Labels

Thursday 24 January 2013

Treasure Islands, Ketika New York Ditukar dengan Pulau Rhun




Oleh : Wayan Sunarta


(suasana pameran/foto Gus Wir)
Sejak zaman kerajaan, Kepulauan Nusantara telah tersohor hingga manca negara sebagai kawasan yang penuh dengan harta karun. Itu karena kekayaan alam yang sangat melimpah, seperti hasil tambang (emas, perak, permata, dll), hasil pertanian dan perkebunan (rempah-rempah, dll). Harta karun yang melimpah inilah menyedot perhatian negara-negara lain untuk menguasai Nusantara. 


Para pelaut dan saudagar Portugis, Inggris, Belanda melakukan pelayaran hingga berbulan-bulan untuk mencapai Nusantara. Niat awal mereka adalah mencari rempah-rempah (terutama buah Pala). Namun, melihat kekayaan alam Nusantara yang melimpah, kerakusan mulai menghinggapi hati mereka. Terjadilah pertikaian hingga peperangan, baik dengan kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara maupun dengan negara lainnya. Mereka berlomba-lomba ingin menguasai kawasan Nusantara. Satu demi satu pusat-pusat harta karun jatuh ke tangan Portugis, Inggris, Belanda.

Salah satu pusat perhatian dan yang menjadi rebutan mereka adalah biji pala (Myristica fragrans). Pada masa itu, pala menjadi komoditi terpenting dalam perdagangan dunia, bahkan sejak zaman Romawi. Demi kepentingan menguasai perdagangan pala, Belanda bahkan mengambil keputusan membarter New Amsterdam dengan Pulau Rhun. New Amsterdam adalah sebutan untuk Pulau Manhattan (bagian Kota New York) yang berlokasi di sebelah selatan ujung Sungai Hudson, yang dikuasai Belanda pada tahun 1624. Sementara itu, Pulau Rhun adalah sebuah pulau kecil dengan panjang 3 km dan lebar 1 km,  yang berlokasi di Kepulauan Banda, yang saat itu dikuasai Inggris. Pulau Rhun adalah penghasil buah pala terbesar dan menjadi rebutan dunia.

Barter pulau itu dilakukan untuk menyelesaikan konflik Belanda dengan Inggris. Dituangkan dalam Perjanjian Breda (Treaty of Breda) yang ditandatangai pihak Belanda dan Inggris di Kota Breda, Belanda, pada tanggal 31 Juli 1667. Bisa dibayangkan, pada masa itu, nasib Pulau Manhattan sangat tergantung pada biji-biji pala yang tumbuh di Kepulauan Banda. Dari sana kita bisa merenungi betapa berharganya rempah-rempah dari Kepulauan Nusantara.

(perempuan dan karya Wianta/foto Gus Wir)
Untuk mengenang barter pulau itu, perupa serba bisa berkelas internasional, Made Wianta, menggelar pameran seni instalasi bertajuk “Treasure Islands”. Pameran bernuansa ironi yang dibuka dengan fashion show itu berlangsung di Gaya Art Space, Sayan, Ubud, Bali, sejak 15 Desember 2012 hingga 15 Desember 2013. Wianta memajang sekitar 50-an kulit kerbau yang ditusuk ratusan paku baja dan ditempeli mosaik-mosaik kaca yang berkilauan. Tak hanya di dinding, kulit-kulit kerbau itu juga bergelantungan di ruang pameran, membetot perhatian hadirin. 

Menurut Wianta, lembaran-lembaran kulit kerbau yang bergurat dan bertekstur itu dimaksudkan sebagai simbol permukaan bumi atau Kepulauan Nusantara. Mosaik-mosaik kaca yang berkilauan adalah simbol harta karun yang sejak zaman kerajaan telah menarik perhatian negara-negara asing untuk berekspansi ke kepulauan Nusantara. Sedangkan paku-paku baja itu adalah simbol ketajaman pikiran dan kemauan keras untuk mengolah harta karun itu.

Wianta kemudian membenturkan simbol-simbol kepulauan Nusantara itu dengan lampu-lampu disko yang kerlap-kerlip, musik dugem dan adegan fashion show dari sejumlah model berkelas. Kerlap-kerlip lampu disko dan fashion show itu adalah simbol dari gemerlap kota New York yang pernah ditukar dengan Pulau Rhun.

Kini, Pulau Manhattan dengan New York-nya tumbuh menjadi salah satu kota metropolitan terpenting di dunia. Sementara itu, Pulau Rhun tak dikenal luas, bahkan merana dalam kesepiannya. Padahal sejarah mencatat, pada masanya, Pulau Rhun adalah pusat penghasil pala terbesar dan menjadi rebutan para penguasa dunia. Pada titik inilah muncul rasa keprihatinan Wianta terhadap nasib Indonesia ke depan.

Wianta menekankan bahwa kita sebagai bangsa yang berdaulat dengan kekayaan alam melimpah semestinya mampu bersaing di tingkat internasional, tidak minder ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Yang diperlukan bangsa ini adalah ketajaman pikiran dan kemampuan mengolah sumber daya alam yang melimpah sehingga berguna bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Namun, yang terjadi sekarang adalah Indonesia tetap saja masih menjadi bulan-bulanan negara asing, menjadi pelengkap penderita dalam konteks neoliberalisme atau perdagangan bebas.

(suasana pameran Wianta/foto ? )
Ide seni instalasi yang ditampilkan Wianta kali ini, telah muncul ketika dia mengikuti Pra Olimpiade di Athena, Yunani pada tahun 2003/2004. Dari berbagai perbincangan dengan teman-teman sejawatnya, terbersit pemikiran tentang bagaimana meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman dulu, karena kekayaan alamnya, Kepulauan Nusantara sangat bernilai di mata dunia.  

Pada tahun 2009, Wianta mengikuti pameran di sebuah galeri di Amsterdam dan bertemu dengan Robert van Den Boos dan Helena Spanyar. Mereka sangat mendukung ide mengenang “barter pulau” itu dan mengusulkan proyek teater dan seni instalasi. Baru-baru ini, Wianta diundang sebagai dosen tamu di College of Holy Cross, Worcester, Massachusetts. Wianta mendapat kesempatan untuk meneliti pulau-pulau di sekitar Manhattan dan mempersiapkan konsep-konsep karya seni instalasi dan pementasan teater tentang Pulau Rhun. 

Ke depan, Wianta akan terus menggarap proyek-proyek kesenian berkaitan dengan perayaan pertukaran Pulau Rhun dengan Pulau Manhattan. Proyek jangka panjang itu akan dituangkan dalam bentuk seni instalasi, teater dan buku. Dan, pada tahun 2017, peristiwa barter pulau itu (The Treaty of Breda) memasuki usia 350 tahun. Kita tunggu saja gebrakan Wianta selanjutnya.















No comments:

Post a Comment