Labels

Thursday 24 January 2013

Akar Muda dan Nilai-nilai Kepahlawanan



Oleh Wayan ‘Jengki’ Sunarta


(akar muda....)
Siapa yang pantas disebut pahlawan? Pahlawan bukan hanya orang-orang yang ikut berjuang melawan penjajah, seperti yang dipahami masyarakat awam. Konsep “pahlawan” tentu bisa menjadi sangat luas. Sebutan “pahlawan” layak juga diberikan kepada, misalnya, pelacur yang berjuang menghidupi anak-anaknya, preman yang menyelamatkan seorang gadis dari pemerkosaan, atau seekor anjing yang menyelamatkan majikannya dari gigitan kobra. Deretan contoh ini akan menjadi sangat panjang untuk memasukkan siapa saja yang bisa dikatagorikan sebagai pahlawan.


Semangat kepahlawanan bisa muncul dalam diri siapa saja, bisa hadir di mana saja. Sesungguhnya, setiap manusia mengandung benih-benih kepahlawanan dalam jiwanya, seperti keikhlasan untuk berkorban, keberanian melawan penindasan, dan sebagainya. Tentu menjadi soal lain, apakah benih-benih itu mau dipupuk dan dipelihara, atau malah diberangus sehingga yang muncul adalah sifat-sifat egois sempit yang hanya mementingkan diri sendiri.

Pameran bertajuk “Restart Point” yang digelar di Hitam Putih Artspace, Sangeh, Badung, sejak tanggal 15 hingga 25 November 2012, merupakan sebuah pameran bersama. Mengangkat tema spirit kepahlawanan dengan penjabaran yang sangat luas dalam bentuk-bentuk karya seni rupa. Restart Point merupakan gerakan kecil untuk meningkatkan kepekaan agar muncul kesadaran hidup untuk melanjutkan nilai-nilai terdahulu. Pameran ini dimaksudkan untuk memperingati Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10 November. 

Akhir-akhir ini, Hari Pahlawan hanya dimaknai sebagai seremoni yang formal, seperti upacara bendera, nyekar ke taman makam pahlawan. Sangat jarang yang mau sungguh-sungguh menghayati dan melaksanakan nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga banyak menimpa generasi penerus bangsa yang semakin mengalami pendangkalan-pendangkalan dalam menjalani kehidupannya.

Pameran ini diikuti oleh 12 perupa muda yang tergabung dalam kelompok “Akar Muda” yang baru didirikan pada tanggal 1 Oktober 2012. Para “Akar Muda” itu adalah A.A. Gede Agung Jaya Wikrama, Winarto, Jevi Albaniadi, Ratih Sintya Dewi Pinatih, I Wayan Sudanta, Jin Diragandi, I Made Adi Putra Sentana, Pande Wayan Sugiarta, Luh Gde Fridayanti, M.Hilal Fachrazi Harahap, I Made Badung, I Ketut Budiarta. 

(melihat lukisan akar muda)
“Akar Muda” adalah sebuah simbol, sebuah gerakan yang siap mewarnai wacana seni rupa kontemporer di Bali dan luar Bali. Pameran perdana ini adalah sebagai suatu bentuk perkenalan, sekaligus unjuk kekuatan para “Akar Muda” sesuai dengan kemampuan dan kualitas karya mereka masing-masing. Bagaimana pun juga mereka masih berproses untuk menjadi “akar yang kuat”.

Dengan kemampuan olah imajinasinya, para “Akar Muda” ini berupaya merefleksikan nilai-nilai kepahlawanan itu secara subjektif dan kreatif. Karya-karya mereka menampilkan berbagai rupa persoalan yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa saat ini. Dalam sejumlah karya, mereka melancarkan kritik sekaligus otokritik. Sebab sekecil apa pun, langsung atau tak langsung, mereka sebagai generasi penerus bangsa telah melihat, mengamati, terlibat, atau mungkin menjadi korban dari persoalan-persoalan yang menimpa bangsa ini.

Meski dipayungi satu tema besar, secara teknik karya-karya mereka tampak mengikuti aliran-aliran yang telah mapan dalam seni rupa dunia, seperti realisme, naivisme, surealisme, dekoratif, teknik distorsif, deformatif, dengan berbagai variannya. Hal ini menunjukkan betapa beragamnya aliran yang diyakini para “Akar Muda” ini dalam menjalani proses berkesenian mereka. Selain itu, mereka merenungi dan memaknai nilai-nilai kepahlawanan itu melalui ikon-ikon, simbol-simbol, dan bahasa rupa yang juga beraneka ragam, yang digali dari ranah tradisi maupun kontemporer.  

Dalam karya-karya mereka, nilai-nilai kepahlawanan diberi muatan baru yang dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial, budaya, ekologi, bahkan relegi. Winarto mengaitkan nilai-nilai kepahlawanan dengan dominasi kapitalisme global, seperti terlihat dalam lukisan “Perspektif Pertarungan Ruang”. Persoalan ekonomi (uang) yang dikaitkan dengan semangat kepahlawanan dan kasih sayang dalam keluarga tampak pada karya I Wayan Sudanta, berjudul “Jangan Ambil Uangku”. Persoalan kisruh sepak bola di Indonesia menginspirasi I Made Adi Putra Sentana untuk melukiskan memudarkan nilai-nilai nasionalisme dan kepahlawanan dalam jati diri bangsa, seperti terlihat dalam lukisan “Lucunya Sepakbolaku”. 

Dengan gaya naivisme, Ratih Sintya Dewi melukiskan keinginan berkorban, atau menolong orang lain, seperti tercermin pada karya parodinya yang berjudul “Di antara Super R”. Sementara itu, “Bermain Perang-perangan”, sebuah lukisan naivisme karya Fridayani, mengingatkan kita pada permainan masa kanak yang dilatari semangat heroisme.  Di sisi lain, lukisan “The Journey” karya M.Hilal Fachrasi Harahap menggambarkan perjalanan sejarah kepahlawanan dalam konteks perang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan RI.

(akar tua dan akar muda)
Pembelaan terhadap permainan rakyat, folklore, kearifan lokal, atau hal-hal yang berkaitan dengan budaya bangsa bisa disimak pada karya Albaniadi yang berjudul “Dolanan”. Hal yang senada juga terlihat dalam lukisan berjudul “Cerita Sang Kakek” karya I Ketut Budiarta. Persoalan memori tubuh, pertarungan budaya tradisional dengan gaya hidup modern, yang mengakibatkan manusia berada di persimpangan zaman, diungkapkan dengan teknik distorsif dalam lukisan “Hot Periode” karya A.A. Gde Agung Jaya Wikrama.

Sementara itu, melalui lukisan berjudul “Terjebak”, Pande Wayan Sugiarta memakai simbol ikan yang terperangkap dalam keranjang untuk mengilustrasikan nilai-nilai kesederhanaan yang terjebak dalam arus modernisasi. Gaya hidup modern yang mengusung pragmatisme dengan caranya sendiri telah menggerus nilai-nilai kepahlawanan, kerelaan berkorban yang tanpa pamrih itu. Hal senada juga disampaikan I Made Badung lewat lukisan “Semangat yang Tak Pernah Padam”. Dia memakai simbol sapi untuk menggambarkan semangat berkorban. Di sisi lain, persoalan kemerosotan moral, pudarnya nilai-nilai kepahlawanan di zaman sekarang ini, dilukiskan dengan surealistik oleh J.Diragandi melalui karya berjudul “Menuju Kenikmatan Terlarang”.

Pameran “Restart Point” para “Akar Muda” ini patut diapresiasi. Bukan saja karena semangat mereka dalam berkarya dan upaya mereka menjelajahi berbagai kemungkinan estetika. Namun juga karena tematik nilai-nilai kepahlawanan yang dimaknai ulang atau pun dipertanyakan dalam konteks zaman kekinian, seperti tercermin dalam karya-karya mereka. Kepahlawanan bukan hanya monopoli para pejuang atau veteran perang. Namun, semangat kepahlawanan ada dalam diri setiap insan, seperti benih cinta yang siap tumbuh dan berkembang dalam jiwa. Dan, tentu saja, perlu proses untuk menyadari dan menjalaninya.***


(sumber: katalog pameran "Restart Point")

No comments:

Post a Comment