak Api, kadangkala para pembuat arak bisa
mendapatkan arak barak (merah) dan
arak selem (hitam) pada saat proses
penyulingan. Arak jenis ini tidak banyak, hanya beberapa tetes. Menurut Nyoman
Noti, arak barak berwarna merah kecoklatan seperti air teh, sedangkan warna
arak selem seperti injin (beras hitam kusam). Arak barak dan selem banyak
dicari orang untuk ramuan obat penyakit tertentu. Arak jenis langka ini
disimpan dalam botol khusus sebagai jimat yang ditaruh di atas pelangkiran dan sewaktu-waktu diberikan sedikit
kepada orang yang memerlukannya untuk obat. Warga yang mendapatkan berkah arak
barak atau arak selem akan menghaturkan caru,
sesajen khusus, berupa pitik biing (anak ayam berwarna merah
kecoklatan) atau pitik selem (anak
ayam warna hitam) sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Ida
Bhatara Arak Api.
Selain itu, kepercayaan yang
diwariskan dari leluhur orang-orang Merita adalah tidak boleh menghina atau
mencela arak Merita. Karena hal itu akan membuat Ida Bhatara Arak Api murka dan
bisa menghukum si penghina dan pencela arak tersebut. Mitos ini sangat kuat dan
menyebar hingga ke daerah-daerah di luar Merita. I Gede Nyoman Geria menuturkan,
pernah ada kejadian orang dari luar Merita sesumbar dan mencela arak Merita
ketika sedang menggelar pesta minum di Merita. Baru minum dua seloki, orang itu
langsung mabuk berat dan terkapar. “Padahal orang itu terkenal sangat kuat
minum arak,” ujar Geria.
Geria menuturkan lagi, sekitar tahun
2007 ketika razia pedagang arak sedang marak, rumah salah seorang pembuat arak
di Merita digerebeg sejumlah polisi yang datang menggunakan dua mobil. Arak
yang dengan susah payah dibuat warga diobrak-abrik polisi. Arak yang tersimpan
dalam jerigen dituang ke tanah sehingga warga merasa terhina dan mengalami
kerugian. Warga Merita marah dan membunyikan kentongan atau kulkul bulus. Ruas-ruas jalan di Merita disabotase dan para polisi dikepung
oleh warga. Syukur kemarahan warga bisa diredam setelah pihak kepolisian minta
maaf dan berjanji tidak akan mengusik para pembuat arak di Merita. “Sejak kasus
itu polisi tidak berani menangkap para pembuat arak di Merita. Polisi hanya menangkap
pemasok dan pedagang arak,” ujar Geria.
Agaknya produksi arak di Merita
sulit dihentikan, apalagi ditutup, karena berkaitan dengan asap dapur atau profesi
warga secara turun temurun. Profesi yang berjalinan erat dengan tradisi, budaya
dan kepercayaan setempat yang telah berusia ratusan tahun. Arak Merita berada
di bawah perlindungan Ida Bhatara Arak Api. ***
(dimuat di The Jakarta Post, Kamis, 20 Agustus 2009)
No comments:
Post a Comment