Teks dan Foto: Wayan Jengki
Sunarta
Dalam konteks
budaya patriarki, pasar tradisional seringkali diidentikkan dengan perempuan.
Segala sesuatu yang terjadi dalam pasar sebagian besar memang melibatkan kaum perempuan.
Pasar adalah kerajaan bagi kaum perempuan. Pasar adalah ruang publik bagi perempuan
untuk mengungkapkan berbagai ekspresi dan kekuasaannya.
Maka tak heran
kaum lelaki sering merasa enggan, malas, atau bahkan ngeri memasuki kawasan
pasar tradisional. Sebab di dalam pasar, kaum lelaki cenderung menjadi
pecundang. Misalnya, lelaki cenderung lemah bahkan tak berdaya dalam urusan
tawar menawar barang belanjaan. Untuk itulah urusan berbelanja ke pasar
seringkali diserahkan sepenuhnya pada kaum perempuan.
Sebagai perupa
yang intens mengangkat isu-isu perempuan, kali ini Citra Sasmita meriset
perempuan yang bekerja di pasar untuk inspirasi karya-karya mutakhirnya. Riset
ini berkaitan dengan program residensinya di Redbase Foundation Yogyakarta.
Citra Sasmita merupakan perupa muda kelahiran Tabanan, Bali, 30 Maret 1990. Dia
memulai karir seni rupa pada 2012 dengan menjadi ilustrator cerita pendek di
sebuah koran besar di Bali. Dia juga aktif menampilkan karya-karyanya dalam
sejumlah pameran bersama. Tahun 2015 dia menggelar pameran tunggal bertajuk
“Maternal Skin” dan tahun 2017 bertajuk “Beauty Anatomy”. Citra adalah peraih
Gold Award Winner dalam “UOB Painting of The Year 2017”.
Selama tiga
bulan Citra blusukan di pasar-pasar
tradisional yang berada di kawasan Yogyakarta, terutama Pasar Beringharjo. Dia
mengamati, menyelami, dan menyerap suasana dan kehidupan pasar tersebut. Dia
berinteraksi, melakukan observasi-partisipasi, dan mewawancarai sejumlah perempuan
pasar untuk mendapatkan pengalaman dan pemahaman yang komprehensif tentang
perempuan dalam kehidupan pasar tradisional.
Pengalaman
Citra bersentuhan dengan kehidupan pasar tradisional di Yogyakarta
dituangkannya menjadi karya-karya seni rupa yang dipamerkan di Redbase
Foundation. Ada enam lukisan ukuran besar (tiga dilukis di atas kulit sapi),
tiga seni instalasi, dan satu video art. Namun, Citra tidak menyuguhkan
karya-karya yang realistik. Karya-karyanya cenderung simbolik dan sarat dengan
muatan isu-isu perempuan. Pameran tunggal ketiganya yang bertajuk “Under The
Skin” ini berlangsung dari tanggal 31 Maret hingga 28 April 2018.
Sesuai tajuk
pameran, Citra ingin mengajak apresian melihat sosok perempuan secara lebih
mendalam, bahkan hingga ke lapisan psikologis, budaya, dan spiritual. Sejak dulu,
budaya Jawa dan Bali memang memiliki kesamaan dalam memandang dan memosisikan perempuan,
baik dalam ranah domestik (keluarga) maupun publik (masyarakat). Ketimpangan
dan ketidakadilan jender seringkali membuat perempuan berada dalam posisi
lemah. Padahal sesungguhnya perempuan memiliki potensi, kekuatan dan kemampuan
untuk mengembangkan diri secara maksimal di berbagai lini kehidupan.
Dalam pameran kali
ini Citra menghadirkan sosok-sosok perempuan kurus bertelanjang dada dengan
payudara kendur, namun rambut mereka tebal dan panjang. Mata perempuan-perempuan
itu tampak kosong, mengesankan kelelahan dan kehampaan dalam menjalani
rutinitas kehidupan. Sosok-sosok perempuan yang tampak menderita itu adalah
simbolisasi perempuan tradisi atau perempuan jelata yang tidak berdaya dalam
kungkungan budaya patriarki. Namun, di sisi lain, sikap pasrah/nrimo perempuan tradisi justru menjadi
suatu kekuatan untuk tetap melangsungkan kehidupan.
Perempuan
tradisi cenderung melakukan perlawanan atau pertahanan diri dengan bersikap
diam. Hal ini diwarisi dari budaya patriarki bahwa perempuan semestinya “swarga
nunut, neroko katut”. Lukisan berjudul Genealogy
of Silence (120 x 140 cm, 2018) secara simbolik menunjukkan bagaimana
budaya diam itu diwarisi hingga tujuh turunan. Lukisan ini menampilkan sosok
perempuan tua dengan wajah tak berdaya duduk di kursi coklat kusam. Rambutnya
yang panjang dan lebat menjadi semacam sangkar atau perangkap bagi tujuh
perempuan muda yang juga menampakkan ekspresi tak berdaya. Mereka saling
bertatapan, seakan mempertanyakan takdirnya sebagai perempuan.
Lewat jalinan
rambut yang berkelindan, si perempuan tua seperti sedang mewarisi
ketakberdayaannya kepada perempuan-perempuan muda itu. Lewat lukisan ini, Citra
ingin mengatakan bahwa masih banyak perempuan yang terikat dalam jalinan
ketidakberdayaan. Pewarisan sikap pasrah/nrimo itu harus dikoreksi, sehingga
perempuan tidak hanya sibuk dengan kewajibannya, namun juga bisa berbicara
tentang haknya.
Ketika
menghayati kehidupan Pasar Beringharjo, Citra tertarik dengan perempuan penjual
daging. Aroma daging dan darah segar sangat membekas dalam ingatannya.
Pergulatan perempuan dengan potongan daging menjadi simbol tersendiri dalam
lukisan Citra yang berjudul The Last
Embrace (120 x 140 cm, 2018). Daging dan darah adalah simbol pengorbanan
kaum perempuan bagi keberlangsungan kehidupan. Secara alamiah setiap bulan
perempuan mengeluarkan gumpalan darah bercampur serpihan daging dari dalam
tubuhnya dan seringkali disertai rasa sakit tak tertahankan. Hal itu menjadi
penderitaan rutin perempuan secara kodrati. Namun, penderitaan perempuan yang
disebabkan oleh budaya patriarki sesungguhnya bisa diperbaiki bersama.
Karya yang
cukup menarik perhatian adalah sebuah instalasi berjudul “Fragmen Terakhir
Drupadi” yang menampilkan jalinan rambut sepanjang 360 cm. Rambut berwarna
merah yang diolah dari serat buah nanas tersebut dihiasi dengan peniti, rantai
emas, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Inspirasi karya ini dikembangkan dari
kisah Drupadi yang bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum keramas
dengan darah Dursasana yang telah mempermalukannya. Lewat karya ini, Citra
ingin menyampaikan simbol kemenangan perempuan dalam menghadapi pengalaman
buruk yang pernah dideritanya. Selain itu, rambut Drupadi bisa menjadi representasi
dan simbolisasi perlawanan dan perjuangan kaum perempuan menghadapi budaya
patriarki.
Selain itu, dalam
pameran ini, berbagai benda temuan di pasar, seperti kain serbet, irig (saringan bambu), cawan, kunyit, serat
nanas, kulit sapi, bertransformasi menjadi karya seni yang sarat makna.
Misalnya, video art yang menampilkan rangkaian serbet sebagai identitas
perjuangan kaum perempuan. Atau irig
yang berubah wujud menjadi sepasang payudara. Atau lembaran kulit sapi yang
dilukisi sosok perempuan dalam tiga siklus kehidupan. Bahkan, kulit sapi
memiliki makna tersendiri dalam karya tersebut. Pameran ini menarik diapresiasi,
karena membuka ruang renung: sejauhmana perempuan mampu memperjuangkan kesetaraan
jender dalam budaya patriarki?
No comments:
Post a Comment