Labels

Thursday 24 January 2013

Suklu, Meditasi dalam Seni



Oleh Wayan ‘Jengki’ Sunarta


(perupa Wayan Sujana Suklu)
Senja hampir samar di awal April 2011. Hujan belum juga reda. Saya tiba di Banjar Lepang, Klungkung, Bali. Tubuh saya setengah basah karena perjalanan menembus hujan dari Denpasar. Saya menghentikan motor di depan jalan setapak di pinggiran bypass Ida Bagus Mantra. Dari arah Denpasar, jalan setapak itu berada di sebelah kiri. Di tepi mulut jalan setapak itu teronggok sebuah beruk raksasa. Beruk itulah penanda jalan setapak menuju tempat pertapaan I Wayan Sujana alias Suklu, perupa kelahiran Klungkung, 6 Pebruari 1967, yang namanya telah tercatat di ranah seni rupa nasional dan internasional.


Dengan senyum dan tawanya yang khas, Suklu menyambut saya di jalan setapak itu. Rambutnya yang gondrong sebahu dan baju kaos putih yang dikenakannya sedikit basah terkena tetes-tetes hujan. Dalam kesamaran senja, saya masih sempat menikmati hampar persawahan di tepian jalan setapak itu. Gemericik air dan suara serangga senja menjadi orkhestra yang sangat menghibur pikiran yang sedang letih.

Suklu membuka pintu gapura kayu gaya Bali yang menghubungkan hampar persawahan dengan ruang studionya. Ketika saya masuk, saya disambut oleh lukisan-lukisan beraneka ukuran yang tertata rapi di dinding, rak-rak buku, meja dan kursi kayu bernuansa antik. Studio itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah tempat Suklu berkarya dan menerima tamu, lantai atas menjadi tempat penyimpanan karya dan ratusan buku dari berbagai desiplin seni, agama, filsafat, dan buku pengetahuan umum.

Suklu termasuk perupa yang suka membaca dan mengoleksi buku. Sejenak saya terkenang pada suatu peristiwa di tahun 2001, ketika saya dan Suklu rebutan memborong buku yang diobral dan nyaris dikorbankan jadi kertas bubut di sebuah toko buku kecil yang bangkrut. Saat itu, Suklu memborong satu-dua kardus, sedangkan saya satu mobil pick up lengkap dengan rak bukunya. Kami ketawa mengenang peristiwa “tragis” itu.

Saya duduk di sebuah kursi kayu. Mata saya mengitari ruang studio yang terkesan ramah lingkungan. “Kawan-kawan seniman biasa tidur di sini jika kebetulan mampir atau ada kegiatan kesenian,” ujar Suklu.

Suklu memang tipe seniman yang selalu gelisah dengan ide-ide kreatif dan inovatif. Misalnya, pada tahun 2009, dia menjadi salah seorang penggagas kegiatan “Apa Ini, Apa Itu”, festival yang mewadahi berbagai bentuk seni. Kegiatan yang melibatkan seniman dari dalam dan luar negeri itu digelar di seputaran studionya yang luas dan asri dan di pantai Lepang yang menghampar tak jauh dari rumahnya.

(apa ini, apa itu)
Sejak 2011, Suklu juga mengembangkan Komunitas Batubelah yang diasuhnya menjadi BatuBelah Art Space (BBAS). Suklu merangkul beberapa seniman dan budayawan untuk ikut mengonsep visi dan misi serta menggodok program-program andalan BBAS. Pergerakan utama BBAS adalah pengembangan laboratorium seni yang berbasiskan pada konsep, riset, dan eksperimen multicultural (tradisional, modern dan kontemporer), terutama untuk seni dan budaya Bali.

Dalam setiap kegiatan kesenian itu, Suklu selalu melibatkan warga lokal menjadi voluntir. Seperti, ikut membantu seniman pada saat berproses dan membuat seni instalasi. Secara langsung, Suklu membiasakan warga lokal mengapresiasi kesenian kontemporer, sesuatu yang mungkin asing dan aneh bagi pandangan mereka.

Malam mulai merambat. Suara katak dan kodok bersahutan dengan gemericik air. Tak berapa lama, istri Suklu datang membawa kopi. Setelah menghidangkan kopi dan pisang goreng, istrinya turut serta duduk mendampingi Suklu. Meski usia pernikahan mereka telah belasan tahun dan dikarunia empat anak, mereka masih terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati masa berpacaran. Suatu hubungan yang sangat harmonis. Istri Suklu, Ni Nyoman Sartini, yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga, turut serta sebagai tenaga serabutan jika digelar kegiatan-kegiatan kesenian di sana.

Saya menikmati tegukan demi tegukan kopi yang hangat. Kami lantas hanyut dalam obrolan seputar kesenian dan proses kreatif Suklu dalam melahirkan berbagai bentuk karya seni rupa, seperti sketsa, lukisan, seni instalasi, seni objek, dan sebagainya.


Ida Pedanda Made Sidemen dan Ketut Lier

Pada tahun 1987, Suklu menamatkan pendidikannya di SMSR Denpasar. Secara kebetulan dia sempat menghadiri diskusi budaya di Art Centre yang membahas ketokohan Ida Pedanda Made Sidemen. Saat itu, yang menjadi pembicara Ida Bagus Agastya, dimoderatori oleh Ida Bagus Dharma Palguna. Hal yang paling mengesankan Suklu dari diskusi itu adalah pemaparan laku kehidupan Ida Pedanda Made Sidemen yang sangat meditatif. Diskusi itu menjadi titik awal pencerahan bagi Suklu.

Dari diskusi itu saya berkeyakinan, bahwa proses berkesenian merupakan salah satu bentuk meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting prosesnya, bukan hasil akhir,” ujar Suklu.

Berpijak dari keyakinan itulah, Suklu melakoni jalan hidup berkeseniannya dan melahirkan karya-karyanya. Pada masa-masa 1987 itu pula Suklu menetap di Ubud dan menekuni seni lukis tradisi, terutama gaya Ubud. Selama dua setengah tahun dia nyantrik di rumah Ketut Lier. Selain sebagai pelukis tradisi Ubud yang pernah bergabung dalam Pita Maha, Ketut Lier juga dikenal sebagai balian dan pernah ikut main film “Eat Pray Love” (2010) yang dibintangi Julia Robert.

Dari Ketut Lier, Suklu banyak menyerap teknik dan filosofi seni lukis tradisi Ubud. Ketut Lier pula yang membuka wawasan Suklu bahwa setiap lukisan, baik tradisi maupun modern, punya karakter tersendiri dalam menyusun komposisi. Ketika Desa Pengosekan dipenuhi dengan lukisan bertema flora-fauna, Suklu yang masih remaja sedikit bimbang menentukan pilihannya di dunia seni rupa. Ketut Lier pula yang mengingatkan Suklu agar tidak terpengaruh pada trend flora-fauna yang lagi marak saat itu. Terbukti bahwa trend itu hanya untuk memuaskan keinginan pasar. Suklu semakin meyakini kekuatan seni tradisi yang banyak mengandung kearifan lokal jika ditekuni dan dikaji secara mendalam. Hal yang paling berkesan baginya ketika menggarap seni lukis tradisi adalah melakoni proses meditasi melalui tarikan garis, nyeket, nyigar mangsi, mewarnai, dan berbagai proses lainnya.

Pada tahun 1992, Suklu melanjutkan pendidikan seni lukisnya di STSI Denpasar, hingga tamat tahun 1997. Suklu termasuk angkatan pertama di jurusan seni lukis STSI Denpasar. Di bangku akademis itu, talenta Suklu semakin diasah, baik secara teknik maupun wawasan tentang seni rupa modern dan kontemporer. Hingga kini, Suklu mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya.

“Di bangku kuliah saya tidak hanya menyerap teknik seni lukis modern, namun juga wawasan dan pengetahuan seni rupa modern melalui diskusi dan mengikuti mata kuliah kajian dan kritik seni,” tutur Suklu.


Meditasi dan Repetisi

Selama masa-masa kuliah itu, konsep berkesenian sebagai suatu proses meditasi terus melekat di benaknya dan mewujud ke dalam karya-karyanya, terutama sketsa-sketsanya. Suklu termasuk perupa yang sangat rajin membuat sketsa. Dia tidak mengenal tempat dan waktu saat membuat sketsa. Alat dan medium pun tidak jadi soal baginya. Sebab semua itu didasari oleh laku berkesenian sebagai proses meditasi. Melalui tarikan dan guratan garis dalam banyak sketsanya, Suklu mengembangkan batinnya dalam laku meditasi. Tidak jadi soal entah berwujud apa sketsanya, sebab bukan hasil akhir yang terpenting, namun proses itu sendiri. Dalam hal ini, Suklu benar-benar mengandalkan kekuatan intuisi dan imajinasinya.

Membuat sketsa baginya tidak hanya untuk melatih kelincahan dan kelenturan tangan dalam menarik dan mengolah garis, namun juga untuk memberikan ruang bagi kegelisahan dan pengembaraan batinnya. Baginya sketsa menjadi semacam catatan harian. Setiap karya punya nasibnya sendiri yang terkadang tak terduga. Membuat sketsa merupakan suatu bentuk menjalani proses berkesenian. Suklu meyakini setiap sketsa yang dibuatnya akan mampu bercerita dan punya sejarahnya sendiri. Dia tidak pernah berhenti membuat sketsa-sketsa imajinatif sesuai desakan intuisinya.

Dalam karya-karya mutakhirnya, proses meditasi banyak berhubungan dengan repetisi (pengulangan) demi mencapai kejernihan, baik secara pikiran maupun batin. Bagi Suklu, repetisi merupakan suatu metode, dimana orang lain juga bisa ikut terlibat dan merasakan proses itu sendiri.

“Dalam banyak karya saya yang bersifat repetitif, saya selalu mengajak orang lain ikut terlibat di dalamnya, merasakan proses itu sendiri. Saya tak peduli hasil akhirnya akan berbentuk apa. Yang penting adalah proses. Dan orang lain pun ikut mengalami dan merasakan proses yang sedang saya lakoni. Secara tak langsung saya sebenarnya mengajak orang lain ikut menjalani proses meditasi dalam berkesenian saya,” tuturnya.

Suklu merintis dan mengeksplorasi metode repetitif itu sejak 1997. Dan, sejak tahun 2000, Suklu mulai menemukan kematangan dalam proses dan metode repetitif itu. Suklu semakin intens dengan proses berkesenian sebagai jalan meditasi ketika dia banyak berdiskusi dengan seorang seniman Jerman yang menetap di Ubud. Seniman ini juga menerapkan metode yang hampir sama dalam berkesenian.

Secara visual, karya-karya repetitif Suklu kebanyakan dipenuhi oleh garis-garis lengkung, yang mirip dengan bentuk senyum atau smiling line. Pemilihan warna juga dilakukan dengan kesadaran meditatif. Warna awal dari garis lengkung yang repetitif itu akan diakhiri atau dikunci dengan warna awal itu juga. Filosofinya adalah awal dan akhir tiada berbeda, sama, kosong, keheningan.

“Kunci dari metode repetitif adalah pemusatan pikiran, yang mengarah pada suatu kondisi meditatif. Sekali lagi ini adalah sebuah metode, bukan hasil akhir,” ujar Suklu.

Dalam menjalani laku berkesenian sebagai suatu proses meditasi, tentu tidak ada hal-hal lain di luar kesenian yang membebaninya. Berkesenian adalah suatu jalan keikhlasan, tanpa beban, tanpa pamrih.

“Saya tidak terlalu peduli apakah karya saya nantinya diapresiasi publik atau diminati pasar. Itu semua di luar kehendak saya. Yang penting saya tetap menjalani proses meditasi dalam berkesenian,” ujarnya.

Dari konsep berkesenian seperti ini, Suklu juga menciptakan seni-seni instalasi yang terbuat dari bambu atau terinspirasi dari objek-objek temuan yang pernah akrab dengan kesehariannya di masa kanak dulu. Misalnya, bubu (perangkap ikan), bambu, sendok penyaringan, beruk (wadah air), hingga eksplorasi simbol kacang tanah sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa kacang jangan sampai lupa pada kulitnya, bahwa manusia yang mengaku modern jangan sampai lupa pada tradisi yang menghidupinya.


Beruk dan Budaya Agraris

Beruk adalah salah satu benda warisan budaya agraris yang paling mengesankan Suklu. Benda bulat yang dibuat dari batok kelapa itu dulunya berfungsi sebagai wadah air, tempat garam, atau bahkan sebagai piring makan. Pada zamannya beruk mengandung nilai sosial yang tinggi.

Suklu menuturkan, pada zaman dulu, para petani biasa membawa beruk ke sawah. Ketika para petani kehausan sehabis menggarap sawah, mereka saling berbagi air yang ditampung dalam beruk. Beruk menjadi wahana sosial yang membangun keakraban. Dari sana sering bermunculan ide-ide kreatif untuk menciptakan seni-seni yang berbau agraris. Kini, di zaman internet dan facebook, nilai sosial seperti itu telah menjadi langka. Sawah-sawah pun makin menyempit tergerus pembangunan fisik.

“Saya mengangkat simbol, konsep dan filosofi beruk untuk mengenang kembali nilai-nilai sosial dan kearifan lokal itu. Mengenang sekaligus mengetuk kembali kesadaran sosial kita di tengah zaman yang sangat individualis ini,” tutur Suklu.

Berpijak dari objek beruk ini, Suklu mengembangkan karya kreatifnya ke dalam bentuk lukisan, seni instalasi, sketsa, dokumentar, seni pertunjukan, maupun seni yang bersifat spontanitas. Dia beberapa kali menampilkan ikon beruk dalam pameran-pameran seni rupa yang pernah diikutinya.

Bagi Suklu, beruk adalah salah satu simbol dari kebudayaan agraris atau kebudayaan kaum petani yang kini telah punah. Beruk telah lama disingkirkan, diganti dengan wadah-wadah plastik, keramik maupun logam. Kepunahan beruk seiring dengan bergesernya budaya agraris ke budaya industri, seiring pula dengan menyempitnya lahan persawahan, karena dikepung kerumunan ruko (rumah toko), kafe remang-remang, perumahan, perkantoran. Bahkan, persawahan di Lepang yang dulu sangat asri, kini telah dibelah jalan bypass. Saluran irigasi macet, kegiatan subak pun banyak yang tinggal kenangan.

Beruk juga mengingatkan kita bahwa banyak kesenian di Bali sesungguhnya lahir dari kebudayaan agraris, dari kaum tani, dari organisasi bernama subak. Ambillah contoh seni lukis, patung, kerawitan, sastra, tembang, dan seni-seni yang bersifat spontan seperti lelakut dan kesenian rakyat lainnya. Sebagai bentuk penghormatan terhadap kenangan masa kecilnya, Suklu membuat sebuah beruk raksasa yang dipajang di depan jalan setapak menuju studionya. Dia juga gemar mengoleksi beruk-beruk bernilai antik dan artistik.

Beruk juga bisa menjadi pengingat kita betapa pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam, bersahabat akrab dengan alam. Kalau dikaitkan secara luas, beruk bisa menjadi pengingat kita pada persoalan-persoalan ekologi yang terjadi sekarang, seperti perubahan iklim, kekacauan cuaca, hama tikus, hama ulat bulu, deretan bencana yang melanda bumi, dan sebagainya. Hal ini jelas bermula dari kedurhakaan dan keserakahan manusia pada Ibu Pertiwi (alam) yang melahirkan dan menghidupinya.

Beruk merupakan bentuk kesadaran dan penyadaran betapa pentingnya menjaga dan merawat alam agar kehidupan terus berlangsung. Dari kesadaran ini pula Suklu mengembangkan seni instalasinya dengan menggunakan medium beruk. Beruk dihubungkan dengan empat unsur alam semesta: air, api, udara, tanah. Misalnya, Suklu pernah membuat seni instalasi beruk di sebuah kawasan di Kintamani dalam kaitannya dengan udara dan gunung. Instalasi beruk juga dipajang di tepian pantai dalam kaitannya dengan udara dan air.

Dalam banyak seni instalasinya, Suklu menggunakan berbagai medium, seperti benda-benda temuan, benda-benda hasil daur ulang, yang selalu memiliki sejarah dan kaitan dengan karya-karya yang ditampilkannya. Misalnya, beruk sebagai wadah air ditampilkan ke ranah yang lebih luas yakni sebagai benda seni yang sarat perenungan. Bahkan bubu yang selama ini dikenal sebagai perangkap ikan dimodifikasi menjadi karya seni. Begitu pula dengan sendok penyaringan yang diolah menjadi karya seni instalasi dan pernah direspon dengan tarian kontemporer oleh koreografer Nyoman Sura.


Dialektika dan Kolaborasi Seni

Berpijak dari berkesenian sebagai suatu proses, Suklu secara intens dan kontinyu membuat dan mengembangkan kolaborasi-kolaborasi seni, baik dengan seniman dari berbagai desiplin seni maupun dengan karya-karya seninya. Misalnya, dia pernah berkolaborasi dengan seniman sastra, teater, tari, musik. Kolaborasi melalui karya, Suklu biasa membubuhi sketsa atau drawing di halaman-halaman buku novel, baik karya pengarang dalam negeri maupun luar negeri. Ada puluhan buku novel yang dibubuhi sketsa oleh Suklu, baik novel berbahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, maupun Belanda.

“Semua itu saya lakukan dengan kesadaran berkolaborasi. Pada buku-buku novel itu saya memakai kertasnya untuk saya bubuhi sketsa, tanpa harus merobek lembar-lembar kertas itu dari bukunya,” tuturnya.

Keinginan berkolaborasi dan mencoba sesuatu yang baru juga dia terapkan pada pengerajin dan benda-benda kerajinan, juga pada seniman-seniman tradisional, maupun seniman-seniman yang menyepi di pedesaan. Suklu menganggap seni kerajinan adalah ibu, sesuatu yang mengingatkannya pada tanah kelahiran (Bali). Mesti dalam ranah seni rupa, seni kerajinan dianggap berkasta rendah, Suklu tak pernah membeda-bedakan seni sebagai kasta tinggi maupun rendah. Baginya, setiap benda seni memiliki keunikan tersendiri.

“Semua benda seni, bahkan seni kerajinan sekalipun memiliki keunikan tersendiri jika dilihat secara berbeda. Bahkan si senimannya juga unik, baik dilihat dari pola hidup maupun pola pikirnya dalam memaknai suatu bentuk kesenian yang digelutinya,” ujar Suklu.

Suklu termasuk seniman yang rajin melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok desa. Misalnya, di kawasan Karangasem, Bali Timur, dia mengunjungi kediaman Mangku Jenggo, seniman patung yang kehidupannya sangat bersahaja. Suklu banyak menyerap aura inspiratif yang dipancarkan lingkungan sekitar rumah Mangku Jenggo yang penuh dengan pepohonan lebat, maupun lewat diskusi-diskusi kecil berkaitan dengan pandangan berkesenian Mangku Jenggo.

“Saya sangat menikmati saat berdiskusi dengan seniman-seniman alam, seperti Mangku Jenggo. Banyak hal yang bisa saya pelajari, terutama dalam hal keikhlasan berkesenian,” kata Suklu.

Keinginan berdialog itu pula yang membuat Suklu sering mendatangi kantong-kantong kesenian. Dia termasuk orang yang cemas jika kantong-kantong kesenian yang apresiatif dan inspiratif meredup karena berbagai permasalahan. Itu pula yang mendorong Suklu banyak berdialog dan berkolaborasi dengan seniman-seniman dari komunitas kesenian yang terpinggirkan, seperti komunitas pelukis wayang kaca. Dan dia selalu menikmati proses kolaborasi itu. Tanpa sungkan, dia mengikuti workshop seni grafis, mengamati seni kerajinan yang baginya unik, atau mengeksplorasi seni menatah topeng. Kegiatan kolaborasi yang dia lakukan sangat beragam dan selalu didasari dengan kesadaran eksplorasi.


Tai Cacing Tanah

Bahkan ketika Suklu melanjutkan kuliah S-2 nya di ITB pada tahun 2008, dia sering mengamati tai cacing-cacing tanah yang banyak dijumpainya di halaman kampusnya. Dia sangat terkesan dengan bentuk tai cacing tanah yang melingkar-lingkar seperti spiral itu. Tai cacing itu kemudian dikumpulkannya dan dikemas dalam wadah-wadah kaca yang secara khusus dibuatnya. Bahkan seonggok tai cacing tanah itu dibungkus dengan kain kasa putih dan  ditulisi dengan aksara Bali layaknya jimat.

“Kehidupan cacing tanah mengandung filosofi yang tinggi kalau kita mau meluangkan waktu merenunginya. Cacing tanah makan tanah, tainya juga berupa tanah, yang mampu menyuburkan tanah, menjadi pupuk bagi tanah. Di beberapa kebudayaan, tai cacing tanah dipercaya sebagai obat keseleo. Bahkan cacing tanah sendiri dipercaya untuk obat tipes, sakit kuning, dan bahan kosmetika. Cacing tanah pun mengandung kekuatan mistis. Jadi jangan menyepelekan cacing tanah,” tuturnya.

Bagi Suklu, cacing tanah menjadi spirit dalam berkesenian. Spirit kesabaran dan ketabahan dalam mengolah alam dan menjaga kehidupan di bumi. Bahkan sebelum manusia menghuni bumi, cacing tanah telah lebih dulu menjadi penghuni bumi. Tai-tai cacing tanah itu sampai sekarang masih disimpannya, sebagai pengingat akan pentingnya menjaga alam, dan menjadi spirit dalam berkesenian.

Begitu bermaknanya tai cacing tanah bagi Suklu, ketika seniman jeprut asal Bandung, Wawan S. Husin, sedang berulang tahun, Suklu menghadiahinya sebongkah tai cacing tanah yang dibungkusnya dengan kasa. Wawan kaget ketika membuka bungkusan itu. Wawan tak menyangka Suklu begitu menghargai cacing tanah. Wawan kemudian menuturkan kepada Suklu betapa pentingnya makhluk yang dianggap hina itu bagi kehidupan manusia. Tanpa diduga Wawan langsung memakan tai cacing tanah itu. Tentu saja Suklu kaget. Tapi, itulah seni jeprut yang dipertontonkan Wawan di hadapan Suklu. Seni jeprut yang ada, namun tiada, seperti halnya kehidupan itu sendiri.


Kurang Membumi

Suklu adalah salah satu perupa kontemporer yang diperhitungkan. Namun, menurut Suklu, seni rupa kontemporer selama ini hanya dipahami oleh segelintir orang. Seni rupa kontemporer kurang membumi.

“Perlu ditemukan metode yang jitu agar seni rupa kontemporer lebih membumi, sehingga bisa dinikmati khalayak luas. Agar seni rupa kontemporer tidak hanya bersemayam di menara gading,” ujarnya.

Menurut Suklu, sekarang ini banyak seniman diracuni oleh teori dan konsep yang dilontarkan oleh orang-orang yang berkepentingan terhadap si seniman, termasuk juga kepentingan pasar. Menikmati proses berkesenian dan kesadaran untuk menuangkan ekspresi pribadi telah lama menghilang dari dunia kesenian.

“Sekarang ini, banyak seniman mengejar hal-hal yang artifisial dan sesuatu yang instan. Kesadaran untuk berdialog dan berkolaborasi juga semakin berkurang di tengah hegemoni pasar,” tukas Suklu.


Penyuka Sastra dan Penekun Orhiba

Selain suntuk sebagai perupa, Suklu juga punya minat yang besar pada bidang sastra. Ketertarikannya pada dunia sastra telah terbit sejak masa kanak-kanaknya. Dia suka menulis kata-kata dan menyusunnya dalam bentuk puisi. Seringkali sketsa-sketsanya dibubuhi kata-kata puisi, seakan-akan kosa-rupa tak cukup memadai mewakili kegelisahan batinnya. Suklu memang perupa yang penikmat seni sastra. Mungkin karena itu pula banyak karya seni rupanya terkesan puitis, diciptakan dari intuisi, menjelma menjadi bentuk-bentuk simbolik.

Ketertarikannya pada dunia sastra pula yang membuat dirinya makin dekat dengan dunia intelektualitas, sehingga bacaannya melebar pada buku-buku filsafat, antropologi, sosiologi dan kebudayaan secara umum. Dari sana pula dia suka membuat atau membubuhkan sketsa-sketsa di halaman-halaman buku sastra yang selesai dibacanya. Sastra dan seni rupa baginya adalah refleksi berkesenian yang tentu saja penuh dengan renungan-renungan kehidupan.

Modernitas telah membuat seniman terkotak-kotak. Pelukis harus melukis. Sastrawan hanya boleh bersastra. Dan anehnya banyak seniman yang terjebak dalam pengkotakan itu. Berbeda dengan seniman zaman renaisan yang bisa melakukan banyak bidang dan desiplin seni, seperti Leonarda Da Vinci. Atau bisa dilihat pada seniman Bali zaman dulu yang hidupnya tidak hanya untuk berkesenian. Seniman Bali zaman dulu lebih responsif pada sekitarnya.

Bagi Suklu, berkesenian tidak hanya untuk mengejar uang atau karya laku di pasaran. Melainkan lebih pada proses berkesenian itu sendiri. Dia selalu gelisah untuk menciptakan proses-proses baru dalam berkesenian yang dilakoninya. Berkesenian adalah suatu proses meditasi.

Suklu termasuk perupa yang sadar menjaga kesehatan jiwa dan raga. Selain tidak merokok dan minum alkohol, sejak 1983 Suklu menekuni Olah Raga Hidup Baru (Orhiba). Dengan meditasi, yoga asana, dan pranayama, Orhiba melatih tubuh, jiwa dan ruh untuk mencapai keharmonisan dan pencerahan dalam kehidupan. Ya, begitulah sisi lain Suklu, Sujana dari Klungkung ini.***


Denpasar, April 2011/Agustus 2012

(Sumber : katalog pameran tunggal Wayan Sujana Suklu, “The Unseen Things”, 9 Desember 2012 – 9 Januari 2013, di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, Bali)

No comments:

Post a Comment