Labels

Wednesday 23 January 2013

Mengapresiasi Suara Jiwa Kuta



Oleh: Wayan ‘Jengki’ Sunarta


(suasana pameran)
Sebagai kawasan pariwisata internasional, seperti halnya Sanur dan Ubud, eksistensi Kuta tak bisa dilepaskan dari peran seni rupa. Hingga saat ini, Kuta masih tercatat sebagai salah satu pusat perdagangan karya-karya seni rupa, baik lukisan maupun kriya. Hal itu diperkuat lagi dengan kehadiran galeri-galeri seni rupa yang lebih memosisikan diri sebagai tempat “jualan.” Di Kuta, seringkali sulit membedakan karya-karya seni rupa kodian (kelas artshop) yang cenderung berbaur dengan karya-karya yang menjunjung pencapaian ekspresi dan estetika. 


Dalam terminologi seni rupa di Bali, Kuta seperti rantai putus, tak memiliki akar tradisi dan sejarah yang kuat. Hal inilah yang membuat Kuta sulit diposisikan dalam sejarah seni rupa di Bali, seperti Sanur, Ubud, Kamasan. Kuta adalah desa nelayan yang tumbuh dan berkembang pesat menjadi kawasan urban dan pariwisata. Karena daya tarik dollar, para pekerja seni berdatangan dari berbagai daerah dan mencoba mengadu peruntungan di Kuta. Tujuannya jelas, yakni melarutkan diri dalam komersialisasi seni dan menjadikan Kuta sebagai batu pijakan untuk “go internasional”. 

Namun, di tengah-tengah pusaran komersialisasi seni itu, bermunculan pula perupa-perupa yang masih setia mengabdikan diri di jalur ekspresi dan estetika, tanpa begitu memperdulikan urusan “untung-rugi”. Para perupa tersebut mungkin dengan heroik menanamkan semacam kredo dalam jiwanya bahwa menjadi perupa adalah panggilan hati atau pilihan hidup yang mesti dijalani dengan berbagai resikonya.

Syahdan, sejumlah perupa merasa gelisah dengan kondisi Kuta yang terlalu sibuk dengan hiruk pikuk pariwisata dan komersialisasi seni, namun miskin apresiasi terhadap kegiatan kesenian yang berada di luar jalur mainstream. Para perupa itu berkumpul di Zoom Art Gallery, sebuah oase seni yang secara resmi berdiri tanggal 7 Desember 2012, yang berlokasi di Pengubengan Kauh, Kerobokan, Kuta Utara. Zoom Art menjadi ruang apresiasi dan komunikasi para seniman Kuta dari berbagai suku, ras, agama, dan status sosial. Zoom Art menjadi basis untuk melakukan berbagai kegiatan seni, seperti workshop seni lukis untuk pemula dan anak-anak, latihan musik, teater, diskusi seni, dan pameran rutin. Dari Zoom Art itu muncul niat luhur untuk melakukan upaya revitalisasi atau membangkitkan kembali semangat berkesenian yang memudar di kawasan Kuta.

Pameran bertajuk “Suara Jiwa Kuta” ini adalah salah satu bentuk upaya revitalisasi tersebut. Pameran yang berlangsung dari 21 Desember 2012 hingga 11 Januari 2013 ini diikuti oleh sembilan pelukis, yakni Artanto Sapto Nugroho (Sintong), Achmad Pandi, Srinaryo, Herry Yahya Budiantoro (Yayak), Ricky Karamoy, I Made Bhakti Wiyasa, Basugiart, Heru Setiawan, dan Marthin Sitepu. Sebagian besar dari mereka adalah perupa otodidak yang menimba ilmu dari pengalaman dan kehidupan. Hanya tiga perupa yang pernah mengenyam pendidikan seni rupa secara akademis. Namun, mereka semua telah kenyang mengecap manis-pahit berkesenian di kawasan Kuta. Mereka tetap memelihara semangat militan dalam berkesenian. Itu pula sebabnya mereka masih terus bertahan sebagai perupa, meski berada di pinggiran mainstream seni rupa Bali.

Pameran ini sengaja tidak diikat dalam tema tunggal. Mereka bebas melukis apa saja yang menjadi pusat perhatian dari kegelisahan jiwa mereka. Maka, yang terbaca dari karya-karya mereka adalah berbagai rupa persoalan, seperti krisis identitas, gender dan feminisme, kehancuran alam, kearifan lokal, pengalaman pribadi, hingga nasionalisme. Bisa dikatakan, mereka menjadi semacam perwakilan dari suara-suara jiwa (seniman) Kuta, yang merindukan apresiasi dan semangat berkesenian terus bermekaran di kawasan “kampung internasional” itu. Selanjutnya, mari kita simak satu per satu berbagai bentuk kegelisahan mereka.

(suasana pameran)
Persoalan identitas tercermin pada lukisan “Mukaku-Mukamu” karya Basugiart. Dia mengeksplorasi ekspresi wajah dalam dua puluh panel lukisan. Bagi Basugiart, wajah adalah jejak yang tak terbatas. Namun, di sisi lain, wajah adalah soal identitas yang di zaman kontemporer ini banyak diseragamkan melalui iklan dan pencitraan produk-produk kecantikan. Soal “cantik”, misalnya, bukan lagi menjadi suatu kepribadian atau fisik yang khas atau unik, melainkan hasil bentukan atau cetakan iklan. Lukisan ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap penyeragaman wajah. Sebab sebenarnya wajah adalah suatu identitas yang khas darimana kita mampu mengenal satu sama lain.

Pembauran berbagai elemen seni, sehingga melahirkan budaya kontemporer diungkapkan Srinaryo melalui lukisan “Kuta Karnival”. Seni modern dan tradisi, menyatu dan bisa dinikmati secara serentak dalam suatu perayaan karnival. Namun, tak hanya pada event Kuta Karnival, justru karnival yang sebenarnya terjadi dalam proses menjalani kehidupan ini, mulai dari lahir, menjadi dewasa, lalu mati. Menjalani kehidupan adalah mengalami perayaan demi perayaan. 

Di Indonesia, semangat nasionalisme telah semakin memudar, terutama di kalangan generasi muda. Banyak generasi muda tak bangga lagi mengosumsi produk dalam negeri. Bahkan mereka merasa telah menjadi manusia modern hanya dengan mengosumsi makanan sampah sejenis Mac Donald atau KFC. Melalui lukisan “N.K.R.I”, Pandi menggambarkan semangat nasionalisme yang masih membara di kalangan generasi tua. Lukisan ironis ini seakan meneriakkan sinisme di tengah krisis nasionalisme yang melanda generasi muda.

Kearifan lokal seringkali menjadi mata air inspirasi bagi banyak seniman modern maupun kontemporer. Salah satu contohnya adalah lukisan Sintong yang berjudul "Magic Pixel". Lukisan ini terinspirasi dari proses kerja para penenun dan penganyam tradisional, terutama proses mengharmoniskan gerakan vertikal dan horisontal. Garis horizontal melambangkan hubungan antara manusia dan alam. Sedangkan  garis vertikal mewakili hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan konsep dan filosofi Tri Hita Karana yang menjadi salah satu landasan dalam memahami kebudayaan Bali. Namun, secara sepintas, karya-karya Sintong juga menyerupai kuadrat piksel dalam fotografi digital modern.

Persoalan gender diungkapkan oleh Yayak melalui lukisan “Cerita dari Sebuah Dunia yang Dibisukan”. Yayak mengamini pendapat para feminis, bahwa ideologi gender merupakan realitas yang dihegemoni kaum lelaki. Dalam ideologi ini, kaum perempuan hanya subordinat. Ideologi gender berkaitan dengan ideologi patriarkhi yang hegemonik, yang menyebabkan kaum perempuan lebih sering terancam berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi. Mistifikasi perempuan sebagai manusia kelas dua telah melembaga dalam mitos, sosial, budaya, agama, negara, dan berlangsung secara historis dalam bentangan waktu yang cukup panjang. Wacana untuk mewujudkan keadilan gender telah banyak disuarakan oleh kaum feminis. Kaum perempuan menolak sebagai obyek, melainkan harus menjadi subyek yang "bicara". Hal itulah yang ingin disampaikan Yayak melalui lukisan yang simbolik ini.

Namun, di sisi lain, Bhakti Wiyasa masih menganggap bahwa perempuan adalah sumber keindahan. Dalam karyanya yang berjudul “Real Absolutely”, secara simbolik dan paradoks, dia menyandingkan sensualitas tubuh perempuan dengan sepatu lars tentara. Di sini keindahan berpadu dengan kekuasaan (kekerasan). Bahkan, dalam lukisan tersebut tampak wajah perempuan itu tertutup baju. Atau mungkin perempuan itu dengan terpaksa membuka bajunya di bawah ancaman kekerasan (lelaki). Bagi Bhakti, dualitas selalu membayang-bayangi kehidupan manusia, seperti keindahan dan keburukan, kelembutan dan kekerasan, dan sebagainya.

Persoalan krisis ekologi menarik perhatian Heru Setiawan. Melalui lukisan simbolik “Pawang Iwak”, Heru mengungkapkan keprihatinannya atas berbagai bentuk pencemaran alam. Banyak manusia tak lagi peduli dengan kelestarian alam. Mereka lebih suka memerkosa alam beramai-ramai, ketimbang membagi kasih sayang kepada alam. Bukti dan data kehancuran alam akibat keserakahan manusia tentu sudah sangat banyak. Melalui lukisan ini, Heru ingin mengimbau kita untuk kembali bersahabat dengan alam, agar tercipta keharmonisan dalam menjalani kehidupan di bumi ini. 

Marthin Sitepu adalah sosok pelukis yang seakan menenggelamkan dirinya dalam tarian warna di kanvas. Dia berupaya menggali corak baru dalam keragaman seni rupa dan warna kehidupan. Hal itu terlihat dalam lukisan abstraknya yang berjudul “Mengamati Kehidupan”. Permainan warna di lukisannya seperti menjelma kerumunan roh cahaya yang tak henti menari, demi menyatukan kerinduan pada Sang Maha Cahaya.

Sementara itu, Ricky Karamoy mengeksplorasi pengalaman pribadinya ketika menderita sakit paru-paru dan sempat menjalani operasi yang berat. Lukisan berjudul “Sakit Paru-paru” ini menjadi semacam kenangan terhadap penderitaannya itu. Ricky menampilkan gunungan/kayon (ikon pewayangan), yang di dalamnya tampak gambar belahan paru-paru, jantung, urat-urat darah, mata melotot, mulut, belut, dan wajah-wajah manusia yang berserakan. Dia seakan ingin mengatakan bahwa kehidupan ini tak lebih dari sekadar permainan, dimana manusia sendiri tak paham kapan awal kapan akhirnya. Warna-warna cerah dalam lukisannya mengisyaratkan bahwa kehidupan harus tetap dijalani, meski dalam kondisi sakit paru-paru.

Begitulah. Pameran “Suara jiwa Kuta” ini adalah semacam refleksi terhadap berbagai rupa persoalan yang sedang dihadapi manusia. Melalui karya-karya sembilan perupa ini, kita bisa menggali renungan bahwa seni dan kehidupan adalah dua hal yang layak diapresiasi dan dihargai. Sehingga kita menjadi lebih lengkap dalam menjalani hidup sebagai manusia yang berbudaya.



(sumber: katalog pameran "Suara Jiwa Kuta")

No comments:

Post a Comment