Oleh : Wayan Jengki Sunarta*
(karya Made Romi Sukadana) |
Jika dicermati dari tatanan sosial,
budaya, ekonomi, agama, dan lini kehidupan lainnya, Bali telah begitu banyak
mengalami perubahan. Perubahan itu tentu berdampak baik maupun buruk. Perubahan
ke arah baik akan disyukuri oleh banyak orang. Namun, perubahan ke arah yang
buruk selalu mengundang pertanyaan, diskusi, perdebatan, gunjingan, pemikiran
maupun sikap kritis.
Pameran yang diikuti oleh sepuluh perupa
ini adalah upaya-upaya mengritisi berbagai bentuk perubahan dan persoalan yang terjadi
di Bali. Melalui karya-karyanya, mereka beropini sekaligus mengritisi Bali dari
berbagai sisi. Mereka adalah I Made Kaek, I
Made ‘Romi’ Sukadana, I Made Somadita, I
Wayan Linggih, I Wayan Arnata, I Ketut
‘Kaprus’ Jaya, I Ketut Mastrum, I Ketut
‘Kabul’ Suasana, I Nengah Sujena, dan Vinsensius Dedy Reru.
Mereka
adalah sekumpulan perupa muda yang masih tekun berkarya dan tetap memelihara
pemikiran kritis yang tercermin lewat karya-karyanya. Berkat kerjasama Paros Art Gallery dengan
Museum Seni Rupa & Keramik Jakarta, kesempatan tampil di tengah-tengah
publik seni rupa ibu kota merupakan tantangan tersendiri dan menjadi ajang uji
nyali bagi mereka. Harapan ke depan, kerjasama ini bisa berkesinambungan,
dengan menampilkan karya-karya bernas para perupa muda Bali lainnya.
(karya Made Kaek) |
Ditinjau dari
segi teknik, pameran ini menampilkan keberagaman. Dari figuratif hingga abstrakisme,
dari surealisme hingga simbolisme. Begitu pula dengan fokus persoalan yang
diangkat oleh perupanya. Misalnya, lewat lukisan berjudul “Roh # 22”, Kaek
menampilkan keruwetan metafisik Bali. Lukisan yang terdiri dari 9 panel itu
dipenuhi figur-figur surealis, perpaduan perwujudan manusia dan hewan. Mereka
sepertinya ingin berinteraksi dan berdialog, namun tersekat dalam ruangnya
masing-masing. Dalam konteks Bali kini, lukisan ini bisa merepresentasikan
nilai-nilai sosial yang bergeser ke arah individualisme.
Linggih, Arnata,
Sujena, Somadita, dan Kaprus mengungkapkan berbagai bentuk kegamangan dan
kehampaan batin manusia Bali. Lukisan Linggih yang berjudul “Banyak Pikiran”,
“Mengenang Kenangan”, dan “Tersenyum” merepresentasikan gejolak-gejolak jiwa
yang diliputi kegamangan itu sendiri. Hal senada juga bisa direnungi pada seri
lukisan Arnata yang berjudul “Fose” yang menggunakan medium benang di atas
kanvas. Figur-figur dalam lukisan Arnata tampak berjuang membebaskan diri dari
lilitan benang. Di sini benang bisa dimaknai sebagai simbol ikatan tradisi,
adat, budaya Bali yang dianggap mengganggu kebebasan berekspresi dalam
kehidupan modern.
(karya Nengah Sujena) |
Lukisan-lukisan
Sujena dengan sangat jelas merepresentasikan kehampaan batin yang diderita
manusia Bali saat berproses menemukan eksistensi dirinya dalam kehidupan
modern. Dalam lukisan “Proses Sebuah Perjalanan”, “Romantik”, dan “Serakah”,
Sujena menampilkan figur-figur tanpa wajah, tanpa identitas, anonim.
Lukisan-lukisan ini bisa menjadi cerminan Bali yang mengalami proses pelunturan
identitas di tengah kepungan simbol-simbol modernisme. Di sisi lain, Somadita
lebih menegaskan perubahan yang terjadi di Bali lewat lukisan sosok figur
berwajah monster. Sementara itu, lewat lukisan abstraknya yang berjudul “Muncul
dari Yang Terlupakan”, Kaprus berharap terjadinya perubahan yang lebih baik
pada Bali.
Sejak lama,
barong telah menyihir mata banyak pelukis, untuk dituangkan menjadi objek
lukisan. Lewat ikon barong, Mastrum memertanyakan romantisme dan eksotisme masa
silam yang terus membekas hingga masa kini. Barong menjadi simbol untuk
merepresentasikan kegelisahan Mastrum mengamati perubahan-perubahan dahsyat
yang terjadi di tanah kelahirannya. Barong dalam lukisan Mastrum cenderung
ekspresif dan terkesan galak dengan aksentuasi cipratan-cipratan warna yang
menggelora, seperti yang bisa dilihat pada lukisan “Ekspresi Barong I” dan
Ekspresi Barong II”. Terlihat di sini, Mastrum tampil sebagai sosok yang masih
memegang teguh tradisi leluhurnya.
(karya Suasana Kabul) |
Melalui metafora
lebah, Kabul mendambakan tatanan masyarakat Bali yang ideal. Lebah adalah
serangga penghasil madu yang mampu hidup bermasyarakat dengan sistem pembagian
kerja yang jelas. Dalam konteks ini, melalui metafora lebah, Kabul menyindir
kehidupan indivisualisme masyarakat perkotaan. Lukisannya yang berjudul
“Abstraksi Alam Lebah”, “Pohon Tua”, dan “Menuju Gunung Putih” menjadi semacam
persuasi agar manusia kembali menyelaraskan diri dengan alam.
Karya-karya
simbolisme Romi menjadi ungkapan ekstrem betapa Bali memang telah dikemas dan
dijual untuk kepentingan kapitalisme industri pariwisata. Hal itu bisa
dicermati pada lukisannya yang berjudul “Warisan”, “Hero”, dan “Masih Tetap
Menari”. Ikon-ikon Coca-cola, Pizza Hut, dan Batman berbenturan dengan ikon
penari legong, Bima, dan penari topeng. Ironisnya, ikon-ikon itu saling bertarung
di hamparan kardus kemasan. Lukisan-lukisan Romi menjelma ungkapan yang sangat
satir dalam konteks mengamati perubahan yang terjadi di Bali kini.
(karya Dedy Reru) |
Ikon John Lennon
dan The Beatles merasuki imajinasi Dedy Reru tentang Bali yang damai yang
pernah menjadi salah satu surga kaum hippies. Lewat lantunan lagunya yang
berjudul “Imagine”, John Lennon pernah menyihir dan membuat masyarakat dunia
terharu. Sebuah lagu yang memimpikan kedamaian dunia, tanpa peperangan, hidup
harmonis dengan alam. Lukisan-lukisan yang berjudul “Bed in Peace”, “Be a
Picassoisme”, “John Lennon and Friends”, mengisyaratkan impian-impian Dedy
tentang kehidupan yang damai dan penuh cinta.
Karya-karya
sepuluh perupa ini hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya perupa Bali untuk
mengritisi tanah kelahirannya sendiri. Tak bisa dipungkiri, sejak pemerintah
kolonial Belanda mempromosikan dan membuka Bali sebagai salah satu daerah tujuan
wisata dunia, perubahan demi perubahan terus terjadi di Bali. Berbagai konflik
kepentingan merebak hingga kini. Bagi saya, Bali harus memiliki posisi tawar
yang kuat untuk menghadapi itu semua, termasuk kaum perupanya.***
*Penulis
adalah sastrawan dan kurator seni rupa. Lulusan Antropologi Budaya Fakultas
Sastra Universitas Udayana dan pernah kuliah di ISI Denpasar.
**Tulisan ini adalah pengantar kuratorial pameran yang berlangsung di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 29 Mei - 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment