Oleh Wayan Jengki Sunarta
Di penghujung tahun 2020 yang murung karena dirubung pandemi Covid-19, seniman patung Ketut Putrayasa menampilkan seni instalasi bertajuk “Pandora Paradise” di titik Nol Kilometer Kota Denpasar yang berlokasi di alun-alun Puputan Badung. “Pandora Paradise” merupakan sebuah metafora yang menggambarkan kekacauan dunia.
Seni instalasi berukuran 660 x 270 x 180
cm itu dipajang sejak 15 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021. Sebagai sebuah seni
publik (public art), karya tersebut dirancang interaktif di mana orang bisa
mengamati secara dekat, menyentuh. atau mendengar gaung suara dari buluh-buluh
bambu sintetis warna-warni yang menembus kotak transparan.
Bambu-bambu runcing warna-warni yang
menembus kotak transparan itu merupakan simbol berbagai kekacauan yang
menyeruak dari kotak Pandora. Namun ada tiga bambu yang tidak menembus kotak
yang disimbolkan sebagai harapan. Formasi bambu-bambu sintetis itu tampak
melayang di dalam kotak. Di bawah terpaan cahaya lampu, warna-warni yang
memukau dari bambu tampak saling bersaing dan mengarah pada suasana chaostik.
Kurator pameran, Tatang Bsp, menjelaskan
bahwa Ketut Putrayasa hendak menyodorkan
satire: yang tampak warna-warni itu jadi palsu. “Pandora Paradise” seakan medan
tarung antara keindahan dan kengerian yang menghujam. Warna psychedelic pada
bambu-bambu itu menenggelamkan rasa ngeri ujung runcing bambu. Warna
psychedelic adalah warna-warna ramai, mencolok, menyala-nyala di mata, dan
saling bertabrakan. Ini mengingatkan kita pada psychedelic art yang berkembang
di tahun 1970-an. Sebuah aliran seni yang mengusung efek ketidaksadaran dan
halusinasi pengalaman psychedelic.
“Pandora Paradise” adalah sebuah metafora
yang memaparkan kegelisahan Ketut Putrayasa tentang berbagai persoalan yang
terjadi selama masa pandemi. Perekonomian yang hancur, orang-orang kehilangan
pekerjaan, utang menumpuk di sana-sini, kesulitan membayar aneka jenis cicilan,
kesulitan membeli sembako, kengerian, ketakutan, kematian, stress dan depresi
berkepanjangan. Semua persoalan tersebut berkelindan dan menumpuk dalam sebuah kotak
raksasa yang dipegang oleh “Pandora”. Siapakah “Pandora” yang sebenarnya di
dunia ini? Siapakah pencipta “kotak kegelapan” itu?
Dalam mitologi Yunani, kisah Pandora
terkait erat dengan kegelapan dan kengerian. Pandora adalah perempuan pertama
yang diciptakan Dewa Zeus. Dikisahkan Prometheus mencuri api milik para
dewa dan diberikan kepada umat manusia. Zeus murka dan menghukum Prometheus
dengan mengikatnya di tebing karang dan seekor elang mematuki jantungnya; namun
dia tidak pernah mati. Zeus juga menghukum umat manusia dengan menciptakan
Pandora.
Pandora kemudian dinikahkan dengan
Epimetheus, saudara Prometheus. Pada hari pernikahan mereka, Zeus memberi hadiah
berupa sebuah kotak yang indah. Prometheus memperingatkan Pandora agar tidak
membuka kotak tersebut. Namun, karena penasaran, Pandora melanggar peringatan
Prometheus. Ketika Pandora membuka kotak, maka bermunculan berbagai macam
keburukan, kejahatan, penyakit, penderitaan. Semua malapetaka itu menyebar ke
seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Hanya satu hal yang tersisa dalam
kotak, yakni: harapan.
“Pandora Paradise” menjadi semacam
renungan di ujung tahun betapa manusia senantiasa tergoda segala bentuk
keindahan duniawi, namun luput mengantisipasi berbagai bentuk kegelapan yang
menyertainya. Seperti kerumunan laron yang jumawa dengan sayap-sayap rapuh dan
merasa mampu meraih cahaya kemilau. Metafora Pandora dalam konteks seni
instalasi yang diciptakan Putrayasa terasa sangat tepat untuk melukiskan
situasi dan kondisi tahun 2020 yang penuh kerunyaman, kengerian, dan ketakutan.
Namun, dari kegelepan itu, selalu tersisa secercah cahaya harapan untuk memulai
kehidupan yang lebih baik saat mengisi lembaran tahun 2021.
Tidak hanya berhenti di titik Nol
Kilometer Kota Denpasar, Putrayasa juga akan menampilkan seni instalasinya di
seluruh kabupaten di Bali. Pada masing-masing kabupaten dia menampilkan seni
instalasi yang berbeda sesuai dengan konteks wilayah setempat. Namun, Putrayasa
tetap menerapkan konsep seni publik yang bersifat interaktif untuk seni
instalasinya tersebut. Pemajangan seni instalasi ini adalah pemanasan menuju
ajang akbar “Kuta Sunrise Project Art 2021” yang akan dirancang Putrayasa di Pantai
Kuta.
“Pandora Paradise” yang dipajang di alun-alun Puputan Badung itu pada Sabtu sore, 26 Desember 2020, direspon oleh koreografer dan penari Jasmine Okubo dengan tari memukau yang menguarkan kepedihan dari setiap gerakan-gerakan lembut. Selain itu, penyair Wayan Jengki Sunarta, Gm Sukawidana, dan Hartanto juga merespon “Pandora Paradise” dengan pembacaan puisi. Orang-orang yang kebetulan berolah raga di alun-alun tampak membentuk kerumunan kecil menyaksikan pertunjukan tersebut.
Putrayasa termasuk seniman yang gelisah
menciptakan karya-karya fenomenal. Dia didukung oleh tim yang solid untuk
mewujudkan konsep-konsep seninya. Di tengah sepinya penggarapan karya-karya
patung/kriya/instalasi kontemporer di Bali, kehadiran seniman muda yang sangat
berbakat ini memberi warna tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan seni rupa
di Bali.
Ketut Putrayasa adalah seniman kelahiran
Kerobokan, Badung, Bali, 15 Mei 1981. Pada tahun 2019, dalam rangka “Berawa
Beach Arts Festival”, dia menghebohkan Pantai Berawa dengan karya instalasinya berupa
gurita raksasa yang dibuat dari bambu. Dalam acara bertajuk “Deep Blue Spirit”
itu, puluhan seniman dari lintas seni merespon gurita raksasa itu dengan
pertunjukan musik, tari, puisi, video art. Masih pada tahun 2019, Putrayasa diundang
oleh Company Arsitektur and Interior Design menggarap Project Comision Artwork
di Paris, Perancis.
Ketut Putrayasa menempuh pendidikan seni
rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar hingga Program Pascasarjana
Penciptaan Seni. Dia meraih karya Tugas Akhir (TA) Terbaik dari ISI Denpasar
tahun 2014. Dia sering mengikuti pameran bersama, antara lain pameran patung
kelompok “BIASA” di Museum Pendet, Ubud (2004), “Sign of Art” di Belgia (2008),
“Kuta Art Chromatic” di Kuta (2003), “Articulation” di Kuta (2014), “Chronotope”
di Rich Stone Bali (2015), trienale patung “Skala” di Galeri Nasional Jakarta
(2017), “Art Unlimited” di gedung Gas Negara Bandung (2018), “Bali Megarupa” di
Bentara Budaya Bali (2019), dan sebagainya. Selain aktif berkarya, Putrayasa
juga bergabung dengan “MilitanArt”, salah satu komunitas seni yang menggerakkan
kehidupan seni rupa di Bali.