Labels

Wednesday 2 May 2018

Perempuan Pasar dan Rambut Drupadi




Teks dan Foto: Wayan Jengki Sunarta



Dalam konteks budaya patriarki, pasar tradisional seringkali diidentikkan dengan perempuan. Segala sesuatu yang terjadi dalam pasar sebagian besar memang melibatkan kaum perempuan. Pasar adalah kerajaan bagi kaum perempuan. Pasar adalah ruang publik bagi perempuan untuk mengungkapkan berbagai ekspresi dan kekuasaannya.

Maka tak heran kaum lelaki sering merasa enggan, malas, atau bahkan ngeri memasuki kawasan pasar tradisional. Sebab di dalam pasar, kaum lelaki cenderung menjadi pecundang. Misalnya, lelaki cenderung lemah bahkan tak berdaya dalam urusan tawar menawar barang belanjaan. Untuk itulah urusan berbelanja ke pasar seringkali diserahkan sepenuhnya pada kaum perempuan.

Sebagai perupa yang intens mengangkat isu-isu perempuan, kali ini Citra Sasmita meriset perempuan yang bekerja di pasar untuk inspirasi karya-karya mutakhirnya. Riset ini berkaitan dengan program residensinya di Redbase Foundation Yogyakarta. Citra Sasmita merupakan perupa muda kelahiran Tabanan, Bali, 30 Maret 1990. Dia memulai karir seni rupa pada 2012 dengan menjadi ilustrator cerita pendek di sebuah koran besar di Bali. Dia juga aktif menampilkan karya-karyanya dalam sejumlah pameran bersama. Tahun 2015 dia menggelar pameran tunggal bertajuk “Maternal Skin” dan tahun 2017 bertajuk “Beauty Anatomy”. Citra adalah peraih Gold Award Winner dalam “UOB Painting of The Year 2017”.

Selama tiga bulan Citra blusukan di pasar-pasar tradisional yang berada di kawasan Yogyakarta, terutama Pasar Beringharjo. Dia mengamati, menyelami, dan menyerap suasana dan kehidupan pasar tersebut. Dia berinteraksi, melakukan observasi-partisipasi, dan mewawancarai sejumlah perempuan pasar untuk mendapatkan pengalaman dan pemahaman yang komprehensif tentang perempuan dalam kehidupan pasar tradisional.

Pengalaman Citra bersentuhan dengan kehidupan pasar tradisional di Yogyakarta dituangkannya menjadi karya-karya seni rupa yang dipamerkan di Redbase Foundation. Ada enam lukisan ukuran besar (tiga dilukis di atas kulit sapi), tiga seni instalasi, dan satu video art. Namun, Citra tidak menyuguhkan karya-karya yang realistik. Karya-karyanya cenderung simbolik dan sarat dengan muatan isu-isu perempuan. Pameran tunggal ketiganya yang bertajuk “Under The Skin” ini berlangsung dari tanggal 31 Maret hingga 28 April 2018.

Sesuai tajuk pameran, Citra ingin mengajak apresian melihat sosok perempuan secara lebih mendalam, bahkan hingga ke lapisan psikologis, budaya, dan spiritual. Sejak dulu, budaya Jawa dan Bali memang memiliki kesamaan dalam memandang dan memosisikan perempuan, baik dalam ranah domestik (keluarga) maupun publik (masyarakat). Ketimpangan dan ketidakadilan jender seringkali membuat perempuan berada dalam posisi lemah. Padahal sesungguhnya perempuan memiliki potensi, kekuatan dan kemampuan untuk mengembangkan diri secara maksimal di berbagai lini kehidupan.

Dalam pameran kali ini Citra menghadirkan sosok-sosok perempuan kurus bertelanjang dada dengan payudara kendur, namun rambut mereka tebal dan panjang. Mata perempuan-perempuan itu tampak kosong, mengesankan kelelahan dan kehampaan dalam menjalani rutinitas kehidupan. Sosok-sosok perempuan yang tampak menderita itu adalah simbolisasi perempuan tradisi atau perempuan jelata yang tidak berdaya dalam kungkungan budaya patriarki. Namun, di sisi lain, sikap pasrah/nrimo perempuan tradisi justru menjadi suatu kekuatan untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Perempuan tradisi cenderung melakukan perlawanan atau pertahanan diri dengan bersikap diam. Hal ini diwarisi dari budaya patriarki bahwa perempuan semestinya “swarga nunut, neroko katut”. Lukisan berjudul Genealogy of Silence (120 x 140 cm, 2018) secara simbolik menunjukkan bagaimana budaya diam itu diwarisi hingga tujuh turunan. Lukisan ini menampilkan sosok perempuan tua dengan wajah tak berdaya duduk di kursi coklat kusam. Rambutnya yang panjang dan lebat menjadi semacam sangkar atau perangkap bagi tujuh perempuan muda yang juga menampakkan ekspresi tak berdaya. Mereka saling bertatapan, seakan mempertanyakan takdirnya sebagai perempuan.

Lewat jalinan rambut yang berkelindan, si perempuan tua seperti sedang mewarisi ketakberdayaannya kepada perempuan-perempuan muda itu. Lewat lukisan ini, Citra ingin mengatakan bahwa masih banyak perempuan yang terikat dalam jalinan ketidakberdayaan. Pewarisan sikap pasrah/nrimo itu harus dikoreksi, sehingga perempuan tidak hanya sibuk dengan kewajibannya, namun juga bisa berbicara tentang haknya.

Ketika menghayati kehidupan Pasar Beringharjo, Citra tertarik dengan perempuan penjual daging. Aroma daging dan darah segar sangat membekas dalam ingatannya. Pergulatan perempuan dengan potongan daging menjadi simbol tersendiri dalam lukisan Citra yang berjudul The Last Embrace (120 x 140 cm, 2018). Daging dan darah adalah simbol pengorbanan kaum perempuan bagi keberlangsungan kehidupan. Secara alamiah setiap bulan perempuan mengeluarkan gumpalan darah bercampur serpihan daging dari dalam tubuhnya dan seringkali disertai rasa sakit tak tertahankan. Hal itu menjadi penderitaan rutin perempuan secara kodrati. Namun, penderitaan perempuan yang disebabkan oleh budaya patriarki sesungguhnya bisa diperbaiki bersama. 

Karya yang cukup menarik perhatian adalah sebuah instalasi berjudul “Fragmen Terakhir Drupadi” yang menampilkan jalinan rambut sepanjang 360 cm. Rambut berwarna merah yang diolah dari serat buah nanas tersebut dihiasi dengan peniti, rantai emas, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Inspirasi karya ini dikembangkan dari kisah Drupadi yang bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum keramas dengan darah Dursasana yang telah mempermalukannya. Lewat karya ini, Citra ingin menyampaikan simbol kemenangan perempuan dalam menghadapi pengalaman buruk yang pernah dideritanya. Selain itu, rambut Drupadi bisa menjadi representasi dan simbolisasi perlawanan dan perjuangan kaum perempuan menghadapi budaya patriarki.

Selain itu, dalam pameran ini, berbagai benda temuan di pasar, seperti kain serbet, irig (saringan bambu), cawan, kunyit, serat nanas, kulit sapi, bertransformasi menjadi karya seni yang sarat makna. Misalnya, video art yang menampilkan rangkaian serbet sebagai identitas perjuangan kaum perempuan. Atau irig yang berubah wujud menjadi sepasang payudara. Atau lembaran kulit sapi yang dilukisi sosok perempuan dalam tiga siklus kehidupan. Bahkan, kulit sapi memiliki makna tersendiri dalam karya tersebut. Pameran ini menarik diapresiasi, karena membuka ruang renung: sejauhmana perempuan mampu memperjuangkan kesetaraan jender dalam budaya patriarki?


















No comments:

Post a Comment